KENAPA PGN HARUS TUNDUK TERHADAP KEPENTINGAN ASING
Sebagai WNI sy suka bingung liat cara pemerintah menata negara ini. Bagaimana tidak, setelah ramai isu penyadapan oleh Australia kok sebagian besar frekuensi 3G nasional malah diberikan ke perush. asing. Malaysia pula yg akan menguasai Blok 3G nasional kita, apa kata dunia? Saya sudah sangat maklum kalo pemerintah kita terlalu pro asing, bukankah itu spirit demokratisasi? Ada juga yg menyebutnya kapitalisasi dengan dukungan investasi asing. Tapi kalo kelompok kiri menyebut demokratisasi sebagai penguasaan aset nasional. Ada benarnya.
Yang saya heran, knp seh kita harus melulu memberikan aset strategis kita ke asing, apakah itu mahar demokratisasi? Frekuensi 3G contohnya. XL Axiata, perusahaan asal Malaysia ini ternyata bakal menguasai 5 dari 12 blok 3G yg ada di Indonesia. Padahal Telkomsel saja, BUMN telekomunilkasi kita hanya memiliki 3 blok 3G saja.
Dalam persentase, Malaysia kuasai 42% sedangkan pemerintah Indonesia hanya 25% saja dalam penguasaan blok 3G. Indosat tidak saya hitung sebagai BUMN karena mayoritas sahamnya telah dikuasai oleh Qatar Telecom. Cocoknya jadi Qatarsat saja kali ya?
Berikut daftar kepemilikan Blok 3G oleh operator2 di Indonesia :
1. Telkomsel (RI) menguasai 3 Blok 3G.
2. XL (Malaysia) menguasai 3 Blok 3G.
3. Indosat (Qatar) menguasai 2 Blok 3G.
4. Three (Cina & Thailand) menguasai 2 Blok 3G.
5. Axis (Arab Saudi) menguasai 2 Blok 3G. Total ada 12 Blok 3G. Axis milik Saudi baru saja dibeli oleh XL milik Malaysia, sehingga XL akan menguasai 5 Blok 3G.
Bukankah ini berbahaya? Baru saja kita kebobolan disadap, sekarang malah hampir 50% jalur Blok 3G kita diberikan ke Malaysia. Bukankah seharusnya dilakukan penataan yang lebih adil, setidaknya untuk kepentingan masyarakat banyak dan efisiensi industri. Contohnya, pemberlakuan tower bersama. Ini kebijakan bagus. Sebelum diberlakukan, 5 operator akan membangun 5 tower untuk memasang 5 BTS. Sekarang cukup membangun 1 buah tower untuk dipasang 5 BTS. Ini langkah bagus untuk efisiensi industri, dan harus jadi contoh pada sektor lainnya.
Saya tidak tahu bagaimana yang pas untuk menata jalur frekuensi 3G, yang pasti harus adil dan asing tidak lebih besar dari pemerintah kita. Tapi mau gimana, pemerintah kita terlalu pro asing.
Pada kasus pipa gas PGN contoh lainnya. Penolakan PGN menerapkan kebijakan "open access" bukti keberpihakan kepada asing. Padahal PGN belum mampu memenuhi ketersediaan gas industri dan rumah tangga. Dengan "open access", Pertamina yang juga memiliki pasokan gas bisa membantu PGN memenuhi kebutuhan gas tersebut. Karena jalur pipa gas Pertamina dibangun untuk memasok kebutuhan PLN saja. Sedangkan jalur pipa gas industri dan rumah tangga dimonopoli oleh PGN yang memiliki pipa gas sepanjang 6000 km. Untuk itu, perlu diberlakukan "open access" agar Pertamina dan PGN bisa memenuhi kebutuhan gas industri dan rumah tangga secara bersama-sama. Sayangnya usulan ini ditolak oleh PGN karena "open access" bisa mengurangi keuntungan PGN. Padahal PGN sudah mendapatkan keuntungan $6/cubic dari harga jual $8/cubic.
Persoalan harga jual PGN pernah dikeluhkan pelaku bisnis keramik, pupuk, dsb. Tapi PGN sepertinya kurang memperdulikan hal itu. Demi mengejar keuntungan, PGN memilih meneruskan monopoli pipa gas agar bisa menentukan harga sendirian. Agak miris mendengarnya. Di satu sisi masyarakat perlu ketersediaan gas, di sisi lain PGN malah memikirkan keuntungan perusahaan. Lagi-lagi masyarakat kita harus kekurangan karena kerakusan birolkrasi.
Meski PGN adalah BUMN, tapi ia terlalu disetir oleh asing yang mementingkan keuntungan. Asing mana peduli sama masyarakat kita. Sejak IPO, 43% saham PGN dikuasai oleh swasta dimana menurut @linchewei1 sebesar 36%nya dikuasai asing via JP Morgan. Data ini cukup menjelaskan kenapa PGN harus tunduk terhadap kepentingan asing dan keuntungan ketimbang memprioritaskan kebutuhan gas.
Kapan ya semua ini berubah? Wondering..
Sebagai WNI sy suka bingung liat cara pemerintah menata negara ini. Bagaimana tidak, setelah ramai isu penyadapan oleh Australia kok sebagian besar frekuensi 3G nasional malah diberikan ke perush. asing. Malaysia pula yg akan menguasai Blok 3G nasional kita, apa kata dunia? Saya sudah sangat maklum kalo pemerintah kita terlalu pro asing, bukankah itu spirit demokratisasi? Ada juga yg menyebutnya kapitalisasi dengan dukungan investasi asing. Tapi kalo kelompok kiri menyebut demokratisasi sebagai penguasaan aset nasional. Ada benarnya.
Yang saya heran, knp seh kita harus melulu memberikan aset strategis kita ke asing, apakah itu mahar demokratisasi? Frekuensi 3G contohnya. XL Axiata, perusahaan asal Malaysia ini ternyata bakal menguasai 5 dari 12 blok 3G yg ada di Indonesia. Padahal Telkomsel saja, BUMN telekomunilkasi kita hanya memiliki 3 blok 3G saja.
Dalam persentase, Malaysia kuasai 42% sedangkan pemerintah Indonesia hanya 25% saja dalam penguasaan blok 3G. Indosat tidak saya hitung sebagai BUMN karena mayoritas sahamnya telah dikuasai oleh Qatar Telecom. Cocoknya jadi Qatarsat saja kali ya?
Berikut daftar kepemilikan Blok 3G oleh operator2 di Indonesia :
1. Telkomsel (RI) menguasai 3 Blok 3G.
2. XL (Malaysia) menguasai 3 Blok 3G.
3. Indosat (Qatar) menguasai 2 Blok 3G.
4. Three (Cina & Thailand) menguasai 2 Blok 3G.
5. Axis (Arab Saudi) menguasai 2 Blok 3G. Total ada 12 Blok 3G. Axis milik Saudi baru saja dibeli oleh XL milik Malaysia, sehingga XL akan menguasai 5 Blok 3G.
Bukankah ini berbahaya? Baru saja kita kebobolan disadap, sekarang malah hampir 50% jalur Blok 3G kita diberikan ke Malaysia. Bukankah seharusnya dilakukan penataan yang lebih adil, setidaknya untuk kepentingan masyarakat banyak dan efisiensi industri. Contohnya, pemberlakuan tower bersama. Ini kebijakan bagus. Sebelum diberlakukan, 5 operator akan membangun 5 tower untuk memasang 5 BTS. Sekarang cukup membangun 1 buah tower untuk dipasang 5 BTS. Ini langkah bagus untuk efisiensi industri, dan harus jadi contoh pada sektor lainnya.
Saya tidak tahu bagaimana yang pas untuk menata jalur frekuensi 3G, yang pasti harus adil dan asing tidak lebih besar dari pemerintah kita. Tapi mau gimana, pemerintah kita terlalu pro asing.
Pada kasus pipa gas PGN contoh lainnya. Penolakan PGN menerapkan kebijakan "open access" bukti keberpihakan kepada asing. Padahal PGN belum mampu memenuhi ketersediaan gas industri dan rumah tangga. Dengan "open access", Pertamina yang juga memiliki pasokan gas bisa membantu PGN memenuhi kebutuhan gas tersebut. Karena jalur pipa gas Pertamina dibangun untuk memasok kebutuhan PLN saja. Sedangkan jalur pipa gas industri dan rumah tangga dimonopoli oleh PGN yang memiliki pipa gas sepanjang 6000 km. Untuk itu, perlu diberlakukan "open access" agar Pertamina dan PGN bisa memenuhi kebutuhan gas industri dan rumah tangga secara bersama-sama. Sayangnya usulan ini ditolak oleh PGN karena "open access" bisa mengurangi keuntungan PGN. Padahal PGN sudah mendapatkan keuntungan $6/cubic dari harga jual $8/cubic.
Persoalan harga jual PGN pernah dikeluhkan pelaku bisnis keramik, pupuk, dsb. Tapi PGN sepertinya kurang memperdulikan hal itu. Demi mengejar keuntungan, PGN memilih meneruskan monopoli pipa gas agar bisa menentukan harga sendirian. Agak miris mendengarnya. Di satu sisi masyarakat perlu ketersediaan gas, di sisi lain PGN malah memikirkan keuntungan perusahaan. Lagi-lagi masyarakat kita harus kekurangan karena kerakusan birolkrasi.
Meski PGN adalah BUMN, tapi ia terlalu disetir oleh asing yang mementingkan keuntungan. Asing mana peduli sama masyarakat kita. Sejak IPO, 43% saham PGN dikuasai oleh swasta dimana menurut @linchewei1 sebesar 36%nya dikuasai asing via JP Morgan. Data ini cukup menjelaskan kenapa PGN harus tunduk terhadap kepentingan asing dan keuntungan ketimbang memprioritaskan kebutuhan gas.
Kapan ya semua ini berubah? Wondering..
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar