KONTRAS : Tegakkan Hukum di Papua
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan duka cita dan prihatin terhadap tewasnya 8 (delapan) orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), 4 (empat) orang warga sipil di wilayah Puncak Jaya, Papua, pada 21 Februari 2012.
Dari pemantauan KontraS, sepanjang 2012 hingga 21 Februari 2013 telah terjadi 15 (lima belas) peristiwa kekerasan yang terjadi di wilayah Puncak Jaya, termasuk 2 (dua) peristiwa perampasan senjata oleh "Orang Tak diKenal" (OTK). Dari peristiwa tersebut tercatat korban meninggal : 9 (sembilan) anggota TNI, 2 (dua) anggota POLRI, dan 10 (sepuluh) warga Sipil. Korban luka-luka: 1 (satu) anggota TNI, 9 (Sembilan) warga sipil.
Bagi KontraS rangkaian kekerasan berupa penembakan dan perampasan senjata merupakan kejahatan yang seharusnya direspons dengan upaya penegakan hukum. Ironisnya, terhadap kejahatan-kejahatan di atas tidak pernah ada proses hukum yang transparan, dan bisa memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kekerasan di Papua.
Terhadap situasi ini, kami memberikan tiga catatan:
Pertama, negara, terutama pemerintah di Jakarta tidak sensitif terhadap rantai kekerasan yang terjadi di Papua. Bahkan model kekerasan ini tidak mengenal latar belakang dari para korban -entah itu yang menyasar warga sipil ataupun aparat keamanan di level prajurit.
Peristiwa pembunuhan terhadap 12 orang, merupakan akibat dari buruknya penegakan hukum di Papua. Dalam hal ini kami mempertanyakan peran dan kinerja kepolisian dalam penegakan hukum di Papua, khususnya untuk kasus-kasus yang sensitif, seperti di area Puncak Jaya.
Kedua, Kami mempertanyakan model operasi dan instruksi pengamanan yang diterapkan di Papua. Mengingat banyaknya jumlah korban yang berjatuhan, baik dari pihak TNI, polisi dan warga sipil selama kurun waktu 2012 hingga Februari 2013.
Ketiga, kami mempertanyakan keberadaan dan status warga sipil yang menjadi korban dalam peristiwa 21 Februari 2013, sebagaimana pernyataan Mabes POLRI melalui Komisaris Besar Polisi Agus Rianto, Kabag Penum Mabes POLRI (pernyataan 22 Februari 2013).
Oleh karena itu kami mendesak agar diterapkan operasi penegakan hukum, bukan operasi militer sebagaimana yang sempat disampaikan oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono (pernyataan 21 Februari 2013).
Kami justru meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani "blusukan" memimpin operasi penegakan hukum maupun langkah-langkah keadilan yang konkret di Papua.
Sementara di level penegakan hukum, kami mendorong Polri untuk memenuhi kriteria-kriteria sebagaimana diatur dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Termasuk menyertakan Komnas HAM dan Kompolnas dalam operasi penegakan hukum untuk peristiwa di Puncak Jaya. Kedua komisi negara ini memainkan peran pengawasan serta merta.
KontraS dalam hal ini amat mendukung pemerintah dan struktur sektor keamanan di bawahnya (POLRI, TNI dan BIN) untuk merespons situasi di Papua dengan cara dan kebijakan yang, di antaranya, menghormati prinsip prinsip hukum, memperhatikan pembedaan warga sipil dengan kelompok bersenjata. Termasuk, untuk tidak membuat pernyataan-pernyataan yang menyulut kecemasan publik di Papua.
Sebagai pelengkap upaya penegakan hukum, kami juga meminta negara saat ini untuk memberikan jaminan pemenuhan hak-hak korban, baik bagi TNI dan POLRI, maupun warga sipil yang menjadi korban.
Secara khusus kami meminta DPR RI untuk menggelar pemeriksaan intensif dan termasuk mengontrol model operasi keamanan di Papua yang telah dan masih dilakukan TNI, POLRI dan BIN.
Jakarta, 22 Februari 2013
Badan Pekerja KontraS
Haris Azhar, MA
Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan duka cita dan prihatin terhadap tewasnya 8 (delapan) orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), 4 (empat) orang warga sipil di wilayah Puncak Jaya, Papua, pada 21 Februari 2012.
Dari pemantauan KontraS, sepanjang 2012 hingga 21 Februari 2013 telah terjadi 15 (lima belas) peristiwa kekerasan yang terjadi di wilayah Puncak Jaya, termasuk 2 (dua) peristiwa perampasan senjata oleh "Orang Tak diKenal" (OTK). Dari peristiwa tersebut tercatat korban meninggal : 9 (sembilan) anggota TNI, 2 (dua) anggota POLRI, dan 10 (sepuluh) warga Sipil. Korban luka-luka: 1 (satu) anggota TNI, 9 (Sembilan) warga sipil.
Bagi KontraS rangkaian kekerasan berupa penembakan dan perampasan senjata merupakan kejahatan yang seharusnya direspons dengan upaya penegakan hukum. Ironisnya, terhadap kejahatan-kejahatan di atas tidak pernah ada proses hukum yang transparan, dan bisa memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kekerasan di Papua.
Terhadap situasi ini, kami memberikan tiga catatan:
Pertama, negara, terutama pemerintah di Jakarta tidak sensitif terhadap rantai kekerasan yang terjadi di Papua. Bahkan model kekerasan ini tidak mengenal latar belakang dari para korban -entah itu yang menyasar warga sipil ataupun aparat keamanan di level prajurit.
Peristiwa pembunuhan terhadap 12 orang, merupakan akibat dari buruknya penegakan hukum di Papua. Dalam hal ini kami mempertanyakan peran dan kinerja kepolisian dalam penegakan hukum di Papua, khususnya untuk kasus-kasus yang sensitif, seperti di area Puncak Jaya.
Kedua, Kami mempertanyakan model operasi dan instruksi pengamanan yang diterapkan di Papua. Mengingat banyaknya jumlah korban yang berjatuhan, baik dari pihak TNI, polisi dan warga sipil selama kurun waktu 2012 hingga Februari 2013.
Ketiga, kami mempertanyakan keberadaan dan status warga sipil yang menjadi korban dalam peristiwa 21 Februari 2013, sebagaimana pernyataan Mabes POLRI melalui Komisaris Besar Polisi Agus Rianto, Kabag Penum Mabes POLRI (pernyataan 22 Februari 2013).
Oleh karena itu kami mendesak agar diterapkan operasi penegakan hukum, bukan operasi militer sebagaimana yang sempat disampaikan oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono (pernyataan 21 Februari 2013).
Kami justru meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani "blusukan" memimpin operasi penegakan hukum maupun langkah-langkah keadilan yang konkret di Papua.
Sementara di level penegakan hukum, kami mendorong Polri untuk memenuhi kriteria-kriteria sebagaimana diatur dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Termasuk menyertakan Komnas HAM dan Kompolnas dalam operasi penegakan hukum untuk peristiwa di Puncak Jaya. Kedua komisi negara ini memainkan peran pengawasan serta merta.
KontraS dalam hal ini amat mendukung pemerintah dan struktur sektor keamanan di bawahnya (POLRI, TNI dan BIN) untuk merespons situasi di Papua dengan cara dan kebijakan yang, di antaranya, menghormati prinsip prinsip hukum, memperhatikan pembedaan warga sipil dengan kelompok bersenjata. Termasuk, untuk tidak membuat pernyataan-pernyataan yang menyulut kecemasan publik di Papua.
Sebagai pelengkap upaya penegakan hukum, kami juga meminta negara saat ini untuk memberikan jaminan pemenuhan hak-hak korban, baik bagi TNI dan POLRI, maupun warga sipil yang menjadi korban.
Secara khusus kami meminta DPR RI untuk menggelar pemeriksaan intensif dan termasuk mengontrol model operasi keamanan di Papua yang telah dan masih dilakukan TNI, POLRI dan BIN.
Jakarta, 22 Februari 2013
Badan Pekerja KontraS
Haris Azhar, MA
Koordinator
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar