Senin, 30 Desember 2013

[Media_Nusantara] (OOT) HAPPY NEW YEAR 2014 ! [2 Attachments]

Dear Moderator ..
Numpang posting yah :)
 





Like Fanpage MGTRADIO www.facebook.com/1011mgtradio
Follow @MGT_RADIO
Invite PIN MGTRADIO 2138AA45
SMS 08122041011




[Media_Nusantara] Refleksi Akhir Tahun Tentang Keserakahan di Jatim

 

Korupsi P2SEM, Kejahatan Keserakahan oleh Elite

Kamis (26/12) atau lima hari menjelang berakhirnya tahun 2013, ada nyanyian bernada protes atas ketidakadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Jatim. Selain soal ketidakadilan, protes ini menyentuh tentang praktik keserakahan berebut dana APBD Provinsi Jatim tahun 2008 yang semestinya untuk orang miskin, dipakai bancaan elite di legislatif dan eksekutif. Nyanyian ini datang dari mantan Ketua DPRD Jatim, Fathorrasjid. Elite PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)nya Gus Dur,ini terkesan kecewa kepada penegak hukum di Jatim yang dulu menyidik dan menuntut pelaku korupsi P2SEM. Sejak ia disidang dan ditahan selama empat tahun lebih, bahkan sampai keluar dari bui, dalang yang berada dibalik korupsi P2SEM, belum prnah tersentuh oleh hukum. Siapa dalang yang dimaksud Fathorrosyid?. Oleh karena itu, Fathor, panggilan akrabnya, kini membentuk tim Tim Ranjau Sembilan. Tim ini akan membongkar kasus P2SEM yang menggunakan dana APBD Provinsi Jatim sebesar Rp 277M miliar. Isyaratnya, bisa jadi kasus P2SEM yang terjadi ketika provinsi Jatim masih dipimpin oleh Gubernur Imam Oetomo, bakal seru. Akankah Imam Oetomo, Mayjen (Purn) TNI-AD yang kini menjadi Ketua PMI Jatim, akan disidik, ditahan dan diajukan ke pengadilan seperti mantan Pangdam V Brawijaya, Letjan (Purn) Djaja Suparman. Berikut tulisan pertamanya dari beberapa catatan akhir tahun 2013.
 
Saya termasuk warga negara Indonesia yang "bosan" membaca dan mendengar peristiwa dugaan tindak pidana korupsi. Bosan, bukan karena peristiwa korupsi sudah tidak menarik lagi. Tapi penangannya yang tidak pernah sampai tuntas ke akar-akarnya, terutama aktor intelektual. Paling tidak tindak pidana korupsi yang terjadi di provinsi Jawa Timur.
 
Sebagai jurnalis, saya bosan, karena setiap ada kasus korupsi yang menyangkut dana rakyat yang ada di APBD, terpidana yang telah dihukum, selalu bernyanyi dan dari staf atau eselon dua. Ada apa? Apakah aparat penegak hukum di Jatim lemah? Ataukah data-data yang dikumpulkan oleh aparat penegak hukum kurang lengkap? Ataukah kemampuan analisis penegak hukum dalam melakukan kajian hukum (gelar perkara), kurang jeli? Ataukah ada tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hand) yang bermain mengendalikan penyidik dari jauh?
 
Kasus gratifikasi Rp 740 Juta di Pemkot Surabaya misalnya. Tersangka yang ditahan pertama kali adalah Ketua DPRD Surabaya, Musyafak Rouf, yang kebetulan juga dari PKB. Menyusul Sekda Pemkot dan eselon 1 di Pemkot Surabaya yaitu Soekamto Hadi, Mulkis dan Poerwanto. Sementara walikota Bambang DH, yang memberi kebijakan, malah belum tertangani. Beberapa kali diperiksa, Bambang masih dijadikan saksi. Setelah publik, terutama pers melakukan kontrol terhadap kinerja penyidik, Bambang baru ditetapkan sebagai tersangka. Reaksi pers itu setelah Musyafak Rouf menemui tokoh-tokoh pers di Surabaya untuk menyampaikan curhat atas ketidakadilan terhadap dirinya.
 
Saya mencatat nyanyian Fathor, kepada media massa dengan cara menggelar press conference di Restoran Halo Surabaya itu, layak diacungi jempol. Artinya Fathor masih sadar bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan yang independen dapat menyuarakan jeritan orang yang didholimin dan atau orang yang diberlakukan tidak adil.
 
Dalam skala yang obyektif, siapa saja, manusia sebagai mahluk sosial yang berakal sehat, pada saat diperlakukan tidak adil kadang menyisakan luka. Mengingat secara universial, soal keadilan adalah masalah yang hakiki buat semua umat manusia di dunia.
 
Dari hasil memantau denyut kehidupan pencari keadilan di Polda Jatim dan Pengadilan Negeri Surabaya, saya masih menangkap kesan bahwa hukum di Indonesia masih dapat di "beli". Maksudnya "dibeli" oleh mereka yang yang mempunyai kekuasaan, punya uang banyak dan punya akses ke makelar kasus dan atau langsung ke pejabat penegak hukum. Akhirnya, dari hasil bergulat dengan pelapor, terlapor dan pengacara yang ada di Surabaya, saya menangkap pengakuan secara informal bahwa karena hukum dapat di beli, maka masih aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Kasus Bethany misalnya. Penyidik Polda Jatim yang sudah menetapkan Pdt Yusak hadisiswanto, menantu bapak Bethany Pdt Abraham Alex, sebagai tersangka, tiba-tiba perkaranya tenggelam tanpa proses tindak lanjut.
 
Diluar kasus perkara saling lapor antara pendeta Bethany, masih ada perkara yang menjadi sorotan publik terkait diskriminasi hukum. Diantaranya kasus gratifikasi Rp 740 juta yang merupakan kebijakan Walikota Bambang DH dan kasus P2SEM senilai Rp 277 miliar yang didasarkan atas kebijakan Gubernur Jatim ketika itu, Imam Oetomo. Praktik diskriminatif seperti ini menurut saya tak ubahnya seperti dideskripsikan oleh Plato,ribuan tahun yang lalu. Saat itu Plato mengisyaratkan perlakuan yang diskriminatif di depan hukum tak ubahnya sebuah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat orang-orang yang lemah, tetapi akan robek jika menjerat mereka yang berdut dan memiliki kekuasaan untuk mengakses di kalangan petinggi hukum.
 
Menggunakan pola pikir jaring laba-laba, tidak ada yang keliru bila muncul hipotesis bahwa kasus P2SEM dapat dijadikan pintu masuk untuk menangkap koruptor kelas wahid seperti yang dilontarkan oleh Ketua Abraham Samad, pada acara seminar di Jakarta, pertengahan November 2013 yang lalu. Ketika itu, Ketua KPK itu melontarkan pernyataan yang mengejutkan bahwa ada koruptor besar di Jawa Timur yang sangat lihai, karena berlindung di balik aturan-aturan hukum yang berlaku.
 
Aturan hukum apa yang dipakai koruptor besar di Jatim. Apakah Perda P2SEM yang diusulkan Gubernur Imam Oetomo dan disetujui oleh DPRD yang ketika itu dijabat oleh Fathorrosyid, dapat dikatagorikan aturan hukum tingkat provinsi yang dipakai payung hukum menggerus dana APBD Jatim periode 2008, hingga dana sebesar Rp 277 miliar dipakai bancakan oknum legislatif dan eksekutif. Wait and see, sejauh mana pernyataan Ketua KPK Abraham Samad, memiliki kebenaran yang dapat dipercaya oleh publik.
 
Kalau menakar besaran dana sebesar Rp 277 miliar yang dirancang untuk memperbaiki ekonomi rakyat di Jawa Timur. Tetapi rancangan itu meleset dari goal awal, karena dana APBD itu dipakai bancaan oleh eksekutif dan legislatif dengan level elite, saya memastikan itu modus dari sebuah keserakahan oleh eksekutif dan legislatif di provinsi Jawa Timur. Tidak berlebihan bila tingkatan tindak pidana korupsi P2SEM bermotif keserakahan dan kerakusan dari elite-elite yang tahun 2008 menduduki posisi strategis di Pemprov Jatim dan DPRD Jatim.
 
Mendalami fakta-fakta hukum yang terungkap di Pengadilan Negeri Surabaya, tampaknya ada faktor internal sehingga timbul tindak pidana korupsi dari kebijakan Gubernur terkait dana P2SEM sebesar Rp 277 miliar.
 
Faktor internal di Pemprov dan DPRD Jatim dalam kasus P2SEM dapat terjadi, karena adanya dorongan dari diri individu-individu di Pemprov dan DPRD Jatim. Dari fakta hukum itu saya menyerap terhadap kualitas moral seseorang individu yang sebenarnya memiliki moral tinggi (Elite/pejabat Pemprov dan DPRD Jatim) yang seharusnya tidak perlu melakukan korupsi (karena gaji dan tunjangan menarik), tetapi kemudian korupsi. Pada sisi religius,aspak iman pejabat Pemprov dan DPRD Jatim yang diasumsikan goyah.
 
Secara matematika, saya bisa berhipotesis bahwa kini Fathor,mantan terpidana korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarat (P2SEM),mulai bermanuver. Bisa melakukan manuver politik sekaligus hukum. Hipotesisnya yang baru dijerumuskan ke bui,baru politikus PKB dan Partai Golkar. Sementara eksekutif yang merancang gagasan, bahkan satu pelarian adalah anak pejabat kesayangan mantan Gubernur Imam Oetomo, masih leha-leha diluar tanpa disentuh hukum. Kondisi yang demikian dapat saya katakan bahwa secara politisi, kasus P2SEM bakal makin seru seperti kasus gratifikasi di Pemkot Surabaya. Saya memprediksi, sejumlah elite kedua partai itu bisa tidak tinggal diam. Rumus politik balas dendam bisa terjadi. Bahkan politik sakit hati bisa muncul. Indikasi akan ada politik balas dendam dan sakit hati dapat kita cermati benang merah antara politikus dan penegak hukum di KPK. Pertama, roh pernyataan Ketua Umum Abraham Samad, dalam sebuah seminar di Jakarta, November 2013 yang lalu. Ketika itu,Abraham Samad melukiskan di Jatim ada tindak pidana korupsi besar,canggih dan sulit dilacak oleh KPK. Kedua, setelah pernyataan Ketua KPK menjadi polemik di pers, muncul pernyataan yang saling lempar tanggungjawab. Ini terjadi antara Abraham Samad dengan KH Hasyim Muzadi, karena Abraham yang diklarifikasi soal siapa figur koruptor besar di Jatim, menyuruh wartawan menemui KH Hasyim Muzadi. Sementara KH Hasyim Muzadi, melalui staf kepercayaannya, meminta wartawan bertanya ke Ketua KPK Abraham Samad. Ketiga, KH Hasyim Muzadi, tiba-tiba hadir dalam deklarasi "Pendholiman orang PKB" yang dimotori oleh mantan Ketua PKB Surabaya yang juga mantan Ketua DPRD Surabaya, Musyafak Rouf.
 
Kempat, dalam deklarasi di sebuah rumah makan jl. Bubutan itu Fathor dkk telah membentuk "Tim Ranjau Sembilan". Tim ini sudah mengantongi data-data terkait korupsi P2SEM, termasuk penerima aliran dana beserta rekeningnya. Selain itu, "Tim Ranjau Sembilan" juga sudah mengkolek beberapa fakta persidangan. Semuanya akan dibawa Fathor, ke KPK agar segera ditindaklanjuti. Bila Fathor benar-benar akan mewujudkan keinginannya, pernyataan Ketua KPK Abraham Samad, bisa dikatakan bukan isapan jempol.

P2SEM, Pejabat Rampok Hak Orang Mlarat

Saya tidak tahu maksud mantan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid, akan melaporkan pejabat Pemprov ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), terkait program P2SEM. Meski secara pribadi saya kenal dengan dia, tapi sejak ia ditetapkan tersangka kasus tindak pidana korupsi P2SEM, saya sudah tidak pernah bertemu.
 
Dari cara Fathor, panggilan akrab aktivis PKB, membuka kasus P2SEM pasca keluar dari tahanan, ada indikasi kuat, apa yang dilakukannya saat ini manuver politik. Indikasi ini saya cermati dengan caranya menuntut keadilan dengan membentuk "Tim Ranjau 09". Apakah pembentukan tim ini, ia akan meranjau sembilan pejabat pemprov dan anggota DPRD lain yang belum terjamah hukum seperti Fathor. Justru dari orang dekatnya, saya mendapat informasi bahwa Fathor, ingin menyeret beberapa pejabat Pemprov dan DPRD Jatim melalui KPK, bukan kepolisian atau kejaksaan. Sebagai warga negara yang politisi, tampaknya Fathor, tidak ikhlas yang diperiksa dan diadili dalam kasus P2SEM hanya dirinya dan beberapa orang saja.
 
Kepada pers, mantan Ketua DPRD Jatim ini mengatakan, Tim Ranjau 09 yang dipimpinnya, saat ini sedang mengolah data pelaku koruptor kelas wahid di Jatim. Kelak hasil pengolaan data "Tim Ranjau 09" akan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data dugaan tidak pidana korupsi yang akan dilaporkan ke KPK selain kasus Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) senilai Rp 277 miliar, juga kasus lain seperti kasus fee Bank Jatim Rp 71,4 miliar untuk pejabat di provinsi Jatim. Fee ini disinyalir sarat dengan gratifikasi dan bancakan dana BUMD yang seharusnya masuk ke APBD, tetapi dibelokkan untuk fee pejabat. Selain kasus hapus buku kredit senilai Rp 410,1 miliar, yang separuh diantaranya tanpa agunan.
 
Saya tidak mengecilkan semangat Fathor, ingin menguak dugaan korupsi yang dilukiskan besar di Jatim. Paling tidak periode ketika ia masih menjadi ketua DPRD Jatim 2004-2009. Apakah ia bisa ketika melaporkan menyertakan dukungan alat bukti yang cukup. Artinya tidak cuma sekedar laporan kronologis kejadian dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh elite Pemprov dan DPRD era ketika ia masih memimpin legislatif di provinsi Jatim.
 
Saya perlu mengajak dialog dengan Fathor dan Tim Ranjau 09 melalui catatan hukum ini. Pertama, masalah menuduh orang, diperlukan pembuktian. Apalagi dalam dugaan tindak pidana korupsi. Jujur pembuktian sangkaan tindak pidana korupsi oleh penyidik mana pun, membutuhkan usaha ekstra keras.
 
Maklum, dalam proses pemeriksaan suatu perkara tidak pidana korupsi, pembuktiannya harus benar-benar dilakukan secara cermat. Mengapa? Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas, baik jaringannya maupun keluarga tersangka. Bahkan secara ekonomi dan sosial, korupsi dapat mengganggu pembangunan, selain menimbulkan kerugian negara. Untuk kasus P2SEM misalnya menyangkut program penanggulangan kemiskinan. Program bantuan sosial semacam ini,acapkali minim sosialisasi. Salah satunya, dananya "distop atau dimainkan" di kalangan elite yang sebenarnya sudah digaji cukup oleh negara. Akibatnya, kelompok rumah tangga yang menjadi target P2SEM, tidak tahu dan menyadari bahwa Pemprov Jatim memikirkan mereka.
 
Inilah salah satu bentuk keserakahan elite kita. Mereka sering berkoar-koar menyoroti program pengentasan kemiskinan yang selalu tidak tepat sasaran. Bahkan sejak Orde Baru, program pengentasan kemiskinan telah diselenggarakan oleh pemerintah dengan berbagai variasinya. Hasilnya, program-program mengentas kemiskinan yang didanai APBN dan APBD, sampai kini saya berani mengatakan tetap masih belum mampu memberikan sumbangan secara signifikan di dalam pengentasan kemiskinan.
 
Terbukti bahwa secara nasional, angka kemiskinan tersebut masih tinggi. Pada tahun 2008 (ketika P2SEM digiatkan oleh Gubernur Jatim Imam Utomo), orang miskin di Indonesia masih berkisar 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Setahun berikutnya (2009, saat Fathorrasjid ditahan), program pengentasan kemiskinan hanya menyumbang pengentasan kemiskinan sebanyak kira-kira 3 persen. Dari angka pengurangan kemiskinan kira-kira 3 persen tersebut, sebanyak 30 persen disumbangkan oleh Jawa Timur.
 
Melalui unit analisis Rumah Tangga Miskin (RTM) tahun 2009, sejak tahun itu di Jatim diputuskan ada tiga kelompok RTM, yaitu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), Rumah Tangga Miskin (RTM) dan Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM). Secara keseluruhan, jumlah RTM di Jawa Timur tercatat 3.079.822 orang dan tersebar di 29 kabupaten dan 9 kota.
 
Dari angka tersebut, jumlah riilnya adalah RTHM (near poor) sebanyak 1.330.696 atau 43 persen, RTM (poor) sebanyak 1.256.122 atau 41 persen dan RTSM (very poor) sebanyak 493.004 atau 16 persen. Dari angka-angka yang mengerikan ini mengapa dana APBD Jatim tahun 2008 sebesar Rp 277 miliar untuk pengentasan kemiskinan. Apakah elite di Pemprov dan DPRD Jatim saat itu sudah demikian serakahnya, sampai jatah orang miskin dirampok secara berjamaah.
 
Perampokan dana P2SEM oleh pengambil kebijakan untuk pengentasan kemiskinan ini bukan praktik robin hood, tapi kejahatan orang kaya yang memakan jatah orang mlarat.
 
Jujur,melihat dana untuk orang miskin dari APBD sebesar Rp 277 miliar, akal sehat saya bilang inilah salah satubentuk akal-akalan pejabat yang sudah tidak punya nurani. Saya merenung apa yang ada di otaknya ketika itu, anggaran untuk wong mlarat diembat ramai-ramai. Apakah mereka sudah kelaparan, sehingga tega melalap haknya orang miskin. Atau apakah ini yang dinamakan orang kaya materi, tapi pada hakikatnya mereka adalah orang miskin. Atau wong pinter ngakali wong cilik karena otak dan hatinya serakah. Atau mereka adalah wong pinter sing licik dan serakah.
 
Mengkalkulasi jabatan yang dimiliki, kekuasaan yang digenggamnya dan materi yang telah ditimbun, saya bertemu dengan seorang ustadz. Saya menanyakan kualifikasi model apa perilaku elite semacam itu. Ustadz itu menyebut elite seperti itu telah dihinggapi keserakahan membagi-buta. Akibat keserakahannya, membuat elite-elite itu sulit bersyukur. Bahkan. Elite-elite itu bisa beranalogi mumpung masih menjabat, mengapa tidak menumpuk harta yang lebih besar, besar dan besar dengan akal-akalan menggunakan kekuasaan.
 
Keserakahan elite yang melalap hak orang kecil seperti yang terjadi dalam kasus P2SEM, dapat bercermin pada keserakahan yang dipraktikkan Fir'aun. Ketika masih hidup, Fir'aun memiliki kekuasaan, kedudukan dan kemegahan serta harta berlimpah ruah. Semuanya telah menyebabkan dia dibutakan hatinya, sehingga Fir'aun tega mengdzolimi masyarakat jelata ketika jamannya.
 
Oleh karena itu, dikalangan pemuka agama sudah diketahui bahwa orang serakah, meski berharta dan berkedudukan, hatinya tidak pernah tenang. Mereka selalu tidak puas. Bahkan orang serakah rela tenggelam dalam ambisinya sendiri. Atau mereka meski pernah berhaji dan berumroh beberapa kali, sering lalai bahwa Allah sangat tidak suka pada keserakahan. Allah mengajar kaya untuk berjalan (mensyukuri) dengan kecukupan dari-Nya. Bahkan jika ada kelimpahan, Allah meminta orang kaya beriman diwajibkan berbagi, sebab masih banyak orang yang membutuhkan bantuannya. Jadi secara ketahuidan, keserakahan dapat menyingkirkan kepekaan sosial dan kepedulian terhadap kepentingan dan kebutuhan sesama manusia yang melarat. Artinya, bisa jadi dalam pikiran elite-elite di tingkat provinsi dan DPRD mengartikan program pengentasan kemiskinan yang didanai APBD itu, ada rejeki orang miskin yang harus disunat buat mereka. Astagfirullah.
 
Harus saya garis-bawahi bahwa perampokan program penanggulangan kemiskinan seperti P2SEM, telah menciptakan penanggulangan orang kaya bertambah kaya dengan mengambil haknya orang miskin. Padahal selama ini upaya penanggulangan kemiskinan digembar-gemborkan oleh pejabat dan politisi perlu adanya sinergi dan kemitraan dari semua pihak. Inilah potret buruk kemitraan di Jatim dalam pengentasan kemiskinan era Gubernur Imam Utomo. Saya percaya era Gubernur Dr. Soekarwo, praktik pengentasan kemiskinan seperti P2SEM, tidak akan terulang, karena Pak De, panggilan Dr. Soekarwo, adalah anak petani yang berkarir dari bawah di pemerintahan

Menguak Persekawanan Fathor dan Imam Utomo Dalam Kasus P2SEM

Menjelang tutup tahun 2013 ini, provinsi Jawa Timur diguncang gejolak isu ada koruptor besar yang belum tertangkap. Isu itu bersumber dari keterangan Ketua KPK Abraham Samad, yang disampaikan dalam sebuah seminar di Jakarta, pertengahan November 2013. Satu bulan setelah keterangan Ketua KPK, mantan Ketua DPRD Provinsi Jatim Fathorrasjid, mengundang pers tentang kasus P2SEM yang dianggapnya belum menyeret otak atau actor intelektualnya. Keterangan Fathorrasjid ini makin membikin dag-dig-dog masyarakat Jatim, termasuk pejabat di Pemprov dan anggota DPRD Jatim. Keterangan antar dua orang ini terkesan seperti ada benang merahnya. Pertama, pernyataan Ketua KPK yang menyoal ada koruptor besar yang rapi di Jatim, tapi belum tersentuh oleh hukum. Kedua, Fathorrasjid menyatakan dirinya punya data adanya beberapa tindak pidana korupsi besar di provinsi Jatim periode 2004 - 2009, saat ia masih menjadi Ketua DPRD Jatim.
 
Dari benang merah ini telah ditemukan fakta hukum yang menunjukkan pada era kepimpinan Gubernur Jatim Imam Utomo (Imut) periode tahun 2004-2009, telah ditemukan dugaan perampokan APBD. Pertama, pada tahun 2008 dana yang dijadikan bancaan sebesar Rp 277 miliar. Dugaan perampokan itu dilakukan melalui program P2SEM. Kedua, bancakan dana keuntungan Bank Jatim sebesar Rp 71,4 miliar melalui modus fee pejabat. Dan ketiga, pada kurun Imut memimpin jabatan yang kedua, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menemukan ada penghapusan buku kredit sebesar Rp 410 miliar, dimana separuhnya kredit tanpa agunan.
 
Dengan menggunakan akal sehat, saya bertanya seberapa seriuskah Fathorrasjid menindaklanjuti keterangan pers di sebuah rumah makan kawasan Bubutan Surabaya minggu yang lalu (26/12). Apakah gebrakannya dan gambaran bahwa Fathor telah membentuk "Tim Ranjau O9" benar-benar dilandasi niatnya untuk membongkar kasus dugaan korupsi besar di Jatim melalui KPK. Ataukah gebrakan pembentukan "Tim Ranjau O9" hanya move politik menjelang tutup tahun 2013. Ataukah gebrakannya itu hasil dari perenungannya selama menghuni LP Medaeng empat tahun, dimana ia merasakan masih banyak pelaku perampok dana APBD sebesar Rp 277 miliar yang belum terjangkau oleh aparat hukum Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
 
Dengan mencermati fakta-fakta hukum yang disampaikan Fathorrasjid yaitu baik kasus P2SEM, fee pejabat dari dana BUMD Bank Jatim maupun penghapusan buku kredit termasuk kredit tanpa agunan. Modus penghapusan buku kredit ini merugikan kuangan Bank Jatim yang dimodali oleh keuangan negara. Sebab kredit macet tidak otomatis bisa dihapus begitu saja. Apalagi ditemukan ada kredit puluhan miliar tanpa agunan.
 
Dengan fakta-fakta hukum seperti itu, maka unsur permulaan adanya delik tindak pidana korupsi di Jatim, telah terpenuhi. Pertama, tindak pidana pada tiga kasus itu, semuanya melibatkan penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya tiga kasus itu. Kedua, ketiga kasus ini telah mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Ketiga, ada keterangan dari Ketua KPK, sehingga pers lokal memblow up selain telah dijadikan perbincangan di kalangan masuarakat. Dan keempat, ketiga kasus itu semuanya menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), baik dari APBD Jatim tahun 2008 maupun modal negara yang disetorkan ke Bank Jatim sebagai BUMD milik provinsi Jawa Timur.
 
Dengan temuan itu, tinggal Fathor dan Tim Ranjau O9 melengkapi pengaduannya (kalau Fathor memang berniat serius) dalam upaya menyeret elite di pemprov, anggota DPRD Jatim maupun Direksi Bank Jatim ke KPK Syarat yang diminta KPK untuk pengaduaan dugaan tindak pidana korupsi seperti ini, harus dilakukan secara tertulis. Kemudian Fathor wajib menyertakan identitasnya sbagai pelapor. Syarat lainnya, Fathor perlu menyiapkan kronologi dugaan tindak pidana korupsi dengan disertai bukti-bukti permulaan yang disesuaikan dngan nilai kerugian dan jenis korupsinya. Mengingat tiga kasus itu telah merugikan keuangan negara yaitu ada pemeriksaan dari BPK,baik perkara P2SEM maupun praktik aneh di Bank Jatim. Apalagi kabarnya Fathor, melalui "Tim Ranjau O9" telah melakukan investigasi.
 
Saya belum tahu apakah "Tim Ranjau O9" yang dipimpinnya juga telah melakukan audit investasi atas dokumen-dokumen yang ia milikinya.
 
Komisioner KPK sendiri menjanjikan kepada publik yang telah memberikan informasi maupun buktI-bukti terjadinya korupsi, ada jaminan kerahasiaan identitas pelapor.
 
Dalam hukum acara pidana, tidak ada ketentuan berapa lama laporan dari masyarakat itu ditindaklanjuti oleh KPK. Sebagai lembaga penegak hukum khusus pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK punya kiat sendiri menangani pengaduan dari masyarakat. Lama-tidaknya suatu laporan menjadi perkara ke tingkat penyidikan, sepenuhnya wewenang KPK. Mengingat setiap pengaduan yang disertai bukti permulaan yang cukup, menurut KUHAP dan komitmen dari para komisioner KPK, sudah bisa ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan. Ini kelebihan KPK dibanding kepolisian. Dalam menseriusin kasus-kasus tindak pidana korupsi, KPK memiliki tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Menurut Pasal 5 KUHAP, tugas dan wewenang dari penyelidik manapun, baik Polri,Kejaksaan maupun KPK adalah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
 
Kemudian Pasal 1angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP"), penyelidik atas laporan/pengaduan masyarakat, akan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam penyidikannya, berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidik akan mencari serta mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Alat bukti yang dimaksudnya adalah alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah itu ada lima yaitu keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa.
 
Semua yang saya beberkan tersebut bagian dari proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Dalam praktik pembuktian tindak pidana korupsi memang memerlukan energi ekstra. Oleh karena, tindak pidana korupsi telah diidentifikasi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jadi proses pembuktiannya juga harus dilakukan dengan luar biasa (extraordinary action). Artinya pembuktiannya harus benar-benar cermat dan perlu perhatian khusus. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Apalagi dalam kasus korupsi P2SEM.
 
Saya mencatat bahwa bentuk tindak pidana korupsi yang ditemukan oleh KPK, sekitar 60 persen adalah penyuapan. Pembuktian suap sulit. Mengingat, baik koruptor maupun calon koruptor, ketika menyuap atau menerima penyuapan, tak mau menggunakan tanda terima atau kuitansi. Jadi secara hukum, pembuktian suap-menyuap termasuk delik pidana yang cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi melalui penyadapan dengan peralatan canggih.
 
Ketentuan lain yang mudah dijangkau oleh KPK adalah pasal-pasal sapujagat yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK (Undang undang Tindak Pidana Korupsi). Dalam pasal 2 harus ada unsur kesengajaan dari si terlapor atau pembuat. Adakah tersirat memperkaya diri, ketika Gubernur Imut mengusulan Perda S3SEM untuk melakukan tindak pidana korupsi secara berjamaah menggunakan payung Perda. Misal dalam kasus P2SEM, seberapa jauh penggagas atau pengusul P2SEM yaitu Gubernur Jatim Imam Utomo, berniat memperkara diri sendiri atau orang lain. Yang pasti orang lain itu termasuk Fathorrasjid.
 
Atau dalam kasus penanggulangan kemiskinan dengan kemasan P2SEM, kita ungkap sejauh mana Gubernur Imam Utomo mengajukan payung Perda P2SEM. Apakah pengajuan itu merupakan kesengajaan untuk mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu yang berdampak pada kerugian negara. Nah disini,Fathor sebagai Ketua DPRD Jatim yang adalah partner Gubernur Imam Utomo, dapat disoal tentang kesengajaan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara. Bila Polda dan Kejati Jatim bisa membuktikan Fathor, melanggar Pasal 2 UUTPK, mengapa pengusul P2SEM untuk di- Perda-kan yaitu Gubernur Imam Utomo, tidak dipidanakan sekaligus sebagai persekawanan membobol APBD Jatim. Bahasa populer persekawanan dalam tindak pidana umum adalah komplotan yang bisa dijerat dengan pasal 55 KUHP.
 
Nah, porsi kualitas persekawanan dalam membobol APBD Jatim sebesar Rp 277 miliar melalui program P2SEM itu ada ditangan KPK. Sejauh mana KPK dengan laporan Fathor (kalau Fathor jadi melapor sungguhan) bisa membuktikan sifat melawan hukum dari mantan Gubernur Jatim Imam Utomo?. Akal budi dan kecerdasan penyidik dan komisioner KPK dipertaruhkan dalam analisis pembuktian ini. Salah satu kecerdasan penyidik adalah mencari alat bukti diluar hukum tertulis yaitu keterangan ahli dan petunjuk. Rumus melawan hukum tidak pidana korupsi, tidak sama pengertiannya dengan kesalahan administrasi yang biasanya dipakai pengacara untuk melakukan pembelaan dalam persidangan. Artinya, sifat terlarang yang bagaimana akan dibuktikan oleh KPK terhadap kasus P2SEM di Pemprov Jatim. Pembuktian kasus P2SEM tidak sama dengan tindak pidana Gratifikasi di Pemkot Surabaya.
 
Dengan demikian, salah satu yang bisa dianalisis adalah dalam surat ajuan gubernur ke DPRD Jatim. Redaksi surat ajuan itu bisa dipelajari menggunakan rumusan tindak pidana Pasal 2 dan 3 UUTPK. Dalam urusan pasal sapujagat ini KPK paham sekali. Maklum KPK memang hanya menangani satu tindak pidana saja yaitu tindak pidana korupsi.
 
Selama saya mengikuti persidangan kasus tindak pidana korupsi, unsur "sifat melawan hukum" korupsi selalu akan terjadi perbedaan pandangan dari penyidik dan jaksa dengan pengacara tersangka korupsi. Perbedaan itu,sejauh yang saya kaji seputar pandangan objektif dan yang subyektif. Dari sisi rumusannya, dikaitkan dengan filosifi pembentukan UUTPK, sifat melawan hukum Pasal 2 adalah objektif.
 
Dalam bahasa pembuktian tindak pidana, ada cara memandang sifat melawan hukum dari aspek materiil positif menggunakan pijakan azas legalitas. Dengan sudutpandang demikian, tidak salah bila setiap sifat melawan hukum materiil positif sama dengan tindak pidana (berdasarkan ukuran) materiil positif. Artinya tindak pidana korupsi bisa mengandung sifat tercela yang tidak mutlak harus bersumber pada UU semata. Tercela bisa diukur dari nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat.
 
Kasus P2SEM dari sudut sosial, menurut saya dapat dicegah bila Gubernur Imam Utomo, ketika itu , mau melakukan kontrol yang ketat,baik saat mengajukan rumusan Perda P2SEM maupun saat pelaksanaan pendistribusian dana untuk pengentasan kemiskinan. Mengingat esensi suatu manajemen yang benar, bukan terletak pada saat merencanakan penyusunan P2SEM,tapi kontrol terhadap pelaksanaan P2SEM. Mengingat P2SEM didanai duit rakyat yang terhimpun dalam APBD.
 
Akhir dari refleksi akhir tahun 2013 ini, saya mengajak semua pembaca yaitu ayo atau mari sama-sama menunggu pengaduan Fathor. Akankah ia dan "Tim Ranjau O9" benar-benar melaporkan kasus temuannya ke KPK atau keterangan persnya tgl 26 Desember hanya move politik. Tahapan berikutnya adalah bagaimana bentuk tindakan dari KPK manakala Fathor benar-benar melaporkan kasus P2SEM ke KPK. Apakah KPK bisa menangkap koruptor besar di Jatim yang diindikasikan rapi dan mampu menghilangkan jejak dari endusan KPK. Kita tunggu.

by Tatang Istiawan (tatangistiawan@gmail.com)

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Media_Nusantara] (OOT) LAGU TERBAIK & KONTEN SERU [1 Attachment]

Dear Moderator ..
Numpang posting, semoga bermanfaat
 
The All New
MORNING SPIRIT
 
Kamu bisa dengerin lagu – lagu terbaik & konten – konten seru (Miss English, What The Fact, Tebakan Garing, Saposeh) di The All New MORNING SPIRIT (Senin – Jum'at / jam 6 – 10 pagi) di 101.1 THE NEW MGTRADIO
 
 
Like Fanpage MGTRADIO www.facebook.com/1011mgtradio
Follow @MGT_RADIO
Invite PIN MGTRADIO 2138AA45
SMS 08122041011





Minggu, 29 Desember 2013

[Media_Nusantara] (OOT) ADA YANG BARU DI MGTRADIO !

Dear Moderator ..
Numpang posting, semoga bermanfaat
 

ADA YANG BARU DI MGTRADIO
 
 
COMING SOON JANUARY 2014
 
 
 
Like Fanpage MGTRADIO www.facebook.com/1011mgtradio
Follow @MGT_RADIO
Invite PIN MGTRADIO 2138AA45
SMS 08122041011




Kamis, 26 Desember 2013

[Media_Nusantara] Sejarah Lepasnya Timor Timur Yang tak Pernah Terungkap

 

Sejarah Lepasnya Timor Timur Yang tak Pernah Terungkap

Posted by KabarNet pada 03/08/2013

MENIT-MENIT LEPASNYA TIMOR-TIMUR DARI INDONESIA

Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak.

Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput 'Jajak Pendapat Timor-Timur' yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Judul asli dari tulisan ini adalah Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia. Saya sengaja ubah judulnya dengan maksud agar lebih jelas mengenai apa yang terkandung dalam tulisan tersebut. 

MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA

Oleh: Kafil Yamin

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.

Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.

Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.

Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.

Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: "Dari mana?" sapanya.

"Dari Jakarta," jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.

Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], "karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya," katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.

"Panggil saja saya Laffae," katanya.
"Itu nama Timor atau Portugis?" Saya penasaran.
"Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya 'buaya'," jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.

Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. "Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat," katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.

Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.

"Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?" saya penasaran.
"Dia keponakan saya," jawab Laffae. "Kalau ketemu, salam saja dari saya."

Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.

Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.

Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.

Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. "Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan," katanya. "Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini," tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya 'bukan siapa-siapa'. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum 'masuk', dia nampak pendiam.

Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!

Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.

Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.

Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.

Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.

Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
"Kafil, we can't run the story," katanya.
"What do you mean? You send me here. I do the job, and you don't run the story?" saya berreaksi.
"We can't say the UNAMET is cheating…" katanya.
"That's what I saw. That's the fact. You want me to lie?" saya agak emosi.
"Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?"
"Well, that's your interpretation. I'll make it simple. I wrote what I had to and it's up to you,"
"I think we still can run the story but we should change it."
" I leave it to you," saya menutup pembicaraan.

Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
***
Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan UNAMET.

Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.

Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.

"Mereka saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar," katanya. "Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih," jawabnya bersemangat.

Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: "…demi merah putih."

Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.

Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para 'pemantau' tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.

Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: "Ingat, pilih kemerdekaan ya!" teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.

Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.

Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.

Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.

Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.

Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.

Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan 'meminta' ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.

Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.

Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.

Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. "Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang.." katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.

Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
"Kota Dili ini akan kosong.." katanya. Pelan tapi dalam. "Setelah kosong, UNAMET mau apa."

Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. "Saya bertahan, nDari. Tinggalkan saja saya."

Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: "Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?" katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.

Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. "Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi," kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: "Kafil! Mari sini," mengajak saya bergabung.

"Sebentar!" saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.

"Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang," kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.

"Saya perlu lima ribu," kata Laffae.

"Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili," katanya, sambil menengok ke arah saya.

"Kita akan usahakan," kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.

Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.

Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.

Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.

Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.

Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.

Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! "Ikut makan ya?" kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. "Silahkan bang!.. silahkan!.." si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.

Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.

Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: "Dili ini akan kosong.."

Saya pun teringat kata-kata dia: "Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili.." Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.

Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.

Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.

Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.

Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.


Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas 'kejahatan terhadap kemanusiaan', dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.

Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: "Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia." Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.

Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang 'self determination', tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
***
12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN, SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER INI.

Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.

Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?

Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.

Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan 'deal' yang paling masuk akal: "Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun." Dengan demikian, tidak ada utang piutang.

SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA PEMIMPIN SEKARANG.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Media_Nusantara] Penyiksaanan oleh SIPIR Lapas Klas II A Magelang .

 

Penyiksaanan oleh SIPIR Lapas Klas II A Magelang .

Yogyakarta, 27 Desember 2013

Kepada Yth.
1. PRESIDEN RI
2. KAPOLRI RI
3. MENTERI HUKUM DAN HAM RI
4. WAKIL MENTERI HUKUM DAN HAM RI
5. KETUA KOMISI III DPR-RI
6. IRJEN KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM RI
7. KETUA KOMNAS HAM RI
8. KABARESKRIM POLRI
9. KAPOLDA JATENG
10. DIRRESKRIMUM POLDA JATENG
11. KAPOLRESTA MAGELANG
Di – Tempat .

Perihal : Laporan informasi adanya penyiksaanan oleh SIPIR Lapas Klas II A Magelang .

Dengan hormat,

Bersama ini kami laporkan bahwa pada tanggal 16 Desember 2013 telah terjadi penyiksaan secara brutal dan sadis dilakukan oleh SIPIR Lapas Klas II A Magelang dengan cara menendang menggunakan sepatu dan mencambuk dengan ikat pinggang terhadap Arif alias Penyu tahanan titipan Kejaksaan Mungkid.

Ketika kami jenguk pada tanggal 26 Desember 2013 bekas luka penganiayaan tersebut masih terlihat jelas, untuk itu kami mohon kepada Kapolresta Magelang untuk segera mengirimkan korban penganiayaan ke rumah sakit untuk dilakukan visum et repertum, dan segera memproses hukum terhadap oknum sipir tersebut dan orang yang telah menyuruh melakukan penganiayaan tersebut.

Demikian atas perhatiannya disampaikan terima kasih .

Hormat kami,

ARIFIN WARDIYANTO
Pemantau Hak Asasi Manusia Independen
Alamat : Perum Kartindah I Blok C1 No.28 Kasihan Bantul DIY – Hp.087838350500

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___