Hukum dan Pasar yang Berkeadilan
by Bambang Soesatyo
Hampir semua kebutuhan pokok rakyat berada dalam kendali pemerintah. Artinya, pemerintah yang paling tahu tentang keseimbangan antara permintaan dan penawaran atas semua komoditi kebutuhan pokok rakyat. Maka, pemerintah dan institusi penegak hukum selayaknya all out memerangi praktik dan peran kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat
Awal 2013 yang sarat heboh, tapi juga menyesakan. Dua nama besar dari panggung politik nasional harus menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Praktis selama Januari-Februari 2013, ruang publik silih berganti dijejali oleh serangkaian letupan peristiwa politik yang dipicu langkah penegak hukum melanjutkan perang terhadap korupsi. Kinerja KPK patut diapresiasi dan didukung. Dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, apa yang terjadi sepanjang Januari-Februari 2013 cukup produkif.
Namun, dalam konteks ekonomi rakyat kebanyakan, dua bulan yang sarat heboh itu sama sekali tidak menyelesaikan persoalan mereka. Ketika para ahli hukum dan politisi menggelar debat tentang politik dan pemberantasan korupsi, jutaan ibu rumah tangga sedang berkeluh kesah karena harga aneka kebutuhan pokok terus merangkak naik. Harga daging bahkan sudah sulit dijangkau keluarga kebanyakan. Dan, nyaris tak ada elit yang peduli dengan kecenderungan itu.
Barulah ketika terungkap praktik suap dalam impor daging sapi, persoalan ekonomi rakyat mulai mendapatkan sedikit perhatian. Beberapa kalangan mulai mencaritahu sebab musabab tingginya harga daging sapi. Dari upaya itu, munculah dugaan adanya praktik kartel dalam pelaksanaan impor daging sapi.
Bulan Juli 2012, warga kebanyakan juga dibuat gelisah akibat kelangkaan dan tingginya harga kedelai. Belakangan, diketahui bahwa kelangkaan itu disebabkan ulah kartel. Harga kedelai yang begitu mahal saat itu menyebabkan produsen tahu tempe mogok produksi. Berarti, dalam rentang waktu sekitar enam bulan terakhir, sudah dua kali rakyat kebanyakan teraniaya; oleh kartel kedelai dan oleh kartel daging sapi.
Persoalan yang nyaris sama akan berulang, ketika masyarakat mulai melakukan persiapan menyongsong hari raya keagamaan, khususnya menjelang dan selama bulan suci Ramadhan hingga lebaran. Harga aneka kebutuhan pokok akan melonjak, dengan lompatan yang seringkali sangat tidak wajar. Untuk membangun pengertian masyarakat, regulator atau institusi pemerintah akan muncul dengan beragam alasan. Padahal, dibalik semua itu,terkandung kepentingan oknum regulator dan para pengusaha anggota kartel.
Dalam Pasal 11 undang-undang (UU) No.5/1999 tentang antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, kartel dilarang karena menerapkan mekanisme perdagangan yang tidak sehat. Kartel secara umum dimaknai sebagai monopoli oleh sekelompok orang untuk mengatur produksi atau pengadaan barang, sekaligus menetapkan harganya.
Selama ini, praktik dan peran kartel dibalik pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat lolos dari perhatian penegak hukum. Padahal, kartel terbentuk karena oknum pemerintah atau regulator berperilaku korup. Selalu ada kartel untuk setiap komoditi kebutuhan rakyat. Ada kartel beras, kartel gula, kartel daging, kartel Migas hingga kartel kedelai.
Bekerjasama dengan oknum di kementerian, anggota kartel dalam praktiknya sering menunggangi masalah ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Bahkan, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran itu tak jarang merupakan hasil rekayasa kartel dengan oknum kementerian.
Pada kasus ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran daging sapi di pasar dalam negeri akhir-akhir ini, nuansa rekayasa itu sangat terasa. Pasokan dalam negeri nyata-nyata tidak mencukupi permintaan, tetapi kuota impor justru diturunkan. Terjadi kelangkaan, dan harga daging sapi pun melonjak.
Melindungi Rakyat
Praktik kartel di Indonesia terbilang marak karena sistem hukum yang berlaku sekarang belum mampu menangkal praktik ini. Kelompok yang terbukti mempraktikan kartel hanya didenda maksimal Rp 25 miliar, sementara keuntungan yang diperoleh sudah mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah.
Walaupun sulit dicegah, pemerintah dan institusi penegak hukum selayaknya all out mengeliminasi praktik kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat. Setelah kedelai dan kini persoalan daging sapi, entah gejolak harga apa lagi yang akan terjadi di waktu mendatang. Namun, bisa dipastikan bahwa gejolak harga kebutuhan pokok akan terjadi jelang bulan Ramadhan.
Padahal, hampir semua komoditi kebutuhan pokok rakyat berada dalam kendali pemerintah. Artinya, pemerintah yang paling tahu tentang keseimbangan antara permintaan dan penawaran atas semua komoditi kebutuhan pokok rakyat. Dan, untuk menutupi kekurangan produksi di dalam negeri, Pemerintah pula yang paling paham kapan waktunya merealisasikan impor komoditi tertentu dan besaran volume impornya.
Dengan demikian, kemampuan pemerintah mencegah praktik kartel dalam mengelola keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi kebutuhan pokok rakyat sangat memadai alias tidak sulit-sulit amat. Persoalannya adalah adakah moral untuk peduli pada kepentingan dan kenyamanan rakyat kebanyakan? Mengeliminasi praktik kartel adalah tindakan nyata melindungi rakyat sebagai konsumen.
Masyarakat sudah berkali-kali dihadapkan pada gejolak harga aneka kebutuhan pokok yang biasanya didahului dengan kasus kelangkaan komoditi tertentu. Kini, sudah tercium adanya praktik kartel dibalik serangkaian gejolak harga itu.
Belajar dari serangkaian pengalaman buruk itu, cukup alasan bagi KPK untuk menyelidiki peran oknum pemerintah yang membuka akses bagi keterlibatan kartel dalam pengelolaan kebutuhan pokok rakyat. Dan, Kementerian Perdagangan sebagai regulator tata niaga impor harus terbuka untuk bekerja sama dengan KPK. Bagaimana pun, pemberian kuasa impor kedelai kepada segelintir orang misalnya, tidak bisa dilepaskan dari peran oknum pemerintah. Sebab, kepada siapa saja izin impor kedelai diberikan hanya ditentukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan.
Karena itu, menjadi langkah yang sangat strategis jika KPK mulai mendalami dan membongkar praktik kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat.
Terkuaknya kasus dugaan suap dalam pembagian jatah kuota impor daging sapi seharusnya dijadikan momentum sekaligus entry point bagi KPK untuk mulai membongkar praktik kartel yang 'dipelihara' oleh beberapa kementerian. Kartel eksis karena adanya konspirasi antara segelintir oknum pengusaha dengan oknum di sejumlah kementerian yang digoda untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Masalahnya, karena yang dikelola adalah sejumlah komoditi kebutuhan rakyat, tentu saja rakyat kebanyakan yang paling menderita akibat rekayasa ketidakseimbangan antara pemintaan dan penawaran itu.
Pada kasus kelangkaan kedelai bulan Juli 2012, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat mengeluarkan ancaman dan juga perintah kepada penegak hukum untuk menindak praktik kartel dalam impor kedelai. Namun, penyelidikan terhadap praktik kartel dalam impor kedelai nampaknya tak pernah dilakukan, karena isu tentang kartel kedelai lenyap begitu saja hingga kini.
Ketika memberi pengarahan pada sidang Kabinet Paripurna di Jakarta, Senin (18/2) lalu, presiden menegaskan,"Harga-harga Sembako (sembilan bahan pokok) mengalami kenaikan kurang wajar." Presiden pun menunjuk tingginya harga daging sapi dan lonjakan harga bawang putih.
Apa yang dikemukakan Presiden SBY itu adalah keluhan rakyat. Idealnya, semua kementerian terkait bekerja ekstra keras untuk meredam gejolak harga. Dan, jika terbukti ada peran kartel di belakangnya, sistem dan mekanisme hukum harus memberikan respons yang tegas
Hampir semua kebutuhan pokok rakyat berada dalam kendali pemerintah. Artinya, pemerintah yang paling tahu tentang keseimbangan antara permintaan dan penawaran atas semua komoditi kebutuhan pokok rakyat. Maka, pemerintah dan institusi penegak hukum selayaknya all out memerangi praktik dan peran kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat
Awal 2013 yang sarat heboh, tapi juga menyesakan. Dua nama besar dari panggung politik nasional harus menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Praktis selama Januari-Februari 2013, ruang publik silih berganti dijejali oleh serangkaian letupan peristiwa politik yang dipicu langkah penegak hukum melanjutkan perang terhadap korupsi. Kinerja KPK patut diapresiasi dan didukung. Dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, apa yang terjadi sepanjang Januari-Februari 2013 cukup produkif.
Namun, dalam konteks ekonomi rakyat kebanyakan, dua bulan yang sarat heboh itu sama sekali tidak menyelesaikan persoalan mereka. Ketika para ahli hukum dan politisi menggelar debat tentang politik dan pemberantasan korupsi, jutaan ibu rumah tangga sedang berkeluh kesah karena harga aneka kebutuhan pokok terus merangkak naik. Harga daging bahkan sudah sulit dijangkau keluarga kebanyakan. Dan, nyaris tak ada elit yang peduli dengan kecenderungan itu.
Barulah ketika terungkap praktik suap dalam impor daging sapi, persoalan ekonomi rakyat mulai mendapatkan sedikit perhatian. Beberapa kalangan mulai mencaritahu sebab musabab tingginya harga daging sapi. Dari upaya itu, munculah dugaan adanya praktik kartel dalam pelaksanaan impor daging sapi.
Bulan Juli 2012, warga kebanyakan juga dibuat gelisah akibat kelangkaan dan tingginya harga kedelai. Belakangan, diketahui bahwa kelangkaan itu disebabkan ulah kartel. Harga kedelai yang begitu mahal saat itu menyebabkan produsen tahu tempe mogok produksi. Berarti, dalam rentang waktu sekitar enam bulan terakhir, sudah dua kali rakyat kebanyakan teraniaya; oleh kartel kedelai dan oleh kartel daging sapi.
Persoalan yang nyaris sama akan berulang, ketika masyarakat mulai melakukan persiapan menyongsong hari raya keagamaan, khususnya menjelang dan selama bulan suci Ramadhan hingga lebaran. Harga aneka kebutuhan pokok akan melonjak, dengan lompatan yang seringkali sangat tidak wajar. Untuk membangun pengertian masyarakat, regulator atau institusi pemerintah akan muncul dengan beragam alasan. Padahal, dibalik semua itu,terkandung kepentingan oknum regulator dan para pengusaha anggota kartel.
Dalam Pasal 11 undang-undang (UU) No.5/1999 tentang antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, kartel dilarang karena menerapkan mekanisme perdagangan yang tidak sehat. Kartel secara umum dimaknai sebagai monopoli oleh sekelompok orang untuk mengatur produksi atau pengadaan barang, sekaligus menetapkan harganya.
Selama ini, praktik dan peran kartel dibalik pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat lolos dari perhatian penegak hukum. Padahal, kartel terbentuk karena oknum pemerintah atau regulator berperilaku korup. Selalu ada kartel untuk setiap komoditi kebutuhan rakyat. Ada kartel beras, kartel gula, kartel daging, kartel Migas hingga kartel kedelai.
Bekerjasama dengan oknum di kementerian, anggota kartel dalam praktiknya sering menunggangi masalah ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Bahkan, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran itu tak jarang merupakan hasil rekayasa kartel dengan oknum kementerian.
Pada kasus ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran daging sapi di pasar dalam negeri akhir-akhir ini, nuansa rekayasa itu sangat terasa. Pasokan dalam negeri nyata-nyata tidak mencukupi permintaan, tetapi kuota impor justru diturunkan. Terjadi kelangkaan, dan harga daging sapi pun melonjak.
Melindungi Rakyat
Praktik kartel di Indonesia terbilang marak karena sistem hukum yang berlaku sekarang belum mampu menangkal praktik ini. Kelompok yang terbukti mempraktikan kartel hanya didenda maksimal Rp 25 miliar, sementara keuntungan yang diperoleh sudah mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah.
Walaupun sulit dicegah, pemerintah dan institusi penegak hukum selayaknya all out mengeliminasi praktik kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat. Setelah kedelai dan kini persoalan daging sapi, entah gejolak harga apa lagi yang akan terjadi di waktu mendatang. Namun, bisa dipastikan bahwa gejolak harga kebutuhan pokok akan terjadi jelang bulan Ramadhan.
Padahal, hampir semua komoditi kebutuhan pokok rakyat berada dalam kendali pemerintah. Artinya, pemerintah yang paling tahu tentang keseimbangan antara permintaan dan penawaran atas semua komoditi kebutuhan pokok rakyat. Dan, untuk menutupi kekurangan produksi di dalam negeri, Pemerintah pula yang paling paham kapan waktunya merealisasikan impor komoditi tertentu dan besaran volume impornya.
Dengan demikian, kemampuan pemerintah mencegah praktik kartel dalam mengelola keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi kebutuhan pokok rakyat sangat memadai alias tidak sulit-sulit amat. Persoalannya adalah adakah moral untuk peduli pada kepentingan dan kenyamanan rakyat kebanyakan? Mengeliminasi praktik kartel adalah tindakan nyata melindungi rakyat sebagai konsumen.
Masyarakat sudah berkali-kali dihadapkan pada gejolak harga aneka kebutuhan pokok yang biasanya didahului dengan kasus kelangkaan komoditi tertentu. Kini, sudah tercium adanya praktik kartel dibalik serangkaian gejolak harga itu.
Belajar dari serangkaian pengalaman buruk itu, cukup alasan bagi KPK untuk menyelidiki peran oknum pemerintah yang membuka akses bagi keterlibatan kartel dalam pengelolaan kebutuhan pokok rakyat. Dan, Kementerian Perdagangan sebagai regulator tata niaga impor harus terbuka untuk bekerja sama dengan KPK. Bagaimana pun, pemberian kuasa impor kedelai kepada segelintir orang misalnya, tidak bisa dilepaskan dari peran oknum pemerintah. Sebab, kepada siapa saja izin impor kedelai diberikan hanya ditentukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan.
Karena itu, menjadi langkah yang sangat strategis jika KPK mulai mendalami dan membongkar praktik kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat.
Terkuaknya kasus dugaan suap dalam pembagian jatah kuota impor daging sapi seharusnya dijadikan momentum sekaligus entry point bagi KPK untuk mulai membongkar praktik kartel yang 'dipelihara' oleh beberapa kementerian. Kartel eksis karena adanya konspirasi antara segelintir oknum pengusaha dengan oknum di sejumlah kementerian yang digoda untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Masalahnya, karena yang dikelola adalah sejumlah komoditi kebutuhan rakyat, tentu saja rakyat kebanyakan yang paling menderita akibat rekayasa ketidakseimbangan antara pemintaan dan penawaran itu.
Pada kasus kelangkaan kedelai bulan Juli 2012, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat mengeluarkan ancaman dan juga perintah kepada penegak hukum untuk menindak praktik kartel dalam impor kedelai. Namun, penyelidikan terhadap praktik kartel dalam impor kedelai nampaknya tak pernah dilakukan, karena isu tentang kartel kedelai lenyap begitu saja hingga kini.
Ketika memberi pengarahan pada sidang Kabinet Paripurna di Jakarta, Senin (18/2) lalu, presiden menegaskan,"Harga-harga Sembako (sembilan bahan pokok) mengalami kenaikan kurang wajar." Presiden pun menunjuk tingginya harga daging sapi dan lonjakan harga bawang putih.
Apa yang dikemukakan Presiden SBY itu adalah keluhan rakyat. Idealnya, semua kementerian terkait bekerja ekstra keras untuk meredam gejolak harga. Dan, jika terbukti ada peran kartel di belakangnya, sistem dan mekanisme hukum harus memberikan respons yang tegas
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar