SBY, HATTA dan GITA, Sulap Indonesia Jadi Pasar Untuk Negara Lain
by: Musyafaur Rahman, Peneliti Indonesia Economic Development Studies (IEDS)
PESTA bernilai ratusan miliar di Bali itu akhirnya usai sudah. Lalu lalang pesawat jet milik para kepala negara itu juga sudah hilang dari bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Namun tanpa disadari, pesta pora berlabel Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) yang dihadiri para "pemilik" negeri-negeri di kawasan Asia Pasific ini menjadi awal baru bagi penderitaan rakyat di republik ini.
Hal itu dimulai dari kebohongan besar yang ramai - ramai dilontarkan para pemrakarsa dan "panitia" acara itu yang tidak lain para petinggi di republik ini, yakni bahwa APEC telah membawa sukses besar bagi langkah Indonesia ke depan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Dengan dalih usulan-usulan Indonesia disetujui oleh seluruh peserta APEC, para pembesar republik dengan membusungkan dada kemudian berbicara kepada rakyat bahwa mereka telah berjuang untuk membawa ekonomi negeri ini menjadi lebih baik di masa mendatang.
Dalam konferensi yang dihadiri 21 pemimpin negara dan 1200 CEO dunia serta menghabiskan tak kurang dari 350 miliar rupiah tersebut , menghasilkan 7 butir kesepakatan beberapa diantaranya yaitu melakukan percepatan terhadap Bogor Goals dan konektivitas antarnegara serta mendesak anggota APEC utamanya Indonesia sebagai Ketua sekaligus tuan rumah konfrensi yang bertemakan "Resilient Asia Pacific-Engine of Global Growth" untuk membuka keran perdagangan bebas sebesar-besarnya.
Disinilah penderitaan itu tanpa disadari dimulai. Sepintas keran perdagangan bebas akan memberi peluang yang luas kepada rakyat di negeri ini untuk bersaing secara global di pasar Internasional. Artinya ketika kita akan memasukkan barang kita ke luar negeri, maka bea masuk yang rendah dan kemudahan ekspor akan dinikmati oleh para produsen. Sebaliknya hal yang sama juga akan diterapkan terhadap barang impor dari negeri tetangga yang masuk ke republik ini.
Namun fakta yang sesungguhnya dan selama ini terkesan ditutupi dari ruang-ruang publik pada akhirnya akan berbicara. Ketika kedelai, cabai, bawang putih, daging, beras hingga garam yang dinikmati oleh sebagian besar ibu rumah tangga di negeri ini ternyata harus dipenuhi oleh negeri tetangga hingga negeri nun jauh di Amerika Selatan sana maka sudah jelas terlihat neraca perdagangan itu akan timpang. Dimana produk luar membanjiri pasar dalam negeri, sementara produksi nasional tidak mampu bahkan tidak mencukupi untuk menembus pasar internasional.
Diluar itu, fakta lainnya yang ditutupi oleh para pemangku kekuasaan di negeri ini adalah produk-produk unggulan kita yang menghasilkan devisa dan berpotensi menyeimbangkan neraca ekspor-impor ternyata tidak mampu masuk dalam daftar barang yang menikmati keuntungan dari perdagangan bebas.
Dari 54 produk yang masuk daftar produk yang menikmati bea masuk 5 persen di APEC saja, Indonesia nyaris hanya akan menjadi target ekspor bagi negara-negara produsen. Sementara CPO dan Karet yang menjadi andalan agar bisa mendapatkan kemudahan dan masuk dalam daftar produk ramah lingkungan justru gagal diperjuangkan di forum APEC Bali.
Mungkin Presiden SBY, Menko Hatta Rajasa hingga Menteri Gita Wirjawan bisa berdalih bahwa mereka telah menanamkan awal yang baik dengan dibukanya kemungkinan pembahasan ulang di forum berikutnya. Namun kegagalan Indonesia dalam memperjuangkan Kretek masuk ke Pasar Amerika hingga mental inferior yang terlihat dengan di bebaskannya bea masuk hingga nol persen untuk sejumlah barang yang di impor dari luar negeri yang dipertontonkan oleh pemerintah bisa menjadi ukuran bahwa ke depan perubahan itu masih jauh dari harapan.
Liberalisasi yang menjadi program sejak KTT APEC di Bogor pada 1994 hingga yang baru saja di helat di Bali jelas sangat tidak berdasar dan tidak berkaca dari kemampuan dan kemandirian produksi yang dimiliki bangsa ini. Jargon dan slogan yang diulang-ulang oleh pemerintah hanya merupakan copy paste dari teriakan-teriakan negara - negara maju yang memiliki basis ekonomi kuat dan kemampuan produksi yang mumpuni.
Masterplan Percepatan Pembangungan yang digaungkan oleh SBY melalui MP3EI dan menjadi dasar logika berfikir disetujuinya perdagangan bebas dengan diiringi pembangunan basis ekonomi dan peningkatan produksi dalam negeri justru hilang dan terlupakan. Hanya menjadi slogan kosong tanpa realisasi. Faktanya setelah 20 tahun Bogor Goals dilahirkan, kondisi ekonomi Indonesia belum mampu menyiapkan diri menyongsong liberalisasi perdagangan yang kian mengglobal tersebut.
Negeri Agraris ini sekarang sudah menjadi pasar bagi produk agraria negara lain dan menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor. Republik yang memiliki tanaman sawit ratusan hingga jutaan hektar dan memiliki puluhan produk kretek ini juga gagal menjajakan barang dagangannya ke negara lain dengan berbagai alasan.
Jika negara lain bisa menolak produk kita, bisa menolak program-program kemandirian yang menguntungkan buat rakyat kita, mengapa liberalisasi perdagangan, yang jelas-jelas menjadikan Indonesia pasar buat negara lain, jelas-jelas tidak menghasilkan keuntungan buat rakyat tapi justru menciptakan ketergantungan dan mematikan produksi dalam negeri justru kita telan mentah-mentah tanpa perlawanan.
Jangan-jangan ada keuntungan yang dinikmati oleh sekelompok atau segelintir orang saja yang saat ini jelas bisa dibilang menjadi juru kampanye yang masif untuk negara-negara besar. Menjadi para komparador yang menjual rakyat negeri ini untuk kepentingan asing. Sadarkah kita?
PESTA bernilai ratusan miliar di Bali itu akhirnya usai sudah. Lalu lalang pesawat jet milik para kepala negara itu juga sudah hilang dari bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Namun tanpa disadari, pesta pora berlabel Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) yang dihadiri para "pemilik" negeri-negeri di kawasan Asia Pasific ini menjadi awal baru bagi penderitaan rakyat di republik ini.
Hal itu dimulai dari kebohongan besar yang ramai - ramai dilontarkan para pemrakarsa dan "panitia" acara itu yang tidak lain para petinggi di republik ini, yakni bahwa APEC telah membawa sukses besar bagi langkah Indonesia ke depan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Dengan dalih usulan-usulan Indonesia disetujui oleh seluruh peserta APEC, para pembesar republik dengan membusungkan dada kemudian berbicara kepada rakyat bahwa mereka telah berjuang untuk membawa ekonomi negeri ini menjadi lebih baik di masa mendatang.
Dalam konferensi yang dihadiri 21 pemimpin negara dan 1200 CEO dunia serta menghabiskan tak kurang dari 350 miliar rupiah tersebut , menghasilkan 7 butir kesepakatan beberapa diantaranya yaitu melakukan percepatan terhadap Bogor Goals dan konektivitas antarnegara serta mendesak anggota APEC utamanya Indonesia sebagai Ketua sekaligus tuan rumah konfrensi yang bertemakan "Resilient Asia Pacific-Engine of Global Growth" untuk membuka keran perdagangan bebas sebesar-besarnya.
Disinilah penderitaan itu tanpa disadari dimulai. Sepintas keran perdagangan bebas akan memberi peluang yang luas kepada rakyat di negeri ini untuk bersaing secara global di pasar Internasional. Artinya ketika kita akan memasukkan barang kita ke luar negeri, maka bea masuk yang rendah dan kemudahan ekspor akan dinikmati oleh para produsen. Sebaliknya hal yang sama juga akan diterapkan terhadap barang impor dari negeri tetangga yang masuk ke republik ini.
Namun fakta yang sesungguhnya dan selama ini terkesan ditutupi dari ruang-ruang publik pada akhirnya akan berbicara. Ketika kedelai, cabai, bawang putih, daging, beras hingga garam yang dinikmati oleh sebagian besar ibu rumah tangga di negeri ini ternyata harus dipenuhi oleh negeri tetangga hingga negeri nun jauh di Amerika Selatan sana maka sudah jelas terlihat neraca perdagangan itu akan timpang. Dimana produk luar membanjiri pasar dalam negeri, sementara produksi nasional tidak mampu bahkan tidak mencukupi untuk menembus pasar internasional.
Diluar itu, fakta lainnya yang ditutupi oleh para pemangku kekuasaan di negeri ini adalah produk-produk unggulan kita yang menghasilkan devisa dan berpotensi menyeimbangkan neraca ekspor-impor ternyata tidak mampu masuk dalam daftar barang yang menikmati keuntungan dari perdagangan bebas.
Dari 54 produk yang masuk daftar produk yang menikmati bea masuk 5 persen di APEC saja, Indonesia nyaris hanya akan menjadi target ekspor bagi negara-negara produsen. Sementara CPO dan Karet yang menjadi andalan agar bisa mendapatkan kemudahan dan masuk dalam daftar produk ramah lingkungan justru gagal diperjuangkan di forum APEC Bali.
Mungkin Presiden SBY, Menko Hatta Rajasa hingga Menteri Gita Wirjawan bisa berdalih bahwa mereka telah menanamkan awal yang baik dengan dibukanya kemungkinan pembahasan ulang di forum berikutnya. Namun kegagalan Indonesia dalam memperjuangkan Kretek masuk ke Pasar Amerika hingga mental inferior yang terlihat dengan di bebaskannya bea masuk hingga nol persen untuk sejumlah barang yang di impor dari luar negeri yang dipertontonkan oleh pemerintah bisa menjadi ukuran bahwa ke depan perubahan itu masih jauh dari harapan.
Liberalisasi yang menjadi program sejak KTT APEC di Bogor pada 1994 hingga yang baru saja di helat di Bali jelas sangat tidak berdasar dan tidak berkaca dari kemampuan dan kemandirian produksi yang dimiliki bangsa ini. Jargon dan slogan yang diulang-ulang oleh pemerintah hanya merupakan copy paste dari teriakan-teriakan negara - negara maju yang memiliki basis ekonomi kuat dan kemampuan produksi yang mumpuni.
Masterplan Percepatan Pembangungan yang digaungkan oleh SBY melalui MP3EI dan menjadi dasar logika berfikir disetujuinya perdagangan bebas dengan diiringi pembangunan basis ekonomi dan peningkatan produksi dalam negeri justru hilang dan terlupakan. Hanya menjadi slogan kosong tanpa realisasi. Faktanya setelah 20 tahun Bogor Goals dilahirkan, kondisi ekonomi Indonesia belum mampu menyiapkan diri menyongsong liberalisasi perdagangan yang kian mengglobal tersebut.
Negeri Agraris ini sekarang sudah menjadi pasar bagi produk agraria negara lain dan menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor. Republik yang memiliki tanaman sawit ratusan hingga jutaan hektar dan memiliki puluhan produk kretek ini juga gagal menjajakan barang dagangannya ke negara lain dengan berbagai alasan.
Jika negara lain bisa menolak produk kita, bisa menolak program-program kemandirian yang menguntungkan buat rakyat kita, mengapa liberalisasi perdagangan, yang jelas-jelas menjadikan Indonesia pasar buat negara lain, jelas-jelas tidak menghasilkan keuntungan buat rakyat tapi justru menciptakan ketergantungan dan mematikan produksi dalam negeri justru kita telan mentah-mentah tanpa perlawanan.
Jangan-jangan ada keuntungan yang dinikmati oleh sekelompok atau segelintir orang saja yang saat ini jelas bisa dibilang menjadi juru kampanye yang masif untuk negara-negara besar. Menjadi para komparador yang menjual rakyat negeri ini untuk kepentingan asing. Sadarkah kita?
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar