Petral dan Mafia Migas Sedang Mendorong Indonesia ke Jurang Kehancuran?
Tertangkapnya Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), Rudi Rubiandini (RR), seakan membuka sedikit tabir yang menutupi keberadaan mafia minyak dan gas. "RR hanyalah mata rantai kecil dari suatu perselingkuhan besar mafia migas dengan para pejabat negara," tutur Direktur Eksekutif Visi Indonesia Rusdiansyah, SH, MH, beberapa waktu lalu.
Menurut Rusdiansyah, KPK harus menjadikan RR sebagai pintu masuk untuk menangkap para mafia besar minyak itu, yang selama ini sudah menjarah uang negara triliunan rupiah selama pemerintahan dipegang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Mafia besar itu adalah mereka yang menjadi perantara atau trader antara pemasok-pemasok minyak mentah untuk Pertamina melalui anak perusahaannya, Pertamina Energy Trading Limited, Petral. Bos dari perantara itu oleh kalangan bisnis Singapura disebut Gasoline Father, yaitu Mr Mohammad Reza Chalid dari Global Energy Resources, GER," ungkap Rusdiansyah.
Banyak laporan serta informasi, lanjut Rusdiansyah, yang menuding tendernya kurang transparan. "Ada permainan fee sampai milyaran rupiah. Tender akal-akalan mafia minyak ini akan tetap berjalan selagi Indonesia masih membeli dengan harga spot, yang bisa dibeli sewaktu-waktu dalam jumlah besar," katanya.
Sebenarnya, mantan menteri di era Presiden Abdurrahaman Wahid, Dr. Rizal Ramli, sudah lama menyinyalir adanya mafia tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Menentukan Jalan Baru Indoensia yang terbit (April 2009) lalu, Rizal mengungkap keberadaan seorang tokoh yang ia sebut Mr Teo Dollars. Pendapatan tokoh ini mencapai US$ 600 ribu (lebih dari Rp 6 miliar) per hari, dengan "kewajiban memberikan sesajen" ke oknum-oknum tertentu di jajaran pemerintahan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyak dari kalangan intelektual, aktivis lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, pegiat antikorupsi, dan juga masyarakat umum, menurut Rusdiansyah, yang cepat lupa bahwa negeri yang tadinya kaya raya bernama Indonesia ini sekarang dalam kondisi darurat. "Kita hanya akan tersadarkan jika pemerintah mulai berancang-ancang untuk menaikan bahan bakar minyak ataupun jika ada pejabat negara yang tertangkap karena dugaan terlibat korupsi di wilayah migas," tutur Rusdiansyah.
Itulah sebabnya, Visi Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk terus melawan lupa akan kondisi energi bangsa ini. "Indonesia kini tengah terancam krisis energi. Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Kondisi ini sudah sangat mengkhawatirkan dari sisi ekonomi, sosial, politik, bahkan pertahanan dan keamanan nasional," ungkapnya.
Atas dasar kondisi yang bisa membawa bangsa ini benar-benar tenggelam di jurang kehancuran, Visi Indonesia mendesak Komisi Pemberantasa Korupsi untuk fokus dalam pemberantasan korupsi di wilayah migas. "Khususnya fokus pada anak perusahaan Pertamina, Petral. Sebagai contoh, lihat saja kasus pembelian minyak pada tahun 2011. Pada tahun 2011 itu, Petral membeli 266,42 juta barel minyak, yang terdiri dari 65,74 juta barel minyak mentah dan 200,68 juta barel berupa produk. Harga rata-rata pembelian minyak oleh Petral adalah US$ 113,95 per barel untuk minyak mentah, US$ 118,50 untuk premium, dan US$ 123,70 untuk solar. Total pembelian minyak Petral pada tahun 2011 adalah US$ 7,4 miliar untuk minyak mentah dan US$ 23,2 miliar untuk bensin/solar. Jadi, kalau dijumlahkan US$ 30,6 miliar atau lebih dari Rp 275,5 triliun per tahun. Itulah jumlah uang yang dikeluarkan Pertamina atau negara untuk impor minyak," papar Rusdiansyah.
Yang aneh bin ajaib, menurut data yang diungkapkan Rusdiansyah, harga untuk pembelian pada tahun 2011 itu jauh di atas harga rata-rata minyak dunia. "Bayangkan saja, Petral membeli minyak mentah rata-rata US$ 113,85 per barel, padahal harga rata-rata minyak dunia jenis yang sama pada waktu itu hanya US$ 90. Harga beli minyak produk bensin US$ 118 dan solar US$ 123 per barel, padahal harga rata-rata dunia US$ 105. Yang juga sangat mengherankan, Petral menyebutkan punya 55 rekanan terseleksi, tapi faktanya yang menang tender selalu perusahaan milik Reza Chalid dan kawan-kawannya," kata Rusdiansyah lagi.
Namun, karena yang dilakukan itu adalah kejahatan terorganisasi, Rusdiansyah mengakui memang tidak mudah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyeret para pelakunya ke ruang sidang, walaupun negara dirugikan ratusan triliunan rupiah. "Tapi, yang tidak mudah itu bukan berarti tidak mungkin. KPK harus yakin bahwa sebagian besar rakyat Indonesia akan berada di barisan terdepan untuk menjadi perisai bagi KPK dalam membongkar mafia minyak dan gas di Indonesia. Kami juga berharap Muhammad Reza Chalid ditangkap dan Petral dibubarkan," ujar Rusdiansyah.
Sampai berita ini diturunkan, kami belum bisa menghubungi pejabat Petral dan Reza Chalid untuk melakukan konfirmasi. Tapi, kalau apa yang diungkapkan Rusdiansyah itu benar, sungguh biadab perbuatan mereka, karena sedang mendorong bangsa Indonesia ke jurang kehancuran yang dalam.
Tertangkapnya Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), Rudi Rubiandini (RR), seakan membuka sedikit tabir yang menutupi keberadaan mafia minyak dan gas. "RR hanyalah mata rantai kecil dari suatu perselingkuhan besar mafia migas dengan para pejabat negara," tutur Direktur Eksekutif Visi Indonesia Rusdiansyah, SH, MH, beberapa waktu lalu.
Menurut Rusdiansyah, KPK harus menjadikan RR sebagai pintu masuk untuk menangkap para mafia besar minyak itu, yang selama ini sudah menjarah uang negara triliunan rupiah selama pemerintahan dipegang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Mafia besar itu adalah mereka yang menjadi perantara atau trader antara pemasok-pemasok minyak mentah untuk Pertamina melalui anak perusahaannya, Pertamina Energy Trading Limited, Petral. Bos dari perantara itu oleh kalangan bisnis Singapura disebut Gasoline Father, yaitu Mr Mohammad Reza Chalid dari Global Energy Resources, GER," ungkap Rusdiansyah.
Banyak laporan serta informasi, lanjut Rusdiansyah, yang menuding tendernya kurang transparan. "Ada permainan fee sampai milyaran rupiah. Tender akal-akalan mafia minyak ini akan tetap berjalan selagi Indonesia masih membeli dengan harga spot, yang bisa dibeli sewaktu-waktu dalam jumlah besar," katanya.
Sebenarnya, mantan menteri di era Presiden Abdurrahaman Wahid, Dr. Rizal Ramli, sudah lama menyinyalir adanya mafia tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Menentukan Jalan Baru Indoensia yang terbit (April 2009) lalu, Rizal mengungkap keberadaan seorang tokoh yang ia sebut Mr Teo Dollars. Pendapatan tokoh ini mencapai US$ 600 ribu (lebih dari Rp 6 miliar) per hari, dengan "kewajiban memberikan sesajen" ke oknum-oknum tertentu di jajaran pemerintahan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyak dari kalangan intelektual, aktivis lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, pegiat antikorupsi, dan juga masyarakat umum, menurut Rusdiansyah, yang cepat lupa bahwa negeri yang tadinya kaya raya bernama Indonesia ini sekarang dalam kondisi darurat. "Kita hanya akan tersadarkan jika pemerintah mulai berancang-ancang untuk menaikan bahan bakar minyak ataupun jika ada pejabat negara yang tertangkap karena dugaan terlibat korupsi di wilayah migas," tutur Rusdiansyah.
Itulah sebabnya, Visi Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk terus melawan lupa akan kondisi energi bangsa ini. "Indonesia kini tengah terancam krisis energi. Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Kondisi ini sudah sangat mengkhawatirkan dari sisi ekonomi, sosial, politik, bahkan pertahanan dan keamanan nasional," ungkapnya.
Atas dasar kondisi yang bisa membawa bangsa ini benar-benar tenggelam di jurang kehancuran, Visi Indonesia mendesak Komisi Pemberantasa Korupsi untuk fokus dalam pemberantasan korupsi di wilayah migas. "Khususnya fokus pada anak perusahaan Pertamina, Petral. Sebagai contoh, lihat saja kasus pembelian minyak pada tahun 2011. Pada tahun 2011 itu, Petral membeli 266,42 juta barel minyak, yang terdiri dari 65,74 juta barel minyak mentah dan 200,68 juta barel berupa produk. Harga rata-rata pembelian minyak oleh Petral adalah US$ 113,95 per barel untuk minyak mentah, US$ 118,50 untuk premium, dan US$ 123,70 untuk solar. Total pembelian minyak Petral pada tahun 2011 adalah US$ 7,4 miliar untuk minyak mentah dan US$ 23,2 miliar untuk bensin/solar. Jadi, kalau dijumlahkan US$ 30,6 miliar atau lebih dari Rp 275,5 triliun per tahun. Itulah jumlah uang yang dikeluarkan Pertamina atau negara untuk impor minyak," papar Rusdiansyah.
Yang aneh bin ajaib, menurut data yang diungkapkan Rusdiansyah, harga untuk pembelian pada tahun 2011 itu jauh di atas harga rata-rata minyak dunia. "Bayangkan saja, Petral membeli minyak mentah rata-rata US$ 113,85 per barel, padahal harga rata-rata minyak dunia jenis yang sama pada waktu itu hanya US$ 90. Harga beli minyak produk bensin US$ 118 dan solar US$ 123 per barel, padahal harga rata-rata dunia US$ 105. Yang juga sangat mengherankan, Petral menyebutkan punya 55 rekanan terseleksi, tapi faktanya yang menang tender selalu perusahaan milik Reza Chalid dan kawan-kawannya," kata Rusdiansyah lagi.
Namun, karena yang dilakukan itu adalah kejahatan terorganisasi, Rusdiansyah mengakui memang tidak mudah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyeret para pelakunya ke ruang sidang, walaupun negara dirugikan ratusan triliunan rupiah. "Tapi, yang tidak mudah itu bukan berarti tidak mungkin. KPK harus yakin bahwa sebagian besar rakyat Indonesia akan berada di barisan terdepan untuk menjadi perisai bagi KPK dalam membongkar mafia minyak dan gas di Indonesia. Kami juga berharap Muhammad Reza Chalid ditangkap dan Petral dibubarkan," ujar Rusdiansyah.
Sampai berita ini diturunkan, kami belum bisa menghubungi pejabat Petral dan Reza Chalid untuk melakukan konfirmasi. Tapi, kalau apa yang diungkapkan Rusdiansyah itu benar, sungguh biadab perbuatan mereka, karena sedang mendorong bangsa Indonesia ke jurang kehancuran yang dalam.
IMES: KPK Harus Tangkap Trio "Lintah" Migas
Pengusutan kasus OTT Prof Rudi Rubiandini terus berlangsung di KPK. Belakangan nama Sutan Bhatoegana dalam BAP yang beredar di tangan pers disebutkan oleh Tersangka Rudi Rubiandini.
Sayup-sayup terdengar adanya dugaan soal keterkaitan terhadap kasus suap Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini bukan hanya Sutan namun ada dugaan hingga tudingan keterlibatan Menteri ESDM Jero Wacik, dan Sekjen ESDM Waryono Karno
Ada dugaan Jero Wacik dituding otak penahanan Rudi. Tudingan miring ini karena ada anggapan yang berkembang di publik, bahwa Rudi sulit diajak "kerja sama".
"Enggak ada pengaruh, itu permasalahan personal dan kami percaya Pak Jero bersih," kata Sekretaris Komite Konvensi PD, Suaidi Marassabessy saat dihubungi wartawan, Kamis (15/8).
Suaidi tak mempercayai tudingan miring yang diapungkan salah satu Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah.
"Apalagi saya tidak percaya. kalau konvensi itu harus berasal sumber yang halal bukan haram. kita percaya integritas teman" tegas Suaidi.
Di tepi lain, pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah menduga kasus dugaan suap yang menjerat Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini berkaitan dengan pendanaan konvensi calon presiden (capres) Partai Demokrat.
Untuk itu, ia meminta KPK untuk mengusut keterlibatan pihak lain guna menelusuri kasus tersebut. Bahkan, Iberamsjah meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik turut bertanggung jawab. Apalagi, Jero merupakan Ketua Pengawas SKK Migas.
"Cara membuktikannya memang susah. Tapi kemungkinan ke arah persiapan dana konvensi bisa saja terjadi," ungkap Iberamsjah Rabu (14/8) waktu itu.
"Korupsi itu tidak pernah tidak ada konspirasi. KPK harus berani usut sampai ke akar, jangan hanya Rudi saja. Patut dipertanyakan Jero Wacik tak terlibat. Jero Wacik dia harus bertanggung jawab," pungkasnya.
Jadi menyimak amatan Iberamsjah, sangat mungkin ada konspirasi dari karut marut kasus Rudi. Mari kita lihat proses pengadilan akan sampai kemana?
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Mining And Energy Studies (IMES) M. Erwin Usman dalam pernyataan pers, Rabu (30/10) menjelaskan jika benar apa yang disebutkan dalam BAP yang beredar nama Sutan maka sudah saatnya KPK mengembangkan Penyidikan untuk usut trio lintah yaitu Sutan Bathoegana, Sekjend ESDM, dan Jero Wacik. Karena trio lintah inilah pintu gerbang pembuka untuk bongkar kartel dan sindikasi mafia migas.
"Kami menduga kuat, pertemuan-pertemuan SB dengan RR yang telah disebutkan dalam BAP itu, dipakai SB untuk menggunakan pengaruhnya sebagai Ketua Komisi VII DPR RI sekaligus Ketua DPP Partai Demokrat. Apalagi pertemuan di beberapa tempat tersebut, sudah diakui oleh SB seperti disampaikannya ke media hari ini," jelas Erwin.
Oelh karena IMES saat ini meminta KPK tidak takut dan tidak tebang pilih dalam menindaklanjuti temuan ataupun pengakuan dalam bentuk apapun yang mengarah para orang atau pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus OTT Rudi Rubiandini ini.
KPK harus memeriksa Sekjend ESDM dan Menteri ESDM Jero Wacik sebagai pihak yang dipastikan mengetahui aliran dana ke DPR RI karena sangat tidak mungkin kasus ini adalah "sekadar" tindakan avonturir Rudi semata mengingat ia adalah orang baru di lingkungan kementrian ESDM.
"Tapi patut diduga ini sangat terkait dengan kebijakan yang diambil pimpinan dari Kementrian ESDM yang membawahi SKK Migas," tutup Erwin. Nah siapa yang bermain dan siapa yang harus t=dijadikan tersangka selanjutnya?
baca juga :
PETRAL Mafia Minyak RI dan Rezim SBY ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2013/06/medianusantara-melawanlupa-petral-mafia.html
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar