Perlu juga adanya gerakan mempermalukan para koruptor Dalam masyarakat yang sedang sakit, koruptor tidak punya malu, karena masyarakat yang konsumtif akan sangat hormat pada orang lain yang secara ekonomis lebih daripadanya. Bukan hormat pada orang yang bisa memberi manfaat pada sesamanya. Maka koruptor tidak malu, malah akan bangga, karena dia lebih kaya dan lebih mampu daripada masyarakat sekitarnya, dan merasa mampu menyuap masyarakat. Padahal yang diambil dari masyarakat oleh para koruptor itu membuat masyarakat sengsara, dan jauh lebih banyak daripada yang dibagi2 oleh padara koruptor pada masyarakat. salam - GPK - Gerakan Permalukan Koruptor ---------------------------------------------------------- Memiskinkan Koruptor by Rimawan Pradiptyo on Monday, 10 September 2012 at 11:41 · Dimuat di Kompas, 22 Agustus 2012, halaman 6
Ide memberikan hukuman yang membuat jera para koruptor banyak dikemukakan oleh para pihak di negeri ini. Mulai dari ide pengenaan seragam khusus, pembangunan penjara khusus, hukuman mati hingga pemiskinan koruptor, merupakan berbagai ide yang mengemuka untuk menciptakan efek jera bagi koruptor.
Upaya pemiskinan koruptor mendapat dukungan yang cukup luas dari masyarakat. Koruptor dipercaya sebagai individu yang serakah dan selalu berusaha menumpuk harta. Jika harta menjadi tujuan utama koruptor, maka adalah logis untuk memiskinkan koruptor, karena kemiskinan adalah hal yang dipercaya paling menakutkan bagi para koruptor. Strategi ini dianggap memberikan efek jera kepada koruptor dan mampu mencegah orang untuk melakukan korupsi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah dengan UU Tipikor (UU 31/1999 jo UU 20/2001) yang ada sekarang, dimungkinkan untuk memiskinkan koruptor?
Evaluasi terhadap putusan pengadilan terhadap koruptor bisa dilakukan dengan menggunakan data putusan MA dari tahun 2001-2009, terdiri dari 549 kasus dengan 831 orang terdakwa. Didasarkan data tersebut terbukti bahwa koruptor skala gurem (merugikan negara/perekonomian negara kurang dari Rp10 juta) dan skala kecil (antara Rp10 juta s/d kurang dari Rp100 juta) mendapat hukuman yang lebih berat daripada koruptor skala menengah, besar dan kakap. Perlu dicatat bahwa koruptor skala menengah merugikan keuangan/perekonomian negara senilai Rp100juta s/d kurang dari Rp 1 miliar, koruptor besar senilai Rp 1 miliar s/d kurang dari Rp25 miliar dan koruptor kakap senilai Rp 25 miliar ke atas.
Jenis-jenis hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor antara lain adalah penjara/kurungan badan, denda, denda subsidair, uang pengganti, subsidair uang pengganti, perampasan barang bukti dan biaya peradilan. Ditinjau dari lama hukuman penjara, rata-rata lama penjara yang dijatuhkan MA kepada koruptor dari berbagai skala adalah 58.8% dari lama penjara yang dituntut. Koruptor gurem, kecil dan sedang, rata-rata dituntut penjara berturut-turut 1 tahun 10 bulan, 1 tahun 9 bulan dan 4 tahun 5 bulan. Ketika kasus mencapai MA, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada korutor adalah 1 tahun 2 bulan untuk koruptor gurem, 1 tahun 3 bulan untuk koruptor kecil dan 2 tahun 9 bulan untuk koruptor sedang.
Di sisi lain, koruptor besar dan kakap rata-rata dituntut penjara masing-masing 6 tahun 7 bulan dan 9 tahun 8 bulan. Namun demikian, rata-rata lama penjara yang dijatuhkan MA adalah 3 tahun 8 bulan untuk koruptor besar dan 4 tahun 10 bulan untuk koruptor kakap. Perlu dicatat, lama penjara ini adalah lama penjara rata-rata yang diputuskan di tingkat MA. Kenyataannya, sebagian besar koruptor tidak perlu tinggal di penjara sepanjang masa hukuman, karena selalu ada keringanan hukuman yang diberikan pemerintah setiap tahun. Biasanya hukuman penjara yang dijalani koruptor berkisar antara 50%-65% dari lama penjara yang dijatuhkan MA.
Mari kita definisikan hukuman finansial sebagai penjumlahan dari nilai denda, uang pengganti dan nilai uang hasil korupsi yang disita pengadilan. Biaya pengadilan tidak dimasukkan dalam definisi ini mengingat nilainya hanya berkisar antara Rp2500 s/d Rp10.000 sehingga nilainya bisa diabaikan. Perlu dicatat bahwa nilai biaya pengadilan tersebut tidak memperhitungkan berapa kali dan berapa lama sidang digelar untuk suatu kasus.
Tercatat 22 orang pelaku korupsi skala gurem dan 128 orang pelaku korupsi skala kecil dinyatakan bersalah oleh MA. Total nilai kerugian yang diakibatkan oleh koruptor gurem dan kecil, berturut-turut adalah Rp108, 4 juta dan Rp6,3 miliar. Angka ini didasarkan pada harga konstan tahun 2009. Meski demikian, koruptor gurem dan kecil dituntut hukuman finansial sebesar hampir 17 kali dan hampir 2 kali lipat dari kerugian eksplisit yang mereka akibatkan. MA kemudian mengganjar koruptor gurem dan kecil dengan hukuman finansial senilai hampir 11,5 kali dan 4 kali lipat dari kerugian yang mereka akibatkan.
Hal sebaliknya justru terjadi pada koruptor skala besar dan kakap. Tercatat 122 koruptor besar dan 30 koruptor kakap yang dinyatakan bersalah oleh MA. Total kerugian negara/perekonomian negara yang diakibatkan oleh koruptor besar dan kakap berturut-turut adalah Rp735,5 miliar dan Rp72,2 triliun (harga konstan tahun 2009). Dari nilai kerugian tersebut, kedua kelompok hanya dituntut membayar hukuman finansial sebesar 65,6% untuk koruptor besar dan 44% untuk koruptor kakap. Putusan MA mengganjar mereka dengan hukuman finansial masing-masing 49.4% (koruptor besar) dan 6,7% (koruptor kakap) dari kerugian negara yang mereka akibatkan.
Biaya eksplisit korupsi dari tahun 2001-2009 senilai Rp73,01 triliun, namun total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp5.32 triliun (harga konstan 2009). Selisih nilai keduanya adalah Rp67,75 triliun, dan cilakanya bukanlah dibayar oleh koruptor, namun justru menjadi beban para pembayar pajak yang budiman. Pembayar pajak bukanlah terbatas pada mereka yang memiliki NPWP saja. Para mahasiswa yang mengisi pulsa, anak-anak yang membeli permen, ibu-ibu rumah tangga yang membeli sabun colek, adalah juga pembayar pajak. Di sinilah terjadi ironi, di mana di Indonesia justru koruptor yang kaya disubsidi oleh rakyat yang sebagian besar miskin!!
Temuan di atas membuktikan bahwa pemberian hukuman terhadap koruptor ternyata dipengaruhi oleh skala korupsi yang dilakukan. Semakin besar korupsi yang dilakukan, semakin ringan hukuman yang diperoleh relatif dibandingkan hukuman yang dijatuhkan kepada korutor skala rendah. Pelaksanaan UU Tipikor ternyata memiskinkan koruptor gurem dan kecil, namun demikian justru menguntungkan bagi koruptor besar dan kakap.
Setelah memahami fenomena ini, sebagian besar orang mungkin akan menyalahkan para hakim karena telah memberikan hukuman yang ringan kepada koruptor besar dan kakap. Kesimpulan ini belum tentu seluruhnya benar, mengingat hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada yang telah diatur dalam UU Tipikor.
UU Tipikor secara jelas mengatur bahwa maksimum denda adalah Rp 1 miliar dan maksimum penjara/kurungan adalah 20 tahun. Ironisnya, di sisi lain UU Tipikor mengatur bahwa korupsi dengan nilai minimum Rp 5 juta atau lebih saja yang akan ditangani. Ini berarti, nilai korupsi bisa bernilai tak berhingga rupiah, atau bahkan senilai APBN, namun terdapat kepastian hukum bahwa koruptor tidak akan didenda lebih dari Rp 1 miliar. Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam pembuatan UU seperti ini? Tentu saja para legislator (pembuat undang-undang), yang tak lain dan tak bukan adalah para wakil rakyat di Senayan. Mungkin temuan hasil penelitian Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB), FEB-UGM ini terlalu menyesakkan dada sebagian pembaca, namun inilah fakta yang terjadi di Indonesia.
Rimawan Pradiptyo
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/ Information about Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ List of books, click: http://sastrapembebasan.wordpress.com/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar