Aceh akan memiliki sumber pendanaan yang akan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang, searah dengan meningkatnya sumber pembiayaan dari nasional, terutamanya dari Dana Otonomi Khusus dan Bagi Hasil Migas. Sesuai dengan data yang dirilis oleh Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), Provinsi Aceh secara keseluruhan akan menerima sekitar Rp 650 triliun, sejak tahun 2008 sampai akhir tahun 2027 pada saat berakhirnya Otonomi Khusus.
Berdasarkan data tersebut, maka Pemerintah Aceh perlu segera mengambil langkah-langkah strategis dalam pengelolaan anggaran. Langkah strategis tersebut dapat difokuskan pada beberapa bagian penting dengan bercermin pada pengelolaan keuangan daerah Aceh pada tahun-tahun sebelumnya.
Koordinator Jaringan Peduli Anggaran (JPA) Aceh, Roys Vahlevi mengatakan beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh tersebut antara lain; dalam membelanjakan anggaran pada Pos Belanja Pegawai.
Menurut Roys, Pemerintah Aceh harus perlu memikirkan terobosan-terobosan baru dalam menghemat anggaran, khususnya Belanja Pegawai yang menyedot lebih dari separuh belanja pembangunan. Data PECAPP menunjukkan bahwa porsi Belanja Pegawai di kabupaten/kota secara rata-rata pemerintah di Aceh terhitung hampir 60 persen, menyisakan ruang yang cukup kecil untuk pembangunan.
Persoalan Belanja Pegawai sudah berada pada masalah akut di Aceh. Oleh karena itu, dengan meninjau kembali kebutuhan pegawai, termasuk para pegawai honorer/kontrak sudah semestinya menjadi prioritas reformasi pengelolaan keuangan daerah. Dengan mengutip data yang dirisi oleh PECAPP, bahwa jumlah gaji pegawai pada tahun 2010 terhitung sebesar 7 persen (atau Rp 6,1 trilliun) dari keseluruhan PDRB Aceh. "Angka tersebut jauh lebih besar dari tingkat nasional yang hanya terhitung sebesar 2,7 persen. Ini juga menunjukkan begitu tergantungnya perekonomian Aceh terhadap belanja pemerintah," kata Roys yang juga Sekjen Forum LSM Aceh.
Sorotan perlunya reformasi dalam pengelolaan keuangan daerah di Aceh, terutama dalam pengelolaan Dana Ototonomi Khusus, juga dikemukakan oleh Abdullah Abdul Muthaleb dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), salah satu lembaga yang tergabung dalam JPA. Menurutnya, merujuk pada hasil analisis Bank Dunia tentang penggunaan dana Otsus dalam kurun waktu terakhir ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah Aceh. Kajian ini menunjukkan terdapat 54 persen paket pekerjaan bernilai dibawah Rp 100 juta. Kemudian 26,5 persen hasil pekerjaan proyek Oronomi Khusus (Otsus) belum berfungsi pada tahun 2011. "Proyek yang nilainya di bawah Rp 100 juta, tidak punya daya ungkit dan menyelesaikan masalah," katanya.
Abdullah menilai bahwa pengelolaan Dana Otonomi Khusus di Aceh selama lima tahun terakhir dengan menggunakan pola alokasi "bagi-bagi kue", dengan mekanisme serta perencanaan yang sumir antar kabupaten dan kota telah menghasilkan program-program pembangunan yang salah sasaran dan tidak efektif. Bahkan menurutnya cenderung boros dengan tingkat fungsionalitas yang rendah. Berdasarkan fakta ini, sudah seharusnya Pemerintah Aceh melakukan evaluasi total dalam pola pemanfaatan Dana Otonomi Khusus tersebut sehingga lebih berdaya guna bagi pembangunan di Aceh.
Temuan Bank Dunia di atas, menurut Abdullah tentu relevan dengan temuan dari hasil analisis awal dari tim PECAPP. Temuan tersebut mengungkapkan bila begitu banyak paket pekerjaan yang didanai Otonomi Khusus kurang tepat sasaran, pemilihan prioritas pembangunan belum didasari perencanaan berdasarkan data dan analisis yang akurat. "Kondisi ini harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah baru di Aceh untuk melakukan perubahan fundamental yang lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus tersebut," ungkapnya.
Ditambahkan oleh Abdullah, bahwa terlepas dari revisi Qanun Aceh Nomor 2 tahun 2008 tentang Tatacara Pengalokasian Tambahan Dana bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus yang akan diparipurnakan di DPRA yang menyatakan pembagian alokasi 60 persen (provinsi) dan 40 persen (kab/kota), MaTA menilai bahwa terdapat isu yang lebih penting dari sekadar pembagian pagu antar provinsi dan kabupate/kota.
Menurut Abdullah seharusnya yang sangat perlu dipertimbangan oleh Pemerintah Aceh, DPRA Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh adalah bagaimana pola penetapan program dan kegiatan yang tepat, yang memiliki daya ungkit besar bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. "Ini yang tidak boleh diabaikan, dan tidak serta merta hanya fokus pada berapa porsi provinsi dan berapa untuk kabupaten/kota. Bila ini yang dilakukan maka pemanfataan dana Otonomi Khusus di Aceh akan lebih baik di tahun-tahun mendatang dibandingkan apa yang selama ini dicapai," ungkapnya.
Di sisi lain, menurutnya, hal yang juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Aceh adalah harus segera menetapkan Peraturan Gubernur tentang Kriteria Pemilihan Program dan Kegiatan yang akan Didanai Dana Otonomi Khusus. Penetapan ini mestinya berdasarkan hasil kajian dan analisis yang mendalam, sehingga dana otonomi Khusus tersbeut tidak sia-sia dalam 15 tahun mendatang.
Oleh karena itu, baik JPA - Aceh maupun MaTA berkomitmen untuk akan terus melakukan advokasi tentang reformasi keuangan daerah melalui analisis-analisis yang faktual berdasarkan data-data riil bersama para akademisi dan para pakar keuangan publik. Di sinilah kemudian dipandang pula bahwa keberadaan DPRA yang terbuka dengan semangat perubahan menjadi penting dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan anggaran publik di Aceh. [ ]
Tentang JPA
Jaringan Peduli Anggaran (JPA) Aceh adalah kumpulan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Universitas yang konsen terhadap advokasi dan pengawasan anggaran publik di Aceh. Lembaga yang tergabung dalam JPA adalah Forum LSM, Transparansi Indonesia (TI) Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), ICAIOS, WALHI Aceh, Balai Syura, GeRAK Aceh, Forum KKA, Forum Peneliti Aceh, Koalisi NGO HAM, Katahati Institute, LPPM Aceh, Fakultas Ekonomi Unsyiah dan Fakultas Ekonomi Unimal.
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar