TANGGAPAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) No.1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh : Arif Wibowo, Anggota DPR RI
A. Pendahuluan
17 Oktober 2013, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam konsideran huruf b, disebutkan bahwa dasar penerbitan Perpu adalah "...untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang Undang Dasar akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim Konstitusi."
Substansi Perppu tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut :
Pertama, penambahan struktur Panel Ahli sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.
Kedua, perubahan syarat calon hakim MK berupa :
a. berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (sebelumnya doktor dan magister);
b. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun (sebelumnya dan atau pernah menjadi pejabat negara); dan
c. tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. (ketentuan baru)
d. surat pernyataan tidak menjadi anggota partai politik
Ketiga, penambahan tatacara/mekanisme seleksi Hakim MK. jika sebelumnya diatur dalam Pasal 18 hanya melalui mekanisme sederhana dimana Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden untuk menetapkan Hakim MK.
Dalam Perppu No. 1 Tahun 2013, ditambahkan mekanisme baru bahwa :
a. Hakim MK sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.
b. Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan
c. Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.
d. Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan kurang dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan kembali calon hakim konstitusi lainnya paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang masih dibutuhkan.
e. Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sama dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden dapat langsung mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan tambahan paling banyak 3 (tiga) calon hakim konstitusi lainnya untuk diuji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli.
f. Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.
Keempat, Pembentukkan panel Ahli dan syarat menjadi panel ahli. Panel Ahli dibentuk oleh komisi Yudisial dan Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Komposisi Panel Ahli berjumlah 7 (tujuh) orang. Terdiri atas
a. 1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;
b. 1 (satu) orang diusulkan oleh DPR;
c. 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan
d. 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
Syarat untuk menjadi Panel Ahli adalah : memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela; memiliki kredibilitas dan integritas; menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; berpendidikan paling rendah magister; berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk. Anggota Panel Ahli dilarang mencalonkan diri sebagai calon hakim konstitusi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Panel Ahli diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.
Kelima, terkait kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengatur tata cara uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Sedangkan terkait Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang (MA, Presiden dan DPR).
Keenam , Pembentukkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Sebenarnya pengaturan Majelis Kehormatan Hakim konstitusi sudah di atur dalam UU No. 8 Tahun 2011 Perubahan Pertama UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi dengan Bab judul yang sama yaitu Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Serta Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, perubahan hanya pada kalimat "Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi".
Perubahannya terletak pada (1). Pembentukkan kode etik dan etika perilaku hakim MK disusun bersama-sama antara Hakim MK dengan Komisi Yudisial dan melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten (dulu dibentuk oleh MK sendiri). (2). Majelis Kehormatan dulu bersifat ad hoc, tapi dalam Perppu bersifat tetap. Pembentukan nya melibatkan KY : "Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap". (3). Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim konstitusi berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi; 1 (satu) orang praktisi hukum; 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. (dalam UU No. 8 Tahun 2011 keanggtaan Majelis Kehormatan MK terdiri dari 1 (satu) orang hakim konstitusi; 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; 1 (satu) orang dari unsur DPR; 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan 1 (satu) orang hakim agung). (4). Putusan Majelis Kehormatan Hakim konstitusi bersifat final dan mengikat.
Ketujuh, bagian Peralihan dan Penutup mengatur 4 (empat) hal yaitu :
1. Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
2. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan.
3. Selama peraturan pelaksanaan belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.
4. Pernyataan pemberlakuan Perppu tersebut sejak diundangkan.
B. Kajian Terhadap Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2013
1. Aspek kewenangan dan "kegentingan yang memaksa" atas penerbitan Perppu.
Secara konstitusional Presiden memang memiliki kewenangan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Syarat pembentukkan Perppu secara konstitusional adalah adanya kondisi "hal ihwal kegentingan yang memaksa" atau dalam dengan kata lain dalam keadaan "darurat negara" sehingga keadaan memaksa tersebut hanya bisa diselesaikan dengan kebijakan Presiden sebagai kepala negara dengan menerbitkan Perppu dalam waktu yang singkat demi meredam situasi yang ada, karena jika mengikuti mekanisme pembentukkan perundang-undangan secara normal akan terjadi kekosongan hukum hingga berakibat terancamnya keselamatan negara.
Kondisi darurat di atas "kegentingan yang memaksa" memang sepenuhnya diserahkan pada penilaian subyektif Presiden sebagai Kepala Negara. Namun demikian pemberlakuan Perppu sungguh terbatas pada suatu kondisi obyektif konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yaitu "harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut." Mekanisme ini yang kemudian dikenal sebagai mekanisme koreksi "politik review".
Beberapa pendapat ahli hukum terkait syarat penerbitan Perppu dapat menjadi dasar pertimbangan :
Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perppu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan (i) mendesak dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya. Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk). Tentang muatan dan cakupan Perppu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner nootstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perppu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang.
Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya untuk mengeluarkan perppu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang mendesak.
Yang menarik adalah terkait penilaian subyektif Presiden dalam memaknai "hal ihwal kegentingan yang memaksa" sebagaimana disebutkan dalam konsideran huruf b yaitu "...untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang Undang Dasar akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim Konstitusi." .
Penilaian Presiden secara subyektif seakan menegaskan bahwa "Dugaan Kasus Suap Akil Mochtar" menyebabkan kondisi Indonesia sebagai Negara Demokrasi dan Negara Hukum menjadi genting dan karenanya Presiden perlu menerbitkan Perppu. Artinya Presiden telah meletakkan kasus tersebut sebagai penyebab negara dalam keadaan darurat/genting.
Dimanakah kegentingannya ? Mengingat :
1). segala upaya hukum (dalam konteks negara hukum) tetap berjalan secara normal. Penanganan Kasus Akil oleh KPK terus berlanjut. Akil Mochtar sendiri sudah diberhentikan sementara sejak ditetapkan KPK sebagai tersangka (sejak 5 Oktober 2013).
2). Roda pemerintahan, secara khusus kelembagaan MK tetap berjalan secara normal sampai sekarang (sesuai mekanisme UU);
3). Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membentuk Majelis Kehormatan untuk memeriksa pelanggaran Kode Etik dalam kasus Akil Mochtar, yang juga tengah berjalan sesuai mekanisme yang berlaku;
Pendek kata, kondisi MK pasca kasus Akil Mochtar tetap berjalan normal.
Kesimpulan :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi secara yuridis sudah mulai berlaku sejak diundangkan (17 Oktober 2013). Penerbitan Perppu tentu merupakan kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.
Akan tetapi menyangkut syarat konstitutif perihal "hal ihwal kegentingan yang memaksa" kiranya berpotensi digugat dan bahkan dapat memicu penolakan DPR pada masa persidangan berikutnya akibat tidak terpenuhinya syarat nyata atas keadaan "kegentingan yang memaksa" sebagaimana disyaratkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, sebagaimana pendapat Bagir Manan bahwa : "Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang."
2. Aspek Normatif Muatan Norma dan pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2013
Secara substansiil, materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan. Namun demikian ada yang aneh dalam Perppu tersebut, karena secara yuridis terbitnya perppu berakibat pada pembatalan masa jabatan semua hakim MK yang baru dilantik Tahun 2013 dan atau Hakim MK yang masa jabatannya masih berlaku.
Dalam Ketentuan Penutup Pasal 87B Perpu No. 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa "perintah pembentukkan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan dan selama peraturan pelaksanaan belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli (sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden) dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial." Artinya sejak Perppu ini diundangkan, Komisi Yudisial demi hukum wajib menjalankan 2 (dua) hal sekaligus : Pembentukan Panel Ahli dan pembentukkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Selanjutnya, Panel ahli memiliki tugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dan bekerja menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial. Artinya dalam waktu 3 (tiga) bulan kedepan harus ada seleksi Hakim MK yang baru dengan mekanisme berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2013.
Hal tersebut sungguh bertentangan dengan Pasal 22 UU MK yang mengatur masa jabatan Hakim MK selama 5 (lima) Tahun. Kalaupun Panel Ahli dimaksudkan diberlakukan secara khusus untuk mengganti Akil Mochtar pun tidak serta merta dapat dilaksanakan, mengingat penggantian Akil Mochtar hanya bisa dilaksanakan jika yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat karena "dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih" sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) huruf a UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Secara yuridis penggantian Akil Mochtar baru bisa dilakukan setelah ada putusan hukum tetap atas kasusnya.
Secara materil, Perppu No. 1 Tahun 2013 sejak terbit telah mengandung konflik norma dan berpotensi menciptakan konflik hukum baru di tubuh MK.
Jika kemudian dipaksakan pelaksanaan seleksi ulang hakim MK ditengah jalan berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2013, maka benar dan nyatalah anggapan banyak kalangan bahwa terbitnya Perppu adalah merupakan alat "intervensi Presiden" terhadap kemandirian Hakim MK berikut adanya kepentingan politik tertentu menghadapi pemilu 2014 yang sebentar lagi digelar. Terutama terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi terhadap penanganan sengketa pemilu baik Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan wakil Presiden.
Berikut Masa Jabatan Hakim MK sebagai gambaran, kecuali Akil Mochtar yang sudah diberhentikan sementara karena menjadi tersangka oleh KPK.
No. Nama Hakim MK Masa Jabatan
1 Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Tahun 2013 s/d 2016
2 Dr. Harjono, S.H., MCL. Pada Tanggal 24 Maret 2009 disumpah menggantikan Jimly Asshiddiqie yang mengundurkan diri pada tanggal 6 Oktober 2008 (habis masa jabatan 2014)
3 Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H Tahun 2008 s/d Tahun 2013
4 Dr. Muhammad Alim, S.H., M. Hum. Pada tanggal 26 Juni 2008 disumpah menggantikan Soedarsono yang Pensiun (habis masa jabatan tahun 2013)
5 Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum. Tahun 2008 s/d Tahun 2013 Menggantikan Maruarar Siahaan yang Pensiun
6 Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. Pada tanggal 6 April 2011 disumpah menggantikan Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri pada tanggal 11 Februari 2011 (habis masa jabatan 2016)
7 Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. Pada tanggal 1 April 2013 disumpah menggantikan Moh. Mahfud MD, habis masa Jabatan 2018
8 Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H. Pada tanggal 13 Agustus 2013 disumpah menggantikan Achmad Sodiki, habis masa Jabatan 2018
Berdasarkan Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011 dan perkara No. 49/PUU-IX/2011, MK menyatakan ketentuan Pasal 26 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa hakim konstitusi pengganti, hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa pembuat UU hendak menerapkan ketentuan PAW (pergantian antar waktu) seperti DPR. Padahal dalam PAW, tidak memerlukan suatu seleksi baru, karena anggota DPR yang menggantikan, dipilih bersamaan melalui pemilihan umum. Sementara itu, hakim konstitusi harus melalui tahapan seleksi dan memenuhi persyaratan yang sama dengan hakim konstitusi yang digantikannya. Sehingga tidak adil bilamana yang bersangkutan hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim yang digantikannya. Selain itu dalam menjalankan fungsinya, MK juga membutuhkan konsistensi dan kesinambungan, sehingga apabila mengikuti periodesasi politik, akan ada kekosongan hakim konstitusi dalam waktu yang bersamaan (lih. Hal 70 putusan).
Pada Tahun 2013 bakal terjadi penggantian Hakim MK sebanyak 3 (tiga) orang yaitu : Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H, Dr. Muhammad Alim, S.H., M. Hum, Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum.
Terlepas dari semangat pembenahan institusi MK, substansi materi terkait pemberian kewenangan yang begitu besar terhadap Komisi Yudisial (KY) kiranya bakal memicu polemik hukum diantaranya :
1). Pembentukkan Panel Ahli sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden".
2). Kewenangan mengusulkan 4 (empat) Anggota Panel Ahli
3). Kewenangan mengatur Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Panel Ahli.
4). Kewenangan mengatur Ketentuan mengenai tata cara uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli
5). Kewenangan menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman perilaku Hakim MK bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
6). Kewenangan pembentukkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Penambahan Kewenangan KY yang sangat besar di atas bakal menimbulkan perdebatan hukum dikemudian hari mengingat 4 (empat) hal :
Pertama, Putusan MK Nomor : 005/puu-iv/2006 segala kewenangan KY dalam mengawasi dan terkait Hakim MK sudah dibatalkan oleh MK.
Kedua, secara konstitusional UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada KY dalam hal pengawasan maupun terkait proses seleksi Hakim MK.
Ketiga, komisi Yudisial adalah lembaga negara yang menjadi salah satu subyek hukum berperkara di MK terkait sengketa kewenangan lembaga negara.
Keempat, secara kelembagaan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Secara tidak langsung pemberian kewenangan yang sangat besar kepada Komisi Yudisial berpotensi menimbulkan "abuse of power" oleh Presiden karena semua kewenangan terkait pembentukan dan bekerjanya MK secara tidak langsung berada dibawah "kendali Presiden" (mengingat proses seleksi, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial berada dalam kewenangan Presiden).
Niat Presiden membenahi Mahkamah konstitusi bukan tidak mungkin bisa jadi malah sebaliknya "mendagradasi" marwah institusi MK sebagai satu-satunya lembaga penjaga Konstitusi. Secara tidak langsung Presiden berpeluang mengintervensi kemandirian MK.
Akhirnya lebih bijak dan tepat kiranya, jika Presiden mengajukan Revisi terbatas UU MK daripada menerbitkan perppu yang "greget kegentingannya" terkesan dipaksakan dan substansinya mengundang perdebatan.
Oleh : Arif Wibowo, Anggota DPR RI
A. Pendahuluan
17 Oktober 2013, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam konsideran huruf b, disebutkan bahwa dasar penerbitan Perpu adalah "...untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang Undang Dasar akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim Konstitusi."
Substansi Perppu tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut :
Pertama, penambahan struktur Panel Ahli sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.
Kedua, perubahan syarat calon hakim MK berupa :
a. berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (sebelumnya doktor dan magister);
b. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun (sebelumnya dan atau pernah menjadi pejabat negara); dan
c. tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. (ketentuan baru)
d. surat pernyataan tidak menjadi anggota partai politik
Ketiga, penambahan tatacara/mekanisme seleksi Hakim MK. jika sebelumnya diatur dalam Pasal 18 hanya melalui mekanisme sederhana dimana Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden untuk menetapkan Hakim MK.
Dalam Perppu No. 1 Tahun 2013, ditambahkan mekanisme baru bahwa :
a. Hakim MK sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.
b. Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan
c. Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.
d. Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan kurang dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan kembali calon hakim konstitusi lainnya paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang masih dibutuhkan.
e. Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sama dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden dapat langsung mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan tambahan paling banyak 3 (tiga) calon hakim konstitusi lainnya untuk diuji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli.
f. Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.
Keempat, Pembentukkan panel Ahli dan syarat menjadi panel ahli. Panel Ahli dibentuk oleh komisi Yudisial dan Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Komposisi Panel Ahli berjumlah 7 (tujuh) orang. Terdiri atas
a. 1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;
b. 1 (satu) orang diusulkan oleh DPR;
c. 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan
d. 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
Syarat untuk menjadi Panel Ahli adalah : memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela; memiliki kredibilitas dan integritas; menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; berpendidikan paling rendah magister; berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk. Anggota Panel Ahli dilarang mencalonkan diri sebagai calon hakim konstitusi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Panel Ahli diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.
Kelima, terkait kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengatur tata cara uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Sedangkan terkait Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang (MA, Presiden dan DPR).
Keenam , Pembentukkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Sebenarnya pengaturan Majelis Kehormatan Hakim konstitusi sudah di atur dalam UU No. 8 Tahun 2011 Perubahan Pertama UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi dengan Bab judul yang sama yaitu Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Serta Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, perubahan hanya pada kalimat "Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi".
Perubahannya terletak pada (1). Pembentukkan kode etik dan etika perilaku hakim MK disusun bersama-sama antara Hakim MK dengan Komisi Yudisial dan melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten (dulu dibentuk oleh MK sendiri). (2). Majelis Kehormatan dulu bersifat ad hoc, tapi dalam Perppu bersifat tetap. Pembentukan nya melibatkan KY : "Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap". (3). Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim konstitusi berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi; 1 (satu) orang praktisi hukum; 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. (dalam UU No. 8 Tahun 2011 keanggtaan Majelis Kehormatan MK terdiri dari 1 (satu) orang hakim konstitusi; 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; 1 (satu) orang dari unsur DPR; 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan 1 (satu) orang hakim agung). (4). Putusan Majelis Kehormatan Hakim konstitusi bersifat final dan mengikat.
Ketujuh, bagian Peralihan dan Penutup mengatur 4 (empat) hal yaitu :
1. Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
2. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan.
3. Selama peraturan pelaksanaan belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.
4. Pernyataan pemberlakuan Perppu tersebut sejak diundangkan.
B. Kajian Terhadap Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2013
1. Aspek kewenangan dan "kegentingan yang memaksa" atas penerbitan Perppu.
Secara konstitusional Presiden memang memiliki kewenangan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Syarat pembentukkan Perppu secara konstitusional adalah adanya kondisi "hal ihwal kegentingan yang memaksa" atau dalam dengan kata lain dalam keadaan "darurat negara" sehingga keadaan memaksa tersebut hanya bisa diselesaikan dengan kebijakan Presiden sebagai kepala negara dengan menerbitkan Perppu dalam waktu yang singkat demi meredam situasi yang ada, karena jika mengikuti mekanisme pembentukkan perundang-undangan secara normal akan terjadi kekosongan hukum hingga berakibat terancamnya keselamatan negara.
Kondisi darurat di atas "kegentingan yang memaksa" memang sepenuhnya diserahkan pada penilaian subyektif Presiden sebagai Kepala Negara. Namun demikian pemberlakuan Perppu sungguh terbatas pada suatu kondisi obyektif konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yaitu "harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut." Mekanisme ini yang kemudian dikenal sebagai mekanisme koreksi "politik review".
Beberapa pendapat ahli hukum terkait syarat penerbitan Perppu dapat menjadi dasar pertimbangan :
Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perppu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan (i) mendesak dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya. Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk). Tentang muatan dan cakupan Perppu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner nootstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perppu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang.
Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya untuk mengeluarkan perppu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang mendesak.
Yang menarik adalah terkait penilaian subyektif Presiden dalam memaknai "hal ihwal kegentingan yang memaksa" sebagaimana disebutkan dalam konsideran huruf b yaitu "...untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang Undang Dasar akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim Konstitusi." .
Penilaian Presiden secara subyektif seakan menegaskan bahwa "Dugaan Kasus Suap Akil Mochtar" menyebabkan kondisi Indonesia sebagai Negara Demokrasi dan Negara Hukum menjadi genting dan karenanya Presiden perlu menerbitkan Perppu. Artinya Presiden telah meletakkan kasus tersebut sebagai penyebab negara dalam keadaan darurat/genting.
Dimanakah kegentingannya ? Mengingat :
1). segala upaya hukum (dalam konteks negara hukum) tetap berjalan secara normal. Penanganan Kasus Akil oleh KPK terus berlanjut. Akil Mochtar sendiri sudah diberhentikan sementara sejak ditetapkan KPK sebagai tersangka (sejak 5 Oktober 2013).
2). Roda pemerintahan, secara khusus kelembagaan MK tetap berjalan secara normal sampai sekarang (sesuai mekanisme UU);
3). Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membentuk Majelis Kehormatan untuk memeriksa pelanggaran Kode Etik dalam kasus Akil Mochtar, yang juga tengah berjalan sesuai mekanisme yang berlaku;
Pendek kata, kondisi MK pasca kasus Akil Mochtar tetap berjalan normal.
Kesimpulan :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi secara yuridis sudah mulai berlaku sejak diundangkan (17 Oktober 2013). Penerbitan Perppu tentu merupakan kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.
Akan tetapi menyangkut syarat konstitutif perihal "hal ihwal kegentingan yang memaksa" kiranya berpotensi digugat dan bahkan dapat memicu penolakan DPR pada masa persidangan berikutnya akibat tidak terpenuhinya syarat nyata atas keadaan "kegentingan yang memaksa" sebagaimana disyaratkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, sebagaimana pendapat Bagir Manan bahwa : "Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang."
2. Aspek Normatif Muatan Norma dan pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2013
Secara substansiil, materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan. Namun demikian ada yang aneh dalam Perppu tersebut, karena secara yuridis terbitnya perppu berakibat pada pembatalan masa jabatan semua hakim MK yang baru dilantik Tahun 2013 dan atau Hakim MK yang masa jabatannya masih berlaku.
Dalam Ketentuan Penutup Pasal 87B Perpu No. 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa "perintah pembentukkan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan dan selama peraturan pelaksanaan belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli (sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden) dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial." Artinya sejak Perppu ini diundangkan, Komisi Yudisial demi hukum wajib menjalankan 2 (dua) hal sekaligus : Pembentukan Panel Ahli dan pembentukkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Selanjutnya, Panel ahli memiliki tugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dan bekerja menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial. Artinya dalam waktu 3 (tiga) bulan kedepan harus ada seleksi Hakim MK yang baru dengan mekanisme berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2013.
Hal tersebut sungguh bertentangan dengan Pasal 22 UU MK yang mengatur masa jabatan Hakim MK selama 5 (lima) Tahun. Kalaupun Panel Ahli dimaksudkan diberlakukan secara khusus untuk mengganti Akil Mochtar pun tidak serta merta dapat dilaksanakan, mengingat penggantian Akil Mochtar hanya bisa dilaksanakan jika yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat karena "dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih" sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) huruf a UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Secara yuridis penggantian Akil Mochtar baru bisa dilakukan setelah ada putusan hukum tetap atas kasusnya.
Secara materil, Perppu No. 1 Tahun 2013 sejak terbit telah mengandung konflik norma dan berpotensi menciptakan konflik hukum baru di tubuh MK.
Jika kemudian dipaksakan pelaksanaan seleksi ulang hakim MK ditengah jalan berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2013, maka benar dan nyatalah anggapan banyak kalangan bahwa terbitnya Perppu adalah merupakan alat "intervensi Presiden" terhadap kemandirian Hakim MK berikut adanya kepentingan politik tertentu menghadapi pemilu 2014 yang sebentar lagi digelar. Terutama terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi terhadap penanganan sengketa pemilu baik Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan wakil Presiden.
Berikut Masa Jabatan Hakim MK sebagai gambaran, kecuali Akil Mochtar yang sudah diberhentikan sementara karena menjadi tersangka oleh KPK.
No. Nama Hakim MK Masa Jabatan
1 Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Tahun 2013 s/d 2016
2 Dr. Harjono, S.H., MCL. Pada Tanggal 24 Maret 2009 disumpah menggantikan Jimly Asshiddiqie yang mengundurkan diri pada tanggal 6 Oktober 2008 (habis masa jabatan 2014)
3 Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H Tahun 2008 s/d Tahun 2013
4 Dr. Muhammad Alim, S.H., M. Hum. Pada tanggal 26 Juni 2008 disumpah menggantikan Soedarsono yang Pensiun (habis masa jabatan tahun 2013)
5 Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum. Tahun 2008 s/d Tahun 2013 Menggantikan Maruarar Siahaan yang Pensiun
6 Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. Pada tanggal 6 April 2011 disumpah menggantikan Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri pada tanggal 11 Februari 2011 (habis masa jabatan 2016)
7 Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. Pada tanggal 1 April 2013 disumpah menggantikan Moh. Mahfud MD, habis masa Jabatan 2018
8 Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H. Pada tanggal 13 Agustus 2013 disumpah menggantikan Achmad Sodiki, habis masa Jabatan 2018
Berdasarkan Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011 dan perkara No. 49/PUU-IX/2011, MK menyatakan ketentuan Pasal 26 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa hakim konstitusi pengganti, hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa pembuat UU hendak menerapkan ketentuan PAW (pergantian antar waktu) seperti DPR. Padahal dalam PAW, tidak memerlukan suatu seleksi baru, karena anggota DPR yang menggantikan, dipilih bersamaan melalui pemilihan umum. Sementara itu, hakim konstitusi harus melalui tahapan seleksi dan memenuhi persyaratan yang sama dengan hakim konstitusi yang digantikannya. Sehingga tidak adil bilamana yang bersangkutan hanya meneruskan sisa masa jabatan hakim yang digantikannya. Selain itu dalam menjalankan fungsinya, MK juga membutuhkan konsistensi dan kesinambungan, sehingga apabila mengikuti periodesasi politik, akan ada kekosongan hakim konstitusi dalam waktu yang bersamaan (lih. Hal 70 putusan).
Pada Tahun 2013 bakal terjadi penggantian Hakim MK sebanyak 3 (tiga) orang yaitu : Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H, Dr. Muhammad Alim, S.H., M. Hum, Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum.
Terlepas dari semangat pembenahan institusi MK, substansi materi terkait pemberian kewenangan yang begitu besar terhadap Komisi Yudisial (KY) kiranya bakal memicu polemik hukum diantaranya :
1). Pembentukkan Panel Ahli sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden".
2). Kewenangan mengusulkan 4 (empat) Anggota Panel Ahli
3). Kewenangan mengatur Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Panel Ahli.
4). Kewenangan mengatur Ketentuan mengenai tata cara uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli
5). Kewenangan menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman perilaku Hakim MK bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
6). Kewenangan pembentukkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Penambahan Kewenangan KY yang sangat besar di atas bakal menimbulkan perdebatan hukum dikemudian hari mengingat 4 (empat) hal :
Pertama, Putusan MK Nomor : 005/puu-iv/2006 segala kewenangan KY dalam mengawasi dan terkait Hakim MK sudah dibatalkan oleh MK.
Kedua, secara konstitusional UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada KY dalam hal pengawasan maupun terkait proses seleksi Hakim MK.
Ketiga, komisi Yudisial adalah lembaga negara yang menjadi salah satu subyek hukum berperkara di MK terkait sengketa kewenangan lembaga negara.
Keempat, secara kelembagaan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Secara tidak langsung pemberian kewenangan yang sangat besar kepada Komisi Yudisial berpotensi menimbulkan "abuse of power" oleh Presiden karena semua kewenangan terkait pembentukan dan bekerjanya MK secara tidak langsung berada dibawah "kendali Presiden" (mengingat proses seleksi, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial berada dalam kewenangan Presiden).
Niat Presiden membenahi Mahkamah konstitusi bukan tidak mungkin bisa jadi malah sebaliknya "mendagradasi" marwah institusi MK sebagai satu-satunya lembaga penjaga Konstitusi. Secara tidak langsung Presiden berpeluang mengintervensi kemandirian MK.
Akhirnya lebih bijak dan tepat kiranya, jika Presiden mengajukan Revisi terbatas UU MK daripada menerbitkan perppu yang "greget kegentingannya" terkesan dipaksakan dan substansinya mengundang perdebatan.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar