Jebakan Perdagangan Karbon dan Potensi Ancaman Terhadap Komunitas
Kemunculan REDD+ diiringi euforia memperbaiki tata kelola hutan dengan menggeser paradigma eksploitatif ke paradigma kelestarian dan penghormatan hak masyarakat. Selama ini, hutan Indonesia bukan saja dikelola secara tidak berkelanjutan, tetapi juga diwarnai konflik vertikal dan horizontal yang membuat komunitas di dalam dan di sekitar kawasan hutan berhadapan langsung dengan perusahaan-perusahaan besar, pemerintah pusat-daerah, serta aparat kekerasan negara.
Sementara itu, REDD+ baik di Indonesia maupun di dunia, saat ini masih berada dalam fase ‘kesiapan’ (readiness), yaitu fase di mana kerangka peraturan, kelembagaan, metodologi, dan mekanisme pelaksanaan dibentuk. Dalam fase ini, Indonesia mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber, berupa hibah. Norwegia merupakan donor terbesar di Indonesia dengan komitmen US$1 miliar.
Lantas, bagaimanakah peluang untuk penguatan hak komunitas terhadap hutan, karena ada kecenderungan yang mengkhawatirkan, bahwa REDD+ didesain untuk melayani pasar, bukan komunitas, maupun iklim?
Dan bagaimana resiko ketika komunitas berhubungan langsung dengan pasar, ketika belum ada mekanisme perlindungan negara yang efektif untuk mengantisipasinya? Jadi, untuk melayani kepentingan siapakah sesungguhnya REDD+ dikembangkan?
Baca uraian lengkapnya di Epistema Climate Change Update Volume 02/2013 yang dapat diunduh di http://epistema.or.id/climate_change_update-2/
Luluk Uliyah
Knowledge and Media Manager
Epistema Institute
Jl. Jati Mulya IV No.23, Jakarta 12540
HP. 0815 9480246
www.epistema.or.id
fb: Epistema Inst | t: @yayasanepistema
“Belajar dan Berbagi untuk Keadilan Eko-Sosial”
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar