Selasa, 12 Februari 2013

[Media_Nusantara] Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’?

 

Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan 'The Bad Among The Worst'?



MESKI belum menemukan tokoh yang betul-betul pantas untuk menjadi Presiden Indonesia, pada tahun 2014 rakyat Indonesia mau tak mau harus kembali memilih seseorang untuk menduduki posisi itu. Kecuali, ada peristiwa politik luar biasa, katakanlah bahkan sebuah 'revolusi' –entah dalam wujud seperti apa– yang meng-faitaccompli-kan seorang tokoh sebagai penguasa baru di Indonesia. Dan peristiwa luar biasa bukanlah sesuatu yang tak mungkin terjadi sebagai reaksi pintas terhadap jalan kehidupan politik dan kekuasaan seperti saat ini yang penuh konspirasi memanfaatkan konstitusi. Jangan lupa, telah dua kali bangsa ini mengalami perubahan kepemimpinan nasional melalui cara luar biasa. Pertama ditahun 1966-1967 (Soekarno-Soeharto), dan kedua di tahun 1998 (Soeharto-Habibie), ditambah sekali melalui situasi semi luar biasa di tahun 2001 (Abdurrahman Wahid-Megawati).

Tanpa peristiwa luar biasa, polanya tentu hanyalah memilih the bad among the worst. Bangsa ini belum beruntung untuk berkesempatan mencari yang terbaik di antara para cemerlang dalam suatu mekanisme dan sistem yang baik. Memang cenderung merupakan kemustahilan bagi terciptanya suatu pusat kecemerlangan –termasuk dalam kepemimpinan– bilamana kehidupan berbangsa dan bernegara masih senantiasa dipenuhi konspirasi politik dan konspirasi ekonomi yang berbumbu konspirasi hukum. Dalam survival of the fittest ala Indonesia yang dibutuhkan adalah cara pencapaian tujuan model Ken Arok yang bila perlu menikam mati lawan kepentingannya dan atau menggunakan model persekongkolan kaum culas. Persekongkolan ini bisa terjadi di antara para pemilik otot politik dan para pemilik akumulasi uang hasil keculasan, maupun dengan mereka yang bisa memanipulasi nama rakyat dan agama, serta sejumlah kaum terpelajar yang telah menggadaikan integritas intelektual mereka.
Dalam aroma situasi seperti inilah, belakangan ini muncul dan dimunculkan sejumlah nama untuk pertarungan 2014. Di deretan atas –menurut aneka polling dan survei– senantiasa tercantum nama-nama Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto yang rekam jejak masa lampaunya masih memiliki sejumlah masalah dan Megawati Soekarnoputeri yang kemampuan memimpinnya di pemerintahan tak sempat mengesankan. Disusul Aburizal Bakrie serta nama-nama yang masih kerap timbul tenggelam, seperti Sri Mulyani Indrawati, Akbar Tandjung, Muhammad Jusuf Kalla, Jenderal Purnawirawan Wiranto, Mahfud MD dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Masih pula terdapat nama-nama tambahan Letnan Jenderal Pramono Edhie Wibowo, Marsekal Udara Purnawirawan Djoko Suyanto, Hatta Rajasa, Ani Yudhoyono, Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto sampai Dahlan Iskan dan Anies Baswedan serta sejumlah nama lain yang dimunculkan dengan berbagai cara meski peluangnya antara ada dan tiada.

Presiden seumur hidup dan anomali jantung kekuasaan. Usai Proklamasi 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa ini tidak membutuhkan waktu banyak untuk menetapkan Presiden dan Wakil Presiden untuk pertama kali. Tapi dibutuhkan waktu tak kurang dari dua puluh tahun untuk munculnya Presiden kedua, itupun melalui suatu situasi faitaccompli. Bilamana tak terjadi peristiwa luar biasa, Ir Soekarno akan menjadi Presiden Indonesia selama hidupnya, sesuai Keputusan MPRS melalui Sidang Umum 15-22 Mei 1963, yang menetapkan dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup. Pengganti Soekarno, Jenderal Soeharto, tak kalah lama berkuasa, 32 tahun terhitung sejak pelimpahan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Di masa kekuasaan kedua pemimpin Indonesia itu, bila ada yang berhasrat menjadi Presiden, ia harus memendam dalam-dalam di hati saja. Jangan pernah menyatakan ambisi itu melalui mulut sendiri. Sementara, bila itu muncul melalui mulut orang lain, itu mungkin saja liang galian kubur bagi karir yang bersangkutan.

Pengutaraan hasrat seperti itu di masa Soekarno, kalau tak berhati-hati, akan mendapat hantaman karena dianggap mendongkel Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI. Maka, pembicaraan mengenai siapa kelak pengganti Soekarno tidak sembarangan dilakukan, dan juga tidak oleh sembarangan orang, termasuk oleh yang berada di lingkaran utama Soekarno. Namun, suatu ketika di awal 1965, saat tiga panglima angkatan berkumpul, yakni Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Laut RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Soetjipto dan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani, soal siapa pengganti Presiden Soekarno nanti toh dibicarakan juga. Omar Dhani menyebutkan nama Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani –yang kala itu tak hadir– sebagai calon yang "paling pantas". Tapi sebenarnya, pada sekitar masa itu, nama Laksamana Omar Dhani tak kalah sering disebut dalam konteks yang sama.
Nama lain yang pernah disebut-sebut sebagai 'pewaris' Soekarno, adalah Wakil Perdana Menteri I Dr Soebandrio. Tetapi Soebandrio sendiri, dengan konotasi tertentu, justru menggambarkan adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang untuk menggantikan Soekarno, bilamana "Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia". Keduanya tak lain Menko/Kasab Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. "Tidak banyak diketahui orang", ungkap Soebandrio jauh setelah peristiwa berlalu, "dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Soekarno saat itu adalah Nasution". Sampai-sampai, menurut Soebandrio, Presiden Soekarno menjuluki Jenderal Nasution sebagai pencetus gagasan 'negara dalam negara'. Di samping sangat berpengalaman di bidang militer, Jenderal Nasution juga matang berpolitik. Dia pencetus ide dwifungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. "Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuataan militer, agar tentara bisa masuk ke lembaga-lembaga negara secara efektif, di pusat maupun di daerah", catat Soebandrio. Istilah jalan tengah yang dimaksud Soebandrio adalah pidato Jenderal AH Nasution "Jalan Tengah TNI" yang diucapkan 10 November 1958 pada Dies Natalis AMN di Magelang, dasar bagi konsep penempatan tentara sebagai golongan fungsional yang terlibat dalam kehidupan politik nasional.

Persaingan menuju kursi nomor satu pasca Soekarno, berjalan singkat saja. Selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengungguli Jenderal AH Nasution yang serba ragu dalam menghadapi persaingan. Dan pada masa-masa berikutnya sejalan dengan makin kuatnya kekuasaan Jenderal Soeharto, praktis tak ada pintu masuk bagi hasrat menuju kursi kepresidenan. Setiap tokoh yang berpotensi dan populer, satu persatu ditutup jalan karirnya, terutama bagi jenderal-jenderal populer karena besar jasanya dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965 maupun dalam proses menurunkan Soekarno dari kursi kekuasaan, seperti Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Letnan Jenderal HR Dharsono. Nama kedua jenderal ini memang sering disebut-sebut oleh sejumlah kalangan pergerakan 1966 sebagai pimpinan nasional berikutnya setelah Soeharto. Pemikiran tentang pimpinan nasional berikutnya sebenarnya bukan dalam konteks suatu niat untuk menjatuhkan Soeharto, melainkan dalam pengertian suatu proses pergantian yang wajar. Batas wajar itu, katakanlah maksimal 10 tahun, setengah saja dari masa kekuasaan Soekarno. Atau setidaknya setelah menyelenggarakan dua kali pemilihan umum.  Orang pada mulanya memang tak pernah berpikir bahwa Soeharto ingin berkuasa terus menerus, lebih dari sepuluh tahun misalnya.

Pada tahun 1969 sampai awal 1970-an, walau berbagai gerakan kritis muncul terhadap kekuasaan Soeharto dan para jenderalnya, antara lain soal korupsi, orang belum terlalu berprasangka buruk bahwa Soeharto ingin berlama-lama berkuasa. Namun sebenarnya bila cermat mengamati, elektro kardiogram jantung kekuasaan kala itu telah menunjukkan sejumlah kurva dengan lonjakan tinggi dan tajam. Ada suatu anomali pada jantung kekuasaan.

Keengganan bergerak ke titik nol. Menurut buku 'Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter' (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004), setelah Jenderal Soeharto berkuasa, di tubuh ABRI muncul kelompok kepentingan yang sudah beralih kepada kecenderungan pengutamaan bagaimana mengendalikan kekuasaan semata demi kekuasaan itu sendiri. Apa yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965 dan rangkaian pergolakan menjatuhkan Soekarno 1966 hingga 1967, tiba-tiba menciptakan suatu peluang peranan kekuasaan yang begitu besarnya bagi tentara, yang tidak terbayangkan sebelumnya di bawah masa kekuasaan Soekarno. Rakyat seakan-akan telah memberi blank cheque kepada pemegang Surat Perintah 11 Maret –yang kemudian dikukuhkan oleh MPRS sebagai Presiden– yang batasan kekuasaannya sepertinya tidak diberi tepi. Dengan kekuasaan sebesar itu, pintu masuk ke dalam kekuasaan sehari-hari mengendalikan negara, dalam genggaman. Selain menjalankan 'fungsi pertahanan keamanan', perwira-perwira ABRI menjalankan dalam kadar tinggi 'fungsi sosial politik' mereka. Padahal, menurut 'konsensus' tidak tertulis semula, secara terhormat dipahami bahwa bilamana tak ada situasi genting, seyogyanya fungsi sosial politik dari waktu ke waktu ditekan menuju titik nol. Namun agaknya berbagai kepentingan yang dinikmati melalui fungsi sospol, membuat tentara menjadi enggan dan samasekali makin tak tertarik untuk bergerak ke titik nol itu.

Kalangan tentara dan kekuasaan sehari-hari makin mempraktekkan teori kekuasaan ala Machiavelli, meskipun barangkali tanpa 'sempat' membaca buku 'Il Principe'. Maka pada sekitar tahun 1970 makin jelas fenomena masuknya tentara dalam kehidupan sipil. Para letnan kolonel dan kolonel menempati posisi-posisi bupati dan walikota, sedang para jenderal menempati posisi gubernur hingga ke posisi-posisi penting di berbagai kementerian negara –menteri, direktur jenderal dan inspektur jenderal. Tak kalah menariknya, adalah posisi-posisi di badan-badan usaha milik negara yang mengelola kekayaan alam dan mengatur hajat hidup orang banyak, mulai dari Pertamina dan aneka Perusahaan Negara hingga Badan Urusan Logistik. Pada mulanya pengisian pos-pos sipil itu memang terlihat masih cukup objektif untuk menambal kelemahan mendasar yang memang melekat pada kalangan sipil. Tetapi dengan berjalannya waktu, terasa ada kesengajaan tidak memberi kesempatan dan membiarkan kaum sipil berkubang dengan segala kelemahannya. Bahkan di belakang layar berjalan kampanye untuk mengecilkan peranan dan reputasi kaum sipil, sehingga layak untuk tetap di bagian belakang. Hanya kehadiran kaum teknokrat yang tercipta karena 'kebutuhan' Soeharto untuk berhasil dalam program ekonominya, yang dalam batas tertentu bisa mengangkat reputasi kalangan sipil. Itupun bukannya tanpa ranjau dan situasi dilematis, yang kadang-kadang memberi hasil akhir yang sangat kompromistis.
Kekuasaan yang makin terhimpun di satu tangan seperti itu, sebenarnya adalah tanda-tanda awal dari rencana melanggengkan kekuasaan, entah atas nama satu orang entah atas nama sekelompok orang sebagai satu rezim.

HASRAT Soeharto melanggengkan kekuasaan, makin terbaca dengan berjalannya waktu. Rezim yang dibentuk Soeharto dan para jenderalnya, selama puluhan tahun menjalar bagaikan tanaman rambat di pohon besar republik, meluas secara pasti dengan akar nafas yang mencekam kuat. Sulur dan daunnya membelit batang tubuh tumbuhan induk guna mencapai tempat-tempat yang tinggi mengejar cahaya. Tak gampang mencabutnya, tanpa merusak pohon induk, meski sebenarnya ia tidak merusak pohon induk. Hanya saja, ia memberi kesempatan bagi sejumlah tanaman parasit tumbuh bersamanya yang dengan ganas mencuri air dan makanan dari pohon induk

Pada periode 1966-1967, menurut sejarawan Anhar Gonggong –dalam artikel tema untuk buku 'Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter' (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004)– Jenderal Soeharto telah merancang pelbagai langkah untuk melaksanakan konsolidasi kekuasaannya. Dalam waktu yang hampir bersamaan dalam periode tersebut, di Bandung "telah berkembang wacana-wacana yang strategis. Salah satu di antaranya ialah persoalan bangunan demokrasi yang dirancang dengan melontarkan gagasan Dwi Partai dan juga undang-undang pemilihan umum. Perubahan sistem kepartaian memang mempunyai arti strategis untuk suatu konsolidasi kekuasaan dan yang kemudian akan disambung dengan pemilihan umum untuk mengisi secara demokratis lembaga-lembaga negara".
Tapi pada titik ini, dalam konteks menegakkan sistem demokrasi dan negara hukum, tampak perbedaan persepsi antara tentara dan kaum cendekiawan –khususnya mahasiswa– yang oleh Anhar Gonggong digambarkan pada mulanya adalah teman seiring. Buku itu sendiri menggambarkan betapa "ABRI yang dengan dukungan kampus perguruan tinggi kemudian berhasil mendominasi panggung kekuasaan negara Indonesia pasca-Soekarno, semakin berusaha berkuasa sendiri dalam pusat kekuasaan negara dengan tak lupa membawa serta kulturnya yang militeristik, otoriter, monolitik, dan mengarah pada diktatorisme. Tak banyak berbeda dengan pola kekuasaan yang dipraktekkan oleh rezim yang digantikannya. Militeristik dan komunistik tampaknya memang lekat dengan diktatoristik. Arahnya mudah ditebak: Suatu negara yang penuh manipulasi, sentralistik, korupsi, anti-demokrasi, dan berorientasi kekuasaan semata".

JENDERAL SOEHARTO yang pada tahun 1966 hingga menjelang pertengahan 1967, cukup banyak menunjukkan sikap 'sabar' dan banyak tersenyum –sehingga kemudian mendapat julukan The Smiling General– ternyata bermutasi sebagai Presiden yang tak terlalu tahan kritik. Senyuman 'monalisa'nya mulai kerap hilang. Tatkala tokoh kesatuan aksi Adnan Buyung Nasution dalam suatu pertemuan 13 Juni 1967 dengan tajam melontarkan kritik bahwa ABRI makin rakus, dengan berang Soeharto berkata, "Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempiling….".

Lalu, saat telah lima tahun berkuasa, Jenderal Soeharto menjadi lebih sensitif, bila caranya berkuasa dikritik dan dipersoalkan, bersamaan dengan mulai terjadinya intrik akibat rivalitas di lapis-lapis terdekat dari pusat kekuasaannya. Sensitivitas itu antara lain ditunjukkan Soeharto ketika menghadapi kritik-kritik mahasiswa terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) –yang kala itu lebih dikenal sebagai Proyek Mini yang diprakarsai Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto. Menggunakan kesempatan peresmian RS Pertamina di Kebayoran Baru, 6 Januari 1972, melalui suatu pidato tanpa teks, Jenderal Soeharto mengecam penggunaan hak demokrasi yang berlebih-lebihan, dan mengancam akan menghantam dan menindakinya.

Mereka yang berada tak jauh dari presiden, bisa melihat dengan jelas bahwa waktu itu wajah presiden tampak berkeringat. Pada pokoknya, Presiden Soeharto sebagai suami pemrakarsa, katanya sangat mengetahui secara jelas tentang rencana TMII, membenarkan Miniatur Indonesia. "Tak bertentangan dengan srategi jangka panjang perjuangan bangsa, pun tidak bertentangan dengan strategi jangka pendek". "Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan". Juga takkan mengganggu keuangan negara dan penerimaan negara. "Jadi, saya sampai bertanya-tanya kenapa mesti dihebohkan? Apa landasannya untuk diragukan, apakah mengganggu pembangunan ? Apakah karena Bang Ali project officernya, ataukah karena pemrakarsanya kebetulan istri saya lalu dianggap ini proyek mercusuar?".

Berkata lagi Presiden Soeharto "Atau apakah dianggap mau mempertahankan terus kursi presiden?". Seraya menyampaikan berbagai dugaan bernada prasangka dan peringatan, Presiden Soeharto menyebut isu-isu itu bertujuan jangka pendek untuk mendiskreditkan pemerintah yang dipimpinnya. Dan, untuk jangka panjang mendepak ABRI dari eksekutif maupun mendepak dwifungsi lalu menggiring ABRI masuk kandang. Bila memang itu soalnya, bukan semata soal Miniatur, maka ABRI lah yang akan menjawab, "ABRI tidak akan melepaskan dwifungsinya".

Tentang dirinya sendiri, Soeharto memberikan alternatif bahwa kalau ada yang menghendaki dirinya mundur karena menganggapnya terlalu ke'jawa'an –lamban, alon-alon asal kelakon dan sebagainya– tak perlu ribut-ribut. "Gampang, gunakan kesempatan sidang MPR 1973. Kalau mau lebih cepat lagi adakan Sidang Istimewa MPR". Syaratnya, semua berjalan secara konstitusional. Kalau tidak, jangan kaget kalau Jenderal Soeharto kembali ke sikap keras seperti 1 Oktober 1965 ketika menghadapi PKI. "Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional sebab akan saya hantam, siapa saja", ujarnya. Mereka yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. "Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum", kata Soeharto, "demi kepentingan negara dan bangsa saya akan gunakan Supersemar". Surat Perintah 11 Maret, adalah surat 'pelimpahan kekuasaan' yang diperolehnya dari Presiden/Pangti ABRI Soekarno pada tahun 1966.

Rivalitas para jenderal. Kelak, sensitivitas serupa berkali-kali masih akan ditunjukkan Jenderal Soeharto. Dan biasanya kemarahan itu tercetus sebagai pidato-pidato tanpa teks, antara lain seperti yang dilakukannya pada tahun 1980 di Pakanbaru. Semuanya senantiasa  merupakan reaksi terhadap apa yang dianggapnya sebagai serangan terhadap diri, keluarga dan kekuasaannya yang dikaitkannya dengan tujuan terselubung menghapuskan dwifungsi ABRI. Makin lama ia berkuasa, makin tinggi pula kadar sensitivitasnya. Mencoba memanfaatkan sensitivitas itu, para pelaku intrik istana yang terlibat rivalitas kekuasaan juga makin pandai menyebar serbuk gatal. Adalah fakta bahwa Soeharto berkuasa dalam jangka panjang, setelah terpilih sebagai Presiden melalui SI-MPRS 1967, ia masih terpilih lagi pada sejumlah SU-MPR, yakni di tahun 1972, 1978, 1983, 1988, 1993 dan 1998. Penciptaan situasi yang dibumbui penebaran serbuk gatal mencapai puncak keberhasilan di bulan-bulan pertama 1998. Bulan Mei, Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari kekuasaannya yang sudah berlangsung 32 tahun. Turunnya Soeharto terutama lebih disebabkan oleh pertarungan dan 'pengkhianatan-pengkhianatan' internal rezimnya sendiri melalui berbagai lakon dan peran para Brutus, yang kemudian digenapkan tekanannya oleh gerakan-gerakan mahasiswa. Para mahasiswa tak mungkin masuk menduduki Gedung MPR/DPR tanpa pemberian kesempatan oleh Panglima ABRI kala itu. (Baca juga, 'Konspirasi'  Mei 1998: Kisah Para Brutus di Sekitar Jenderal Soeharto, di sociopolitica.me tanggal 20, 23 dan 30 Mei 2012).

Sensitivitas Jenderal Soeharto banyak terpicu oleh sejumlah asap rivalitas yang terjadi sekitarnya, yang muaranya adalah menuju kursi RI-1. Ada asap, dianggap tentu karena ada api. Peristiwa polemik seputar Taman Mini Indonesia Indah, tahun 1972, menjadi salah satu penampakan awal dari adanya rivalitas intern yang makin menguat dalam tubuh kekuasaan. Pada awalnya, polarisasi pertarungan adalah antara para Jenderal Mabes (Markas Besar) ABRI dengan para Jenderal non Mabes. Para Jenderal non Mabes terutama adalah para Aspri (Asisten Pribadi) Presiden –Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani dan kawan-kawan– yang sepertinya menggelinding sendiri dalam berbagai kiprah kekuasaan dengan mengabaikan Mabes, menimbulkan rasa tidak senang. Maka pada kutub lain dari rivalitas adalah para Jenderal di Mabes, yakni Jenderal Soemitro dan kawan-kawan, Letjen Sutopo Juwono dan Jenderal Maraden Panggabean. Jenderal Amirmahmud yang Menteri Dalam Negeri juga termasuk ke dalam kelompok Mabes.

Para Jenderal kelompok Markas Besar ini memiliki satu mekanisme pertemuan teratur, semacam Dewan Jenderal, meskipun tidak dibakukan formal. Namun, di kelompok Mabes ini tercipta lagi faksi-faksi yang satu sama lain kerap menunjukkan perbedaan, meskipun pada dasarnya segaris. Sering kali 'perbedaan' terciptanya hanya karena hal-hal pribadi saja yang tidak prinsipil. Umpamanya, antara Jenderal Soemitro dan Jenderal Maraden Panggabean. Begitu pula antara Amirmahmud dengan jenderal-jenderal intelektual. Amirmahmud kadang-kadang kurang nyaman berada diantara para jenderal intelektual yang kerap menyelipkan bahasa Belanda dalam percakapan diantara sesama jenderal yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Selain itu, materi 'percakapan intelektual' para jenderal lainnya itu tidak 'menarik' bagi Amirmahmud. Dalam kasus TMII, Amirmahmud memainkan 'peranan' dan kepentingan berbeda dengan Jenderal Soemitro dan para teknokrat.

Antara Widjojo Nitisastro cs dengan kelompok Aspri juga sering terjadi perbedaan. Kelompok Ali Moertopo mempunyai keinginan, sehingga sudah menjadi semacam obsesi, untuk menguasai Bappenas karena merasa punya teknokrat-teknokrat dan ekonom yang memadai untuk itu, seperti Dr Panglaykim –ayahanda Dr Elka Mari Pangestu yang kini menjadi salah seorang menteri di kabinet Presiden SBY– dan kawan-kawan. Dibandingkan Widjojo dan kawan-kawan, pandangan-pandangan Panglaykim adalah lebih kanan, dan sementara itu pandangan-pandangan ekonom 'luar pagar' Prof Sarbini Somawinata adalah lebih kiri dari Widjojo dan kawan-kawan. Tapi di mata banyak pihak, pandangan-pandangan ekonomi Prof Widjojo cs maupun Prof Sarbini adalah sama-sama sosialistis. Dalam pada itu di Bappenas juga terdapat suatu lapis kedua yang memiliki pandangan, agenda dan kepentingan sendiri, di antaranya Bintoro Tjokroamidjojo yang memiliki kedekatan dengan kelompok alumni HMI. Dalam kasus TMII, dengan manuver-manuvernya yang jitu, Ali Moertopo berhasil lebih merapat ke ibu Tien Soeharto, sementara Jenderal Soemitro tampil tidak menggembirakan bagi sang ibu negara. Sedang Widjojo ditempatkan pada posisi sulit 'oleh' ibu Tien tatkala diminta untuk berbicara di depan kalangan generasi muda penentang TMII untuk memberi 'pembenaran' artifisial terhadap proyek itu.

Rivalitas internal kekuasaan itu, tampak lebih mengerucut pada tahun 1973. Bersamaan dengan peningkatan radikalisasi mahasiswa Jakarta dan meningkatnya gerakan kritis mahasiswa Bandung dan berbagai kota perguruan tinggi lainnya, tahun 1973 hingga menjelang awal 1974, temperatur pertarungan di tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Jenderal Soeharto juga meningkat. Dalam konteks ini, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menjadi fokus utama perhatian, karena dalam rumor politik yang gencar, ia 'dituduh' berambisi menjadi Presiden Indonesia berikutnya menggantikan Soeharto. Namun sebenarnya, Jenderal Soemitro tak sendirian dalam medan analisa kepemilikan ambisi seperti itu. Nama Mayor Jenderal Ali Moertopo juga disebut-sebut. Beberapa nama lain, kelak juga akan disebutkan di kancah ambisi tersebut.

RIVALITAS politik untuk menjadi calon pengganti Jenderal Soeharto di bagian pertama tahun 1970-an berlangsung bagaikan lakon wayang. Banyak yang berhasrat menjadi presiden, tapi tak pernah berani bicara terang-terangan. Para pengamat barat menyebutnya sebagai shadow playing. Lakon yang dimainkan cukup jelas untuk disaksikan, meski yang bermain adalah tokoh-tokoh dalam bentuk silhoutte. Tak nampak raut wajahnya namun sang bayangan yang memainkan lakon bisa dikenali berdasarkan bentuknya. Bandingkan dengan ajang pencalonan presiden pasca Soeharto, terutama menuju 2014. Banyak yang merasa bisa menjadi presiden dan mengupayakannya dengan segala cara. Tak ada rasa 'takut' untuk menampilkan diri atau minta ditampilkan sebagai calon presiden. Beberapa diantaranya dilakukan dengan lakon ala ketoprakan. Pendatang terbaru di arena ini adalah bintang musik dangdut Rhoma Irama.

Tatkala hasrat menjadi Presiden, adalah khayalan. Sejak pekan terakhir bulan September hingga pekan-pekan pertama November 1973, Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro, giat berkunjung menemui dewan/senat mahasiswa di sejumlah kota perguruan tinggi terkemuka: Surabaya, Bandung, dan Yogya. Ia mencoba menjelaskan secara persuasif sikapnya tentang mode rambut gondrong di kalangan anak muda, termasuk di kalangan mahasiswa. Penguasa seakan tak pernah jera mempertahankan sikap anti rambut gondrong, padahal sikap itu sempat memicu Peristiwa 6 Oktober 1970 yang menewaskan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam perkelahian keroyokan oleh Taruna Akabri Kepolisian calon perwira Angkatan 1970. Sebelum peristiwa, para taruna itu diikutsertakan dalam razia rambut gondrong di Bandung. Sampai kwartal terakhir 1973, Jenderal Soemitro masih mencoba meyakinkan mahasiswa bahwa mode rambut itu kurang sedap dipandang. "Tapi kalau yang mau diyakinkan itu tidak mau, ya tidak apa-apa", ujarnya. "Anak saya sendiri rambutnya gondrong".
Karena yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan dengan mahasiswa itu bukan hanya masalah rambut gondrong tetapi juga berbagai persoalan politik dan kekuasaan yang dihadapi saat itu, Jenderal Soemitro lalu masuk dalam fokus sorotan sedang mempersiapkan diri sebagai RI-1 berikutnya. Apalagi, sebelumnya ia selalu mendengung-dengungkan apa yang disebutnya 'pola kepemimpinan sosial baru' yang kemudian disebutnya 'pola kepemimpinan nasional baru'. Sewaktu ia tampil di depan mahasiswa Bandung, mahasiswa Psikologi Unpad Paulus Tamzil menanyakan kepadanya "Apakah pak Mitro berambisi menjadi presiden?". Sang jenderal yang 'popularitas'nya sedang berada dalam kurva menanjak, antara lain karena rangkaian kunjungannya ke kampus-kampus itu, menjawab "Bukan mau tak mau. Kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu". Lebih lanjut mengenai sepak terjang Jenderal Soemitro, kita ikuti pemaparan buku 'Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter' berikut ini.

Jenderal Ali Moertopo yang dianggap 'berseberangan' dengan Jenderal Soemitro, melalui koran berbahasa Inggeris 'The New Standard' (31 Desember 1973) mengeluarkan pernyataan bernada peringatan seraya mengangkat 'pengalaman' sejarah. "Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil". Ali Moertopo memberi contoh dari sejarah, "Runtuhnya banyak kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh kepemimpinan yang goyah. Dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah itu, tidak ada pilihan lain selain dari memperkuat kepemimpinan nasional kita".

Senin pagi tanggal 31 Desember 1973, bersamaan dengan beredarnya 'The New Standard' ada pertemuan dengan Presiden Soeharto yang diikuti oleh Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro dan Jenderal Sutopo Yuwono beserta Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo. Sebagian yang hadir dalam pertemuan 31 Desember itu telah 'dibekali' dengan informasi tentang peringatan yang telah dilontarkan Ali Moertopo melalui 'The New Standard' edisi hari itu.
Pertemuan 31 Desember 1973 yang berlangsung di Istana Merdeka tersebut, pada satu sisi seolah-olah dibuat samar-samar namun pada sisi lain dibuat sedemikian rupa agar bisa diketahui sebagian masyarakat dan diberikan kesan 'penting'. Apa yang dibicarakan pada pertemuan itu tidak diperincikan kepada masyarakat. Akan tetapi peringatan Ali Moertopo di 'The New Standard' –suatu koran dengan tiras yang terbatas– telah memberikan indikasi awal masalah yang akan menjadi pembicaraan pertemuan pagi tersebut. Segalanya lalu menjadi jelas setelah terjadi pertemuan lanjutan tiga jenderal tersebut dengan Presiden Soeharto dua hari kemudian di Cendana dan disampaikan kepada pers. Sejumlah wartawan yang diberi tahu tentang pertemuan itu telah bersiaga dan mencegat Jenderal Soemitro –terutama, dan bukan Ali Moertopo– lalu menghujani sang jenderal dengan serentetan pertanyaan.

Dengan wajah yang digambarkan muram bercampur keberangan, Jenderal Soemitro yang Rabu 2 Januari 1974 itu baru saja menghadap Presiden Soeharto –bersama Ali Moertopo dan Sutopo Juwono– menyampaikan kepada para wartawan yang mencegatnya bahwa ada usaha adu domba antara dirinya dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Juwono, dan antara Sutopo Juwono dengan Ali Moertopo. "Ada isu-isu yang menyebutkan akan ada penggantian pimpinan nasional mulai 1 April", atau paling lambat pertengahan tahun ini. Ia merasa dituduh berambisi menjadi pimpinan nasional baru. "Isu-isu itu disadap dari pertemuan saya dengan mahasiswa-mahasiswa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat", ujarnya seraya mengacungkan-acungkan telunjuknya. "Itulah yang kemudian dikembangkan seolah-olah akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1 April". Suatu isu, "yang betul-betul aneh, keterlaluan dan kejam !".

Dan seperti Ali Moertopo yang beberapa hari sebelumnya mengangkat kata-kata bersayap terkait 'sejarah', Jenderal Soemitro pun menyatakan bahwa menurut pengalaman sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, "Yang ingin tidak dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar".

Peringatan dari dua jenderal yang tampaknya bernada sama itu, pada hakekatnya adalah lontaran-lontaran peringatan yang bermata dua. Ali Moertopo berposisi sebagai pihak yang memperingatkan kepada siapa pun, tapi pasti terutama kepada Jenderal Soemitro. Tetapi sebaliknya, Jenderal Soemitro pun memberi peringatan, baik kepada yang dianggapnya penyebar isu atau insinuasi, maupun kepada pihak lain yang juga pada hakekatnya punya ambisi sama, baik karena merasa dipersiapkan atau karena merasa akan jadi. Di pintu Cendana pada tanggal 2 Januari 1974 itu –sebagaimana yang dituturkannya sendiri kemudian hari– Jenderal Soemitro sambil menunjuk Ali Moertopo yang ada di dekatnya, berkata "Saya dan dia diisukan akan mengganti Presiden Soeharto…. Saya diadukan dengan Jenderal Ali Moertopo, kemudian Jenderal Ali Moertopo diadukan dengan pak Topo. Keterlaluan". Lalu ia memperingatkan "Jangan sampai meluas isu yang demikian. Isu itu sama sekali tidak benar dan sangat kotor". Ali Moertopo pun menimpali, "itu makar". Siapa pembuat isu dan insinuasi ? "Nanti akan terungkap juga !", cetus Jenderal Soemitro. Di belakang hari terungkap, kedua jenderal itu sama-sama bermain di belakang layar yang  13 hari kemudian menciptakan sebuah resultante berupa Peristiwa 15 Januari 1974.

Tersisih. Tak lama setelah Peristiwa 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro mengundurkan diri dari jabatan Panglima Kopkamtib, yang berarti sekaligus mengakhiri karir militernya. Jenderal Soemitro dianggap ada di'belakang' gerakan mahasiswa yang ingin menjatuhkan Soeharto. Jenderal Ali Moertopo masih berkiprah untuk beberapa lama, namun akhirnya juga merenggang kedekatannya dengan Presiden Soeharto dan berangsur-angsur 'tersisih' dari lingkaran kekuasaan. Pada waktunya ia juga mendapat giliran menjadi 'tersangka' memiliki keinginan menjadi Presiden. Namun Ali Moertopo tak sempat mengikuti 'permainan kekuasaan' sampai tuntas, karena  meninggal dunia akibat penyakit jantung. Ia dengan demikian tidak ikut menyaksikan lengsernya Soeharto

Terlihat, betapa tak mudahnya hidup dengan hasrat menjadi Presiden di kala Soeharto masih berada dalam pucuk kekuasaan. Maka, setiap orang yang bercita-cita menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soeharto, harus pandai-pandai menyimpan hasratnya itu sebagai rahasia. Sepanjang sejarah, hanya dua orang yang pernah berani menyatakan cita-cita seperti itu di masa kekuasaan Soeharto, yakni Marzuki Darusman dan Jenderal Muhammad Jusuf melalui cara yang berbeda, dengan risiko yang hampir sama: disisihkan atau coba disisihkan dari gelanggang politik.

JENDERAL Muhammad Jusuf pernah menggebrak meja dalam suatu pertemuan yang dipimpin Presiden Soeharto, suatu malam beberapa waktu sebelum Sidang Umum MPR 1983. Dalam pertemuan –yang antara lain juga dihadiri Mensesneg Sudharmono, Seskab Moerdiono, Asisten Intel Hankam Letnan Jenderal LB Moerdani– Menteri Dalam Negeri Amirmahmud melontarkan suatu pertanyaan insinuasi yang memanaskan situasi. Kunjungan-kunjungan Jenderal Jusuf ke berbagai pelosok tanah air sebagai Menhankam/Pangab menemui para prajurit dan kalangan akar rumput, membawakan gagasan 'kemanunggalan ABRI dan rakyat' menurutnya perlu dipertanyakan kepada yang bersangkutan, apakah di baliknya terdapat ambisi-ambisi tertentu. Ambisi yang dimaksudkan Amirmahmud tak lain adalah keinginan Jenderal Jusuf untuk menjadi  Wakil Presiden RI, bahkan mungkin berambisi menjadi Presiden berikutnya menggantikan Soeharto.

Mendengar ucapan bernada insinuasi dari Amirmahmud itu, seperti yang dituturkan Atmadji Soemarkidjo dalam buku "Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit" (2006), tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja. Lalu, dengan suara keras ia berkata. "Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!". Semua terkejut, tak terkecuali Soeharto. Selama ia menjadi orang nomor satu di republik ini, belum pernah ada yang berani menggebrak meja seperti itu di depannya. Tapi ia tak menegur, apalagi sampai memarahi Jenderal Jusuf saat itu.

Presiden Soeharto memutuskan untuk tidak melanjutkan pertemuan malam itu. Saat semuanya telah keluar, Soeharto mengatakan kepada Jenderal Jusuf, "Jadi, pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja". Beberapa waktu kemudian, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Jenderal Jusuf bahwa pada bulan Maret 1983 jabatan Panglima ABRI akan diberikan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani. Dan bila Jenderal Jusuf bersedia, ia masih akan dijadikan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan. Artinya, kedua jabatan penting itu tak disatukan lagi di tangan satu orang. Jenderal Jusuf menolak tawaran tersebut. Bersamaan dengan itu rumor politik –maupun inisiatif yang pernah ada– tentang peluang Muhammad Jusuf menjadi Wakil Presiden, pudar dan padam.

Jenderal Jusuf kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), salah satu lembaga tinggi negara, setara dengan lembaga Kepresidenan, DPR dan Mahkamah Agung. Dalam jabatan inilah, lima tahun kemudian menjelang SU MPR 1988, suatu ketika Jenderal Purnawirawan Muhammad Jusuf datang menemui Presiden Soeharto. Tadinya, ajudan mengatakan bahwa Presiden tak ada waktu karena akan segera melakukan pertemuan dengan beberapa petinggi negara. "Lapor saja ke dalam, jangan kau yang ambil keputusan", tegas Jusuf. Begitu dilapori bahwa Jusuf meminta waktu bertemu, Soeharto menunda acaranya yang lain. Kepada sang Presiden yang pada ulang tahun Golkar 20 Oktober 1987, menyampaikan bahwa dirinya merasa miris setiap kali dimintai untuk kembali menjadi presiden, Muhammad Jusuf menyampaikan bahwa beberapa pihak meminta mantan Menhankam/Pangab itu untuk mencalonkan diri menjadi Presiden melalui SU MPR 1988. Jusuf menanyakan bagaimana pendapat Soeharto mengenai hal itu. Diceritakan, bahwa Soeharto tidak mengucapkan apa-apa, dan hanya mengulurkan tangan dengan telapak terbuka ke arah Jusuf, lazimnya isyarat mempersilahkan. Untuk seberapa lama, kisah ini hanya terpendam sebagai cerita di balik berita, diketahui dan dipercakapkan di kalangan terbatas saja.

PENYAMPAIAN wacana secara terbuka kepada publik, yang menerobos tabu tentang ketertutupan pembicaraan sekitar siapa calon Presiden RI yang bukan Soeharto, dilakukan Marzuki Darusman seorang politisi muda anggota DPR dari Fraksi Karya di tahun 1991. Dalam wawancara dengan Majalah Matra, September 1991, dengan cover story berjudul "Saya Ingin Menjadi Presiden", sebenarnya, tak ada ucapan langsung Marzuki Darusman bahwa dirinya merencanakan mencalonkan diri menjadi Presiden. Ia hanya mengatakan "Presiden merupakan karir tertinggi bagi seorang politisi". Tetapi sebagai anggota DPR, ia adalah seorang politisi yang menurut logika tentu layak saja bila ingin mencapai karir tertinggi tersebut. Tak lupa, ia mengingatkan, "Politik merupakan panggilan. Politik bukan sekadar satu di antara sekian cara banyak cara untuk mencari nafkah".

Waktu itu, Marzuki Darusman dikenal sebagai salah seorang politisi Golkar di antara sedikit –bersama misalnya Sarwono Kusumaatmadja– yang berani bersikap kritis dan bersuara vokal. Di tubuh Golkar  kala itu bergabung jalur A(ABRI) dan jalur B(Birokrat) selain jalur A yang terdiri dari politisi serta kekuatan sipil lainnya. Ketiga unsur ini menjadi penopang utama kekuasaan Jenderal Soeharto melalui Golkar, dan biasanya para tokoh di dalamnya memilih bermain aman saja terhadap Soeharto. Sementara itu, di tubuh dua partai sebagai kekuatan politik di luar Golkar, yakni PDI dan PPP, melalui para jenderalnya, Soeharto juga 'menempatkan' tokoh-tokoh yang pada hakekatnya bekerja untuk kepentingan rezimnya.
Tak selalu pernyataan-pernyataan Marzuki Darusman menyenangkan hati para petinggi Golkar maupun petinggi kekuasaan negara saat itu, baik di birokrasi maupun ABRI. Puncaknya adalah pernyataannya tentang jabatan Presiden sebagai cita-cita tertinggi politisi, yang membuat tak kurang dari Soeharto sendiri gusar. Rintangan bagi karir politiknya mulai muncul menjelang Pemilihan Umum 1992. Pintu posisi legislatif mendadak tertutup baginya, dan itu berlangsung untuk jangka waktu yang cukup lama. Namun ia menemukan panggilan aktivisme lain sebagai penggiat gerakan penegakan Hak Azasi Manusia yang kemudian membawanya menjadi Sekjen, kemudian Ketua Komnas HAM. Ia sempat bersama Baharuddin Lopa –tokoh lain yang karena hal tertentu juga sempat tersisih dari posisi pemerintahan– di Komnas HAM.

Dalam posisinya sebagai Ketua Komnas HAM, di sekitar masa-masa peralihan kekuasaan Soeharto, ia menjadi Ketua TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) mengenai kerusuhan Mei 1998. Ketika Abdurrahman Wahid naik menjadi Presiden RI, Marzuki Darusman diangkat menjadi Jaksa Agung. Banyak yang memperkirakan pintu bagi Marzuki Darusman terbuka menuju kursi kepresidenan pada suatu waktu, terutama bila ia berhasil menindaki pelaku-pelkau KKN masa Soeharto. Tetapi, nyatanya, makin banyak ia bertindak menangkapi para pelaku KKN, tak terkecuali upayanya membawa Soeharto ke pengadilan, makin besar pula hambatan dan gempuran balik yang dihadapinya. Ternyata, para koruptor yang memiliki akumulasi dana hasil korupsi yang berskala ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah, adalah kekuatan yang sama sekali tak bisa diremehkan. Mereka bisa membeli apa saja untuk mempertahankan diri. Bisa mengorganisir demonstrasi-demonstrasi ke Kejaksaan Agung untuk mengganggu konsentrasi lembaga itu dalam memberantas korupsi. Terdeteksi bahwa bahkan kelompok-kelompok atau lembaga swadaya masyarakat yang menyebutkan diri sebagai gerakan anti korupsi, di belakang layar ternyata menerima dana dari para pelaku korupsi. Beberapa di antaranya sebenarnya 'bisa' dikenali, namun sampai saat ini untuk sementara masih tersimpan sekedar sebagai catatan jejak rekam. Lebih dari itu, para koruptor bahkan bisa memperkuat diri, termasuk 'membeli' posisi-posisi baru kekuasaan masa reformasi –dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan maupun kepartaian.

Hingga sejauh ini, Marzuki Darusman, belum sekalipun pernah mencoba masuk ke dalam kancah kontestasi kursi kepresidenan. Ini menarik, bila mengingat bahwa dia lah orang yang pertama mewacanakan secara terbuka kepada publik melalui media tentang jabatan presiden sebagai karir tertinggi bagi seorang politisi di saat hal itu seakan ditabukan. Saat Golkar  melakukan konvensi untuk mencari calon presiden tahun 2004, Marzuki tak ikut mendaftarkan diri kendati ada yang mendorongnya ke sana, berdasarkan reputasinya sebagai tokoh Golkar putih. Agaknya ia lebih sanggup menakar diri, sementara beberapa yang lainnya mungkin lebih tak tahu diri.

Pada masa Soeharto itu, begitu banyaknya tokoh yang memiliki keinginan menjadi number one, namun selain Jenderal Jusuf dan Marzuki Darusman, tak pernah ada yang menyatakannya langsung kepada Soeharto atau mewacanakannya secara terbuka. Mereka yang betul-betul berambisi, termasuk sejumlah jenderal di seputar Soeharto, lebih memilih jalan belakang ala permainan wayang. Suatu keadaan yang tiba-tiba berbalik 180 derajat pasca kejatuhan Soeharto.

Semua mendadak merasa bisa. Seorang Ketua Umum partai peserta Pemilihan Umum 1999, marah-marah ketika dinasehati oleh beberapa rekan separtainya agar tak usah tergesa-gesa memproklamirkan diri sebagai calon Presiden. "Nanti, kalau partai kita bisa menang dalam pemilu, baru kita bicara", bunyinya nasehat tersebut. Dijawab, "justru keberanian untuk mencanangkan diri sebagai presiden serta kabinet bayangan, akan membuat partai kita menang". Nyatanya, partai tersebut termasuk di antara puluhan partai yang tak memperoleh satu pun kursi di DPR, dan dikelompokkan sebagai barisan partai gurem. Kutu-kutu kecil, tetapi gigitannya mengganggu juga.

Kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan semangat reformasi dengan euphoria yang berlebih-lebihan sebagai gejala ikutannya, memang telah membuat begitu banyak tokoh kala itu –bahkan terjadi hingga kini– mendadak merasa bisa menjadi Presiden Indonesia. Tetapi di sini, justru tercipta suatu paradoks berupa krisis kepemimpinan karena faktor kualitas yang serba minor. Popularitas dijadikan ukuran, kapabilitas menjadi soal lainnya lagi.

SEKEDAR bermodalkan faktor popularitas, banyak 'tokoh' yang berani –dengan berbagai cara– 'menawarkan' diri atau 'ditawarkan' oleh 'kelompok penggemar'nya menjadi calon Presiden dalam Pemilihan Umum 2014. Popularitas secara keliru disamartikan dengan akseptabilitas dan bahkan diterjemahkan lurus sebagai elektabilitas, lalu dijadikan dasar utama pengajuan diri. Sementara kapabilitas dan kualitas kepemimpinan ditempatkan di urutan berikut dalam kriteria kepresidenan.
Hingga sejauh ini, sudah puluhan nama yang disebut-sebutkan melalui berbagai jalur dan cara, sebagai calon presiden. Dari yang masuk akal sampai yang tak masuk akal sama sekali. Muncul beberapa gerakan untuk mencari calon presiden –di luar jalur partai. Antara lain ada nama Mahfud MD yang kini masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi dan nama Muhammad Jusuf Kalla mantan Wakil Presiden pendamping Susilo Bambang Yudhoyono pada periode lalu. Ada pula nama tiga menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II, yakni Dahlan Iskan, Djoko Suyanto dan Gita Wiryawan, serta pengusaha Chairul Tandjung. Joko Widodo yang baru saja beberapa bulan menjabat Gubernur DKI Jakarta, sudah muncul pula namanya dalam bursa. Nama lain, Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dan sejumlah nama terkenal, setengah terkenal sampai pada yang nyaris tak dikenal. Senin malam (11/2) TV One menampilkan 3 'kandidat' untuk didengarkan visi dan misinya, Handoyo, Farhat Abbas pengacara selebriti dan Fajroel Rahman yang semasa mahasiswa di ITB menyambut kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini di kampus dengan aksi bakar ban.

Ganti berganti, beberapa nama muncul dalam berbagai hasil survey sebagai calon dengan elektabilitas tertinggi. Begitu kencangnya perubahan nama unggulan, menciptakan kebingungan tersendiri, sekaligus pertanyaan mengenai kredibilitas sebagian lembaga survey. Timbul kesangsian, jangan-jangan ada di antara survey atau jajak pendapat itu –dengan sengaja atau tidak–  yang telah dilakukan dengan metodologi yang keliru dengan mengabaikan tanggungjawab akademis?

Beraneka ragamnya tokoh yang muncul dalam arena pencalonan presiden, juga menampilkan kualitas perseorangan yang begitu bermacam-macam. Beberapa tokoh misalnya, menguasai masalah hukum dan tata negara, tetapi lemah dalam masalah pembangunan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Terdapat tokoh yang secara umum tampak menguasai berbagai bidang namun serba tidak mendalam. Bahkan ada yang nyaris sama sekali tidak memahami masalah politik dan atau masalah pemerintahan yang mendasar sekalipun. Tak kurang di antara tokoh populer yang namanya diketengahkan dalam wacana kepemimpinan negara, berlepotan dan tergagap-gagap saat muncul di arena diskusi atau wawancara televisi bila ditanyai mengenai berbagai masalah yang seharusnya dipahami dengan baik oleh seorang calon presiden.

Menurut sebuah cerita yang lebih menyerupai rumor sekaligus humor, dalam sebuah wawancara televisi –yang untungnya tidak disiarkan live– seorang tokoh salah faham pada pertanyaan pewawancara. Sang pewawancara menanyakan pendapat sang calon presiden mengenai subsidi BBM yang dua ratusan trilyun per tahun. "Wah, saya baru tahu pemerintah mensubsidi BBM begitu besar. Gila juga. Subsidi itu sia-sia, merugikan rakyat banyak. Harus dihapuskan. Saya sendiri tidak pernah pakai BBM. Itu kan hanya untuk orang yang suka bergosip?". Dengan heran sang pewawancara menyela, "tapi tadi, anda kan naik mobil ke sini, masa tidak pakai BBM?". "Ya memang, saya tak pakai BBM. Cukup handphone biasa…". Dengan cepat sang pewawancara memberi isyarat cut kepada pengarah acara dan crew pengambilan gambar. Ternyata, terjadi miskomunikasi berat. Sang pewawancara menanyakan mengenai subsidi bahan bakar minyak (BBM), sang calon presiden berbicara mengenai black berry messenger (BBM).

Ada penguasa saluran kesempatan. DI ATAS kertas, sesuai peraturan perundangan tentang presidential threeshold yang belum dirubah, hanya 4 atau maksimal 5 pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang mungkin maju pada 2014. Undang-undang No. 42 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Presiden, menyebutkan partai atau gabungan partai yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden, harus memiliki 20 persen perwakilan di parlemen dan atau 25 persen suara nasional.
Di titik ini, menjadi menarik juga untuk mengetahui mengetahui mengapa begitu banyak orang ingin mencalonkan diri meski tahu betapa sempit dan terbatas saluran kesempatan yang tersedia hanya melalui partai-partai. Sebagian terbesar dari tokoh yang muncul atau dimunculkan, sepanjang tak ada perubahan peraturan perundang-undangan tentang pencalonan di luar  partai, bisa dipastikan takkan sampai di tujuan. Tapi dari sudut perjuangan pribadi, mungkin bisa berharap untuk setidaknya mendapat perhatian partai-partai, agar diajak. Pengalaman menunjukkan beberapa tokoh yang pernah mencalonkan diri dalam bursa kepresidenan, lima tahun lampau, kini diajak paling tidak masuk ke DPR, atau bahkan bisa tampil sebagai calon kepala daerah, entah bupati entah gubernur. Aktor Dedi Miswar misalnya yang lima tahun lampau pernah disebut-sebut sebagai kandidat presiden, kini digandeng untuk tampil sebagai calon Wakil Gubernur dalam Pilkada Jawa Barat di bulan Februari 2013 ini.
Mahkamah Konstitusi pekan ini menolak permohonan peluang pencalonan Presiden-Wakil Presiden tidak melalui partai politik. Dengan demikian, semua tokoh yang ingin menjadi pasangan pimpinan nasional tersebut, suka atau tidak, harus 'menawarkan' diri kepada partai-partai yang menjadi satu-satunya 'agen penyalur'. Itulah sebabnya, beberapa tokoh yang sesungguhnya memiliki kualitas kepresidenan, dengan integritas dan kepribadian kuat, bertambah enggan ikut-ikutan dalam kontes. Dalam posisi istimewa sebagai penentu seperti itu, partai-partai seharusnya berusaha mengeksplorasi dan menemukan tokoh berpotensi emas –memiliki kualitas dan kapabilitas– dan tidak sebaliknya menunggu 'emas' datang menjual diri. Namun yang terjadi selama ini adalah bahwa partai-partai berkecenderungan kuat menjadi oligarkis dan mencalonkan pimpinan partainya sendiri untuk menjadi presiden dan wakil presiden republik. Walau, sang pemimpin partai tak selalu punya kapabilitas dan kelayakan menjadi presiden.
Tercatat beberapa partai yang telah menegaskan mencalonkan Ketua Umum atau Pembina Utamanya sebagai calon Presiden 2014: Prabowo Subianto dari Gerindra, Aburizal Bakrie dari Partai Golkar, Hatta Rajasa dari PAN dan Wiranto dari Hanura serta kemungkinan Suryadharma Ali dari PPP. Secara tradisional, biasanya PDIP mencalonkan Megawati Soekarnoputeri, meski juga terdengar suara agar ada regenerasi melalui puterinya, Puan Maharani. Bagaimana dengan PKS? Sedang kerepotan, karena Presiden partainya tergelincir gara-gara soal daging sapi. Ketua PKB Muhaimin Iskandar sementara itu sempat sedikit melakukan semacam permainan dengan mendekati raja musik dangdut Rhoma Irama untuk dinominasi sebagai calon Presiden. Adapun Rhoma Irama yang hingga kini secara resmi belum menandatangani suatu 'kontrak rekaman' dengan PKB, tetapi merasa sudah mendapat amanah dari sejumlah ulama dan organisasi massa, masih menyebut dirinya 'wacapres' atau 'wacana calon presiden'.
Sementara itu, partai baru peserta Pemilu 2014, Partai Nasional Demokrat, saat ini punya Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto –Ketua Dewan Pertimbangan Partai– yang sejak lama sudah disebut sebagai salah satu kandidat Presiden. Tapi, bukankah juga ada Surya Paloh, sang Ketua Umum, yang sudah lama mengidap hasrat menjadi Presiden RI? Dulu, menjelang Pemilihan Presiden 2004 ia maju mencalonkan diri dalam konvensi Golkar yang mencari calon Presiden dari Golkar. Namun ketika itu Jenderal Purnawirawan Wiranto lah yang berhasil mendapat tiket dari konvensi.

Termasuk menarik dalam konteks menghadapi tahun 2014, adalah mengenai Partai Demokrat. Partai itu seakan tak henti-henti dilanda kemelut, antara lain karena sejumlah kadernya disorot keterlibatannya dengan masalah korupsi. Isu suap dan korupsi yang dianggap melibatkan sampai tingkat Ketua Umum partai, dituding sebagai penyebab utama terbantingnya elektabilitas Partai Demokrat sampai hanya 8 persen, menurut sebuah survey terbaru dari LSI. Kini kemelut internal itu mengkristal dalam bayangan perpecahan yang bisa menjadi sangat serius, pasca pengambilalihan kendali partai oleh Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Majelis Tinggi. Pengamat menyebut titik pusat perseteruan ada pada Susilo Bambang Yudhoyono dan Anas Urbaningrum. Dengan pengambilalihan kendali, apakah Anas Urbaningrum yang pernah menjadi Ketua Umum PB HMI dengan jam terbang berorganisasi lebih tinggi dari SBY, akan tersisih? Belum tentu. Hanya penetapan sebagai tersangka dalam kasus Hambalang oleh KPK yang bisa menghentikan Anas saat ini.

Partai Demokrat hingga sejauh ini secara resmi belum pernah menyebutkan nama tokoh yang akan dicalonkan sebagai Presiden pada Pemilu 2014. Saat ada isu bahwa Susilo Bambang Yudhoyono sedang mempersiapkan suatu dinasti kekuasaan –antara lain dengan mempersiapkan Ani Yudhoyono, isterinya, sebagai Presiden 2014– dengan cepat sang Presiden membantah. Lebih dari satu kali ia mengatakan tak mempersiapkan satu pun anggota keluarganya untuk menjadi Presiden 2014. Ini telah mendorong munculnya wacana di kalangan akar rumput Partai Demokrat, meskipun tak disampaikan terbuka, bahwa (kalau begitu) partai akan mencalonkan Anas Urbaningrum sebagai calon Presiden pada 2014. Tetapi sementara itu, dari lingkaran dekat SBY di Partai Demokrat justru berkembang wacana menokohkan Ani Yudhoyono untuk tampil dalam Pilpres 2014. Ada yang mengatakan, Ani Yudhoyono –yang adalah puteri jenderal legendaris tahun 1966 Sarwo Edhie Wibowo– agak menyesalkan keterlanjuran SBY berbicara ke mana-mana bahwa tak ada anggota keluarga yang akan tampil sebagai calon Presiden 2014-2019.

The bad among the worst. Dalam kaitan pencalonan Presiden tahun 2014, ada seruan agar tokoh muda diberi kesempatan untuk tampil. Seruan ini mungkin agak musykil terpenuhi. Di antara partai-partai yang ada hanya dua partai yang dipimpin oleh tokoh yang relatif muda, yakni Partai Demokrat dengan Anas Urbaningrum dan PKB dengan Muhaimin Iskandar. Mungkin juga Anis Matta dari PKS bisa disebutkan. Tapi ketiganya, bersama partainya masing-masing ada dalam sorotan masalah korupsi, kalau tidak persis di titik pusat, setidaknya berada tak jauh dari pusat sorotan tersebut. Sewaktu-waktu mereka bisa terhenti.

Secara keseluruhan, merupakan kenyataan bahwa hingga sejauh ini belum ada tokoh muda yang berhasil mengembangkan diri agar bisa tampil dengan suatu kharisma kepemimpinan yang mengesankan. Ada seorang tokoh muda yang berpenampilan cukup memikat, tapi suatu ketika ia menyampaikan suatu pernyataan mencengangkan, bahwa seorang pemimpin tak perlu punya konsep, tetapi harus pandai memadukan aspirasi berbagai pihak. Bagaimana mungkin memimpin tanpa konsep? Tentu tak cukup bermodal kemudaan untuk tampil sebagai pemimpin. Paling utama adalah kualitas berdasarkan pengalaman cukup panjang dalam aktivitas berdasarkan idealisme, bukan dalam arus selebritas. Biar muda, kalau sudah bergelimang lumpur politik kotor, apa gunanya bagi bangsa dan negara? Tak beda kan dengan pemimpin-pemimpin berusia lebih senior yang kebanyakan sudah puas bergelimang lumpur?

 Apapun, dalam Pemilihan Umum Presiden 2014 nanti, bila melangkahkan kaki ke bilik suara, kita tetap dihadapkan pada pilihan the bad among the worst. Apa harus absen, tidak menggunakan hak pilih? Tapi dalam hal tertentu sikap tak memilih itu, bisa juga memperluas ruang gerak para pelaku manipulasi kehidupan politik. Kecuali bila sikap memilih untuk tak memilih itu diikuti oleh mayoritas rakyat.

Namun, terlepas dari itu semua, untuk sementara, kita semua kalah oleh kenyataan bahwa dari perut bumi politik Indonesia saat ini, tak henti-hentinya mengalir keluar lumpur busuk. Hanya ada dua jawaban untuk kenyataan ini. Pertama, perlu perjuangan jangka panjang menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk mengatasinya. Kedua, meski hanya selubang jarum, mungkin saja ada peluang blessing in disguise melalui suatu bentuk historical by accident, yang bukannya tak pernah dialami bangsa ini. Tapi bila kita terlalu berharap kepada yang kedua ini, mendambakan satu lagi keajaiban,  itu artinya kita terlalu pasrah.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar