Boediono, dari BLBI hingga Century
by Bambang Soesatyo,
Anggota Tim Pengawas, Kasus Bank Century DPR RI / Presidium Nasional Korps Alumni HMI
Anggota Tim Pengawas, Kasus Bank Century DPR RI / Presidium Nasional Korps Alumni HMI
Yopie yang juga juru bicara wapres mengatakan bahwa prestasi Pak Boediono sangat banyak sehingga sungguh sayang jika hanya karena kasus Bank Century maka ia harus turun sebagai wapres. Tapi Yopie lupa ada pepatah mengatakan bahwa karena nila setitik maka rusak susu sebelanga. Itu dengan asumsi bahwa "susu"nya lebih dominan ketimbang "nila"-nya. Untuk itu maka kita perlu melakukan kajian rekam jejak dari seseorang untuk mengklaim bahwa kondisi seseorang sesuai dengan rusaknya susu sebelanga atau bukan. Yang dimaksud 'bukan' di sini adalah kondisi sebaliknya yaitu lebih dominan nilai ketimbang susunya. Rekam jejak seseorang harus diamati secara obyektif.
Dalam periode 1 Juli 1996 s/d 28 Desember 1997. Boediono menjabat sebagai Direktur III yang membidangi Urusan Pengawasan BPR (UPBPR) Dan Urusan pengaturan dan pengembangan perbankan (UPPB). Dalam periode 29 Desember 1997 s/d 13 April 1998 Boediono sebagai Direktur I yang membidangi Urusan Operasi dan pengendalian Moneter (UOPM). Kedua Jabatan Boediono diatas sangat berkaitan lansung dengan penyaluran BLBI. Khususnya Bank Pelita dan Bank Umum Nasional. Berdasarkan laporan Audit Investigasi penyaluran dan pengunaan BLBI oleh BPK No. 06./01/auditama II/AI/VII/2000 tanggal 31 Juli 2000 adalah sbb:
1.Total penyaluran BLBI kepada 48 Bank sebesar Rp 144,5 T
2.Adanya penyimpangan dan penyalah gunaan wewenang dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian Negara sebesar Rp 138.4 T atau 96 % dari total BLBI
3.Pihak-pihak yang diduga terlibat adalah manajemen Bank penerima dan pejabat Bank Indonesia
4.Penjabat Bank Indonesia yang diduga terlibat Antara lain: Heru Supraptomo, Paul Sutopo, Hendro Budianto, Boediono, dll
Catatan . 1.Putusan Mahkamah Agung RI NO. 981 K/Pid/2004, tanggal 10 Juni 2005. Dengan Terpidana Paul Soetopo. (Telah dipenjarakan) 2. Putusan Mahkamah Agung R.I No. 977/K/Pid/2004 tanggal 10 Juni 2005 dengan Terpidana Prof. Dr. H. Heru Soepraptomo, S.H, S.E (Telah dipenjarakan).
Dalam periode 9 Agustus 2001 sd 20 Oktober 2004 Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus sebagai Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yaitu suatu Komite pengambil keputusan atas kebijakan BPPN diatas 1 Trilyun. Menteri Keuangan sebagai anggota KKSK terlibat langsung dalam setiap penambahan biaya rekapitalisasi perbankan Di BPPN. Berdasarkan laporan audit kinerja Laporan Gabungan oleh BPK tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1.Total Biaya Rekap untuk 7 Bank swasta yang dibebankan kepemerintah menurut BPPN sebesar Rp 141 T
2.Total Biaya Rekap Untuk 7 Bank Swasta Yang dibebankan kepemerintah menurut BPK sebesar Rp 134 T
3.Ada Kerugian Negara akibat kesalahan rekapitalisasi 7 bank Swasta sebesar Rp 7 T
Pihak 2 Yang Diduga Terlibat adalah Bambang Soebianto dan Boediono.
Dalam periode 9 Agustus 2001 sd 20 Oktober 2004
Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus sebagai Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yaitu suatu Komite pengambil keputusan atas kebijakan BPPN diatas 1 Trilyun. Menteri Keuangan sebagai anggota KKSK terlibat lansung dalam setiap restrukturisasi dan penjualan Aset di BPPN. Berdasarkan laporan BPPN pada saat penutupan jumlah Asset recovery hanya 28% dari Total Aset yang dikelola sebesar Rp 449 T. sehingga terjadi kerugian Negara sebesar 72 % atau sebesar Rp 323 T. kerugian Negara tersebut dianggap sebagai Biaya krisis yang harus ditanggung Negara. Besarnya kerugian Negara tersebut akibat kegagalan restrukturisasi dan penjualan murah asset Di BPPN Salah satu keterlibatan Boediono yang sangat fatal adalah mendorong dan menyetujui penjulan 51 % saham pemerntah di BCA yang sangat murah Kepada Faralllon Capital sebesar RP 5.3 Trilyun tanpa memperhatikan masih adanya obligasi pemerintah di BCA sebesar Rp 59 Trlyun.
Boediono juga sangat Aktif dalam mengusulkan Released and Discharge untuk para obligor penerima BLBI kepada Presiden Megawati. Total kerugian Negara akibat BLBI, Rekapitalisasi perbankan, asset recovery yang rendah adalah Rp 468 T, belum termasuk bunga obligasi rekap yang dibebankan kepada APBN setiap tahunnya sebesar Rp -/+ 40 trilyun. Semua kerugian Negara tersebut dianggap sebagai biaya untuk menangani Krisis.
Bukan hanya itu, Boediono berperan memerintahkan saudari SCF untuk membantu Bank Century setelah menerima hasil analisis Direktur Pengawasan yang menyatakan bahwa Bank Century Tidak layak untuk mendapatkan FPJP. Boediono menginisiasi berbagai Rapat RDG (Tgl 5 Nov, 13 Nov, 14 Nov 2008) untuk melakukan perubahan PBI agar Bank Century dapat menerima FPJP. Boediono membiarkan terjadinya proses pengesahan PBI yang tidak sesuai prosedur terkait dengan mendapatkan nomor LBN dan proses pendaftaran dan penandatanganan oleh Menkumham. Pertanggung jawaban dari pihak yang diberikuasa untuk menandatangani perjanjian pemberian FPJP tidak dilakukan dan tidak diuji kembali oleh Boediono selaku pemberi Kuasa sehingga membiarkan terjadinya proses proforma dalam pemberian FPJP kepada Bank Century.
Boediono selaku Gubernur BI tidak menyediakan informasi yang mutakhir dan terindikasi tidak menggambarkan data dan fakta yang sebenarnya dalam penentuan Bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Boediono Menandatangani keputusan yang menetapakan Bank Century Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik selaku anggota Komite Koordinasi yang tidak memiliki dasar hukum.
Jadi, sekali lagi. Yopi harus ingat bahwa fakta-fakta hukum terkait penyimpangan dalam proses bailout Bank Century sudah tumpah ke ruang publik. Fakta hukum dan Peraturannya yang sangat penting diantaranya adalah Kebijakan yang salah, yang dilakukan dengan sengaja dengan alasannya sendiri, seperti kekhawatiran ada terjadi krisis. Sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara dan dinikmati khususnya oleh Budi Sampoerna selaku pemilik deposito Rp.2 triliun di Bank Century dan perusahaan beberapa perusahaan BUMN yg memiliki dana ratusan miliar di Bank tersebut. Sebab, jika Bank itu ditutup atau tidak di bailout, maka pemilik dana trilunan dan ratusan miliar itu, sesuai UU hanya diganti/dijamin Rp.2 miliar.
Jadi, melihat realita tersebut patut di duga tindakan pemberian FPJP maupun bailout, merupakan ciri2 Tindak Pidana Korupsi, walaupun bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dengan merubah Peraturan BI secara tidak wajar untuk tujuan tertentu juga merupakan Bukti Petunjuk yang ditegaskan dalam Hukum Acara Pidana (vide KUHAP ps.183 dan 184).
Lebih dari itu, apa sesungguhnya yang terjadi lagi jika bank tersebut ditutup? Dana fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) sebesar Rp.683 miliar yang dikucurkan Boediono ke Bank Century akan hangus. Dan Boediono selaku gubernur BI harus pertanggung jawabkan dana tersebut.
Bank Indonesia sudah tersandera dengan keteledorannya sendiri, sehingga mau tak mau memang harus ―ngotot menyelamatkan (bailout) Bank Century. Sebab, sekali lagi. Menutup Bank Century sama dengan membuka kotak pandora berbagai kemungkinan tindak pidana persekongkolan yang sangat potensial merugikan negara. Mulai dari keganjilan penyerahan dokumen Aset Kredit (a), kuantitas Aset Kredit (b), maupun kualitasnya ini (c), mustahil tak bisa dikaitkan dengan aspek-aspek pengawasan dari orang-orang BI sendiri, sejak Bank Century berstatus Bank Dalam Pengawasan Khusus, 6 November 2008.
Jadi, dari kebijakan bailout Bank Century tersebut juga patut djuga terselip maksud untuk keuntungan Boediono sendiri atau kelompok. Dan bukan untuk penyelamatan ekonomi Indonesia. Apalagi dengan alasan akan berdampak sistemik jika bank tersebut ditutup.
Pertanyaan penting lainnya, Kalau memang tujuan kebijakan itu untuk penyelamatan ekonomi Indonesia, mengapa dilakukan secara diam-diam dan tidak dilaporkan kepada presiden yang waktu itu dijabat oleh wapres Jusuf Kalla karena SBY sedang berada di AS. Padahal sesuai UU, presiden adalah penanggung jawab tertinggi keuangan negara. Maka tidak heran kalau kemudian JK menyebut apa yang dilakukan Boediono selaku Gubernur BI dan Srimulyani selaku menteri keuangan sekaligus ketua KKSK sebagai operasi senyap.
Jadi, sekali lagi. Selain penyalahgunaan wewenang, kebijakan bailout juga dapat dikatakan menguntungkan orang lain dan diri sendiri. Yakni menguntungkan Budi Sampoerna yang memiliki dana Rp.2 triliun di Bank tersebut dan menguntungkan dirinya sendiri selaku Gubernur BI yang bertanggung jawab atas dana FPJP dengan tidak hangusnya dana FPJP Rp.683 miliar di Bank Century.
Dan kalau kita kaitkan dengan temuan BPK dalam Audit Investigasi lanjutan (forensik), ada alliran dana dari Budi Sampoerna ke berbagai pihak menjelang pemilu legislatif dan pilpres. Maka makin memprkuat dugaan kita untuk kepentingan apa Century diselamatkan.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar