Preman GAGALKAN Eksekusi Jaksa atas Terdakwa Penipuan di Kantor Pengadilan
SURABAYA (Surabaya Pagi) – Kericuhan terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya saat jaksa hendak mengeksekusi Bo Feng Mei alias Heny Melany, terpidana penipuan bisnis multi level marketing (MLM), Rabu (26/12). Belasan preman yang mengawal perempuan berambut panjang ini melakukan perlawanan. Terjadi aksi kejar-kejaran di lingkungan PN, bahkan jaksa dipelintir pengawal Melany yang semula diduga polisi berpakaian preman. Alhasil, eksekusi pun gagal. Kejadian jaksa di-KO (Knock-Out) oleh preman ini mengejutkan para penegak hukum yang ada di Pengadilan Negeri Surabaya. Beberapa pengacara dan panitera geleng-geleng kepala atas keberanian preman melawan jaksa yang berpakaian dinas. ''Ini pelecehan terhadap aparat penegak hukum,'' kata seorang pengunjung sidang, yang tak habis mengerti preman-preman berani melawan jaksa di kantor pengadilan.
Kericuhan itu terjadi sekitar pukul 11.30, usai persidangan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan Melany terhadap perkaranya. Sidang PK ini mengharuskan terpidana datang sendiri. Nah, sebelum menghadiri sidang, Melani rupanya sudah mengendus rencana Kejaksaan yang akan menangkap dirinya. Karena itulah, Melany membentengi dirinya dengan dikawal belasan orang berpakaian preman saat datang ke PN. Menariknya, para pengawal tersebut diduga juga aparat.
Sedangkan pihak Kejaksaan sendiri juga telah meminta bantuan ke Polrestabes Surabaya dengan mengirim surat bantuan pengamanan. Kericuhan akhirnya tidak dapat dihindari, ketika beberapa polisi berpakaian dinas berusaha menangkap Melany yang sudah buron satu tahun ini. Puluhan pengawal Melany menghalangi eksekusi itu. Mereka langsung menyerbu ruang sidang dan membawa kabur Melany.
Melihat hal itu, kedua jaksa dan polisi berseragam langsung mengejarnya. Sempat terjadi tarik menarik antara preman, jaksa dan polisi berseragam saat Melany akan masuk ke mobilnya. Bahkan salah seorang preman sempat memelintir tangan jaksa Apritini yang memegang tangan Melany. Saking kerasnya pelintiran itu, ponsel Pritini terjatuh. Ia juga merintih kesakitan.
Lantaran kalah jumlah, dua polisi dan dua jaksa ini pun ngaplo, tak bisa berbuat banyak. Melany pun berhasil dibawa kabur dengan mobilnya. "Tangan saya sakit dan ada yang lecet karena diplintir," ucap jaksa berambut pendek ini.
Menurut Apritini, pihak kejaksaan hendak melakukan eksekusi secara paksa karena putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan harus dieksekusi untuk menjalani hukuman. Saat kasasi, MA memvonis Melany bersalah dan menjatuhkan hukuman setahun penjara. "Meksi terdakwa mengajukan PK, hal itu tidak menghalangi proses eksekusi," tandasnya.
Kasi Pidum Kejari Surabaya M. Judhy Ismono menyatakan pihaknya telah melakukan pemanggilan secara patut sebanyak tiga kali terhadap Melany. Namun, sejak panggilan pertama hingga panggilan ketiga, Melany tidak menggubrisnya. Sehingga pihak kejaksaan melakukan eksekusi paksa. "Kita sudah minta agar terpidana secara sukarela menjalani putusan MA, namun yang bersangkutan tidak kooperatif. Terpaksa kita eksekusi secara paksa," ungkapnya.
Sementara itu, kuasa hukum Melani, Sabar menegaskan kliennya sudah mengajukan penangguhan eksekusi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati). "Saat ini klien kami menderita sakit jantung sehingga butuh perawatan. Selain itu kami juga mengajukan PK. Jadi tunggulah PK-nya keluar dulu," ujarnya.
Untuk diketahui, sesuai putusan kasasi Mahkamah Agung, Melany harus menjalani hukuman setahun di penjara karena terbukti melanggar Pasal 372 KUHP.
Dia terbukti menipu rekan bisnis MLM. Pada 2005 silam, terdakwa mengajak Tjio Erly Tjiptono (pelapor) untuk bergabung. Tertarik, Tjio menerima tawaran terdakwa dan segera menyetor modal sebesar 22.500 Dolar Singapura (Rp140 juta).
Pada 2006 sampai 2009, terdakwa dan Tjio membeli produk dari bisnis tersebut seharga Rp 700 juta. Setelah itu, akhirnya keduanya otomatis menjadi downline pada bisnis MLM tersebut. Masalah terjadi ketika terdakwa meminta konsultan publik untuk membuatkan laporan neraca keuangan untuk 2006-2009. Pelapor menemukan ketidakberesan dalam laporan keuangan itu dan merasa dirugikan terdakwa. Dia lalu melaporkan hal itu ke polisi.
Polrestabes Geram
Kericuhan di PN Surabaya karena dipicu Melany yang membawa belasan pengawal, membuat Polrestabes Surabaya geram. Pasalnya, preman yang melindungi terpidana disebut-sebut anggota Intel Polrestabes. Kapolrestabes Surabaya Kombespol Tri Maryanto menegaskan pengawal Melany itu bukan anggota kepolisian. Bahkan, pihaknya sudah menetapkan mereka sebagai buron atau Daftar Pencahrian Orang (DPO).
"Itu bukan polisi. Kita tetapkan dia sebagai DPO. Kalau saya bilang itu membawa adalah wartawan kan bisa saja. Tapi kan harus ada bukti-bukti. Orang boleh saja menduga-duga, tapi harus ada bukti kuat," ujar Tri Maryanto di Mapolrestabes Surabaya, Rabu (26/12).
Perwira menengah ini mengakui memang ada pengamanan dari Polrestabes Surabaya untuk mengamankan sidang di PN Surabaya. Tetapi, pengamanan itu bukan untuk satu sidang, melainkan untuk semua sidang yang ada di pengadilan.
Hal sama dikatakan Kasatintel Polrestabes, AKBP Imran Edwin Siregar. Ia membantah jika anggotanya terlibat dalam insiden tersebut. "Tidak benar jika ada anggota kami yang terlibat," tegas Imran.
Menurut dia, anggotanya termasuk dirinya sendiri memang saat itu berada di PN, namun dalam rangka pengamanan sidang kerusuhan Sampang. "Saya dan anggota memang berada di sana (PN), tapi untuk pengamanan sidang Sampang. Lalu tiba-tiba ada kericuhan, wajar jika anggota lalu bertanya untuk mencari tahu ada apa," jelasnya. n bd/bi
Diduga Dibentengi Oknum Polisi, Buronan Gagal Dieksekusi
SURABAYA, (surabayapagi.com) – Kericuhan terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya saat dua jaksa kejaksaan tinggi Surabaya akan mengeksekusi Bo Feng Mei alias Heny Melany, terpidana penipuan bisnis multi level marketing (MLM) Rabu siang (26/12/2012).
Kericuhan itu dipicu adanya sekelompok pengawal yang diduga oknum polisi berpakaian preman mencoba menghalangi eksekusi itu.
Rupanya Melany yang sudah buron sejak setahun silam ini sudah membentengi dirinya saat mengikuti sidang Peninjauan Kembali (PK) perkaranya di PN. Hal ini tidak diperkirakan dua jaksa kejati jatim Apritini dan Heriati.
Keduanya terlihat santai saat menunggu Melany yang masih disidang di ruang Kartika. Mereka hanya meminta bantuan dua polisi berseragam yang saat itu sedang bertugas di PN. Ketika ketua meajelis hakim M Soleh menutup sidang, tiba-tiba belasan preman langsung menyerbu ruang sidang dan membawa kabur Melany.
Melihat hal itu, kedua jaksa dan polisi berseragam langsung mengejarnya. Sempat terjarik menarik antara preman, jaksa dan polisi berseragam saat Melany akan masuk ke mobilnya.
Tangan jaksa Apritini bahkan sempat luka karena dipelintir salah satu preman dan ponselnya terjatuh.
Namun upaya Apritini dkk itu tidak berhasil karena jumlah mereka kalah dengan belasan preman yang mengamankan Melany. Melany dan pengawalnya akhirnya kabur menggunakan mobil fortuner hitam yang sudah disiapkan di depan pengadilan.
Haryono Mintaroem - Ahli Hukum Pidana Unair: Preseden Buruk
Gagalnya eksekusi terhadap Bo Feng Mei alias Heny Melany, terpidana penipuan bisnis multi level marketing (MLM), Rabu (26/12), lantaran dihalangi belasan preman, menjadi preseden buruk. Jaksa seharusnya melakukan langkah antisipatif, dengan meminta bantuan polisi secara cepat. Namun, upaya Bo Feng Mei yang melawan jaksa, juga gegabah.
Saya tidak tahu persis bagaimana kejadiannya di lapangan. Tapi, kalau tiba-tiba belasan preman masuk ke ruang sidang dan membawa terdakwa, itu jelas melanggar. Hakim harusnya bisa bertindak dan memerintahkan polisi untuk melakukan pengamanan. Sedangkan jika di luar sidang, apakah itu sudah persetujuan atau belum? Yang jelas ketika ada pengambilan paksa di ruang sidang, itu tidak dibenarkan.
Dalam kejadian seperti ini seharunya jaksa secepatnya meminta bantuan kepolisian dengan telepon atau apa, jika personilnya kurang. Sebenarnya ini tidak susah. Kenapa tidak dilakukan? Kecuali kalau preman atau bodyguard itu bersenjata, mungkin masih masuk akal jika tidak bisa mengatasi.
Mengenai alasan terpidana yang menolak dieksekusi karena sudah mengajukan surat penangguhan lantaran sakit jantung ke majelis hakim, perlu dicek kebenarannya. Pengajuan itu bisa diterima jika benar-benar membahayakan jiwa terpidana. Tapi, apakah kondisi terpidana seperti itu? Atau alasan sakit jantung hanya menjadi modus terpidana menghindari eksekusi. n mik
Kericuhan itu terjadi sekitar pukul 11.30, usai persidangan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan Melany terhadap perkaranya. Sidang PK ini mengharuskan terpidana datang sendiri. Nah, sebelum menghadiri sidang, Melani rupanya sudah mengendus rencana Kejaksaan yang akan menangkap dirinya. Karena itulah, Melany membentengi dirinya dengan dikawal belasan orang berpakaian preman saat datang ke PN. Menariknya, para pengawal tersebut diduga juga aparat.
Sedangkan pihak Kejaksaan sendiri juga telah meminta bantuan ke Polrestabes Surabaya dengan mengirim surat bantuan pengamanan. Kericuhan akhirnya tidak dapat dihindari, ketika beberapa polisi berpakaian dinas berusaha menangkap Melany yang sudah buron satu tahun ini. Puluhan pengawal Melany menghalangi eksekusi itu. Mereka langsung menyerbu ruang sidang dan membawa kabur Melany.
Melihat hal itu, kedua jaksa dan polisi berseragam langsung mengejarnya. Sempat terjadi tarik menarik antara preman, jaksa dan polisi berseragam saat Melany akan masuk ke mobilnya. Bahkan salah seorang preman sempat memelintir tangan jaksa Apritini yang memegang tangan Melany. Saking kerasnya pelintiran itu, ponsel Pritini terjatuh. Ia juga merintih kesakitan.
Lantaran kalah jumlah, dua polisi dan dua jaksa ini pun ngaplo, tak bisa berbuat banyak. Melany pun berhasil dibawa kabur dengan mobilnya. "Tangan saya sakit dan ada yang lecet karena diplintir," ucap jaksa berambut pendek ini.
Menurut Apritini, pihak kejaksaan hendak melakukan eksekusi secara paksa karena putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan harus dieksekusi untuk menjalani hukuman. Saat kasasi, MA memvonis Melany bersalah dan menjatuhkan hukuman setahun penjara. "Meksi terdakwa mengajukan PK, hal itu tidak menghalangi proses eksekusi," tandasnya.
Kasi Pidum Kejari Surabaya M. Judhy Ismono menyatakan pihaknya telah melakukan pemanggilan secara patut sebanyak tiga kali terhadap Melany. Namun, sejak panggilan pertama hingga panggilan ketiga, Melany tidak menggubrisnya. Sehingga pihak kejaksaan melakukan eksekusi paksa. "Kita sudah minta agar terpidana secara sukarela menjalani putusan MA, namun yang bersangkutan tidak kooperatif. Terpaksa kita eksekusi secara paksa," ungkapnya.
Sementara itu, kuasa hukum Melani, Sabar menegaskan kliennya sudah mengajukan penangguhan eksekusi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati). "Saat ini klien kami menderita sakit jantung sehingga butuh perawatan. Selain itu kami juga mengajukan PK. Jadi tunggulah PK-nya keluar dulu," ujarnya.
Untuk diketahui, sesuai putusan kasasi Mahkamah Agung, Melany harus menjalani hukuman setahun di penjara karena terbukti melanggar Pasal 372 KUHP.
Dia terbukti menipu rekan bisnis MLM. Pada 2005 silam, terdakwa mengajak Tjio Erly Tjiptono (pelapor) untuk bergabung. Tertarik, Tjio menerima tawaran terdakwa dan segera menyetor modal sebesar 22.500 Dolar Singapura (Rp140 juta).
Pada 2006 sampai 2009, terdakwa dan Tjio membeli produk dari bisnis tersebut seharga Rp 700 juta. Setelah itu, akhirnya keduanya otomatis menjadi downline pada bisnis MLM tersebut. Masalah terjadi ketika terdakwa meminta konsultan publik untuk membuatkan laporan neraca keuangan untuk 2006-2009. Pelapor menemukan ketidakberesan dalam laporan keuangan itu dan merasa dirugikan terdakwa. Dia lalu melaporkan hal itu ke polisi.
Polrestabes Geram
Kericuhan di PN Surabaya karena dipicu Melany yang membawa belasan pengawal, membuat Polrestabes Surabaya geram. Pasalnya, preman yang melindungi terpidana disebut-sebut anggota Intel Polrestabes. Kapolrestabes Surabaya Kombespol Tri Maryanto menegaskan pengawal Melany itu bukan anggota kepolisian. Bahkan, pihaknya sudah menetapkan mereka sebagai buron atau Daftar Pencahrian Orang (DPO).
"Itu bukan polisi. Kita tetapkan dia sebagai DPO. Kalau saya bilang itu membawa adalah wartawan kan bisa saja. Tapi kan harus ada bukti-bukti. Orang boleh saja menduga-duga, tapi harus ada bukti kuat," ujar Tri Maryanto di Mapolrestabes Surabaya, Rabu (26/12).
Perwira menengah ini mengakui memang ada pengamanan dari Polrestabes Surabaya untuk mengamankan sidang di PN Surabaya. Tetapi, pengamanan itu bukan untuk satu sidang, melainkan untuk semua sidang yang ada di pengadilan.
Hal sama dikatakan Kasatintel Polrestabes, AKBP Imran Edwin Siregar. Ia membantah jika anggotanya terlibat dalam insiden tersebut. "Tidak benar jika ada anggota kami yang terlibat," tegas Imran.
Menurut dia, anggotanya termasuk dirinya sendiri memang saat itu berada di PN, namun dalam rangka pengamanan sidang kerusuhan Sampang. "Saya dan anggota memang berada di sana (PN), tapi untuk pengamanan sidang Sampang. Lalu tiba-tiba ada kericuhan, wajar jika anggota lalu bertanya untuk mencari tahu ada apa," jelasnya. n bd/bi
Diduga Dibentengi Oknum Polisi, Buronan Gagal Dieksekusi
SURABAYA, (surabayapagi.com) – Kericuhan terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya saat dua jaksa kejaksaan tinggi Surabaya akan mengeksekusi Bo Feng Mei alias Heny Melany, terpidana penipuan bisnis multi level marketing (MLM) Rabu siang (26/12/2012).
Kericuhan itu dipicu adanya sekelompok pengawal yang diduga oknum polisi berpakaian preman mencoba menghalangi eksekusi itu.
Rupanya Melany yang sudah buron sejak setahun silam ini sudah membentengi dirinya saat mengikuti sidang Peninjauan Kembali (PK) perkaranya di PN. Hal ini tidak diperkirakan dua jaksa kejati jatim Apritini dan Heriati.
Keduanya terlihat santai saat menunggu Melany yang masih disidang di ruang Kartika. Mereka hanya meminta bantuan dua polisi berseragam yang saat itu sedang bertugas di PN. Ketika ketua meajelis hakim M Soleh menutup sidang, tiba-tiba belasan preman langsung menyerbu ruang sidang dan membawa kabur Melany.
Melihat hal itu, kedua jaksa dan polisi berseragam langsung mengejarnya. Sempat terjarik menarik antara preman, jaksa dan polisi berseragam saat Melany akan masuk ke mobilnya.
Tangan jaksa Apritini bahkan sempat luka karena dipelintir salah satu preman dan ponselnya terjatuh.
Namun upaya Apritini dkk itu tidak berhasil karena jumlah mereka kalah dengan belasan preman yang mengamankan Melany. Melany dan pengawalnya akhirnya kabur menggunakan mobil fortuner hitam yang sudah disiapkan di depan pengadilan.
Haryono Mintaroem - Ahli Hukum Pidana Unair: Preseden Buruk
Gagalnya eksekusi terhadap Bo Feng Mei alias Heny Melany, terpidana penipuan bisnis multi level marketing (MLM), Rabu (26/12), lantaran dihalangi belasan preman, menjadi preseden buruk. Jaksa seharusnya melakukan langkah antisipatif, dengan meminta bantuan polisi secara cepat. Namun, upaya Bo Feng Mei yang melawan jaksa, juga gegabah.
Saya tidak tahu persis bagaimana kejadiannya di lapangan. Tapi, kalau tiba-tiba belasan preman masuk ke ruang sidang dan membawa terdakwa, itu jelas melanggar. Hakim harusnya bisa bertindak dan memerintahkan polisi untuk melakukan pengamanan. Sedangkan jika di luar sidang, apakah itu sudah persetujuan atau belum? Yang jelas ketika ada pengambilan paksa di ruang sidang, itu tidak dibenarkan.
Dalam kejadian seperti ini seharunya jaksa secepatnya meminta bantuan kepolisian dengan telepon atau apa, jika personilnya kurang. Sebenarnya ini tidak susah. Kenapa tidak dilakukan? Kecuali kalau preman atau bodyguard itu bersenjata, mungkin masih masuk akal jika tidak bisa mengatasi.
Mengenai alasan terpidana yang menolak dieksekusi karena sudah mengajukan surat penangguhan lantaran sakit jantung ke majelis hakim, perlu dicek kebenarannya. Pengajuan itu bisa diterima jika benar-benar membahayakan jiwa terpidana. Tapi, apakah kondisi terpidana seperti itu? Atau alasan sakit jantung hanya menjadi modus terpidana menghindari eksekusi. n mik
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar