#MelawanLupa : Megakorupsi E-KTP
Siapa Andi yang disebut Nazaruddin?
Tersangka kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games, Muhammad Nazaruddin, menuding Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah menerima uang dari dirinya. Penerimaan uang tersebut berkaitan dengan proyek pengadaan baju Hansip dan KTP elektronik (e-KTP) yang diadakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Terkait uang yang mengalir itu kapan, yang mengasih pada proyek apa, urusannya apa, itu juga sudah sempat disupervisi sama KPK. Nilai kedua proyek itu sekitar Rp 7 triliun," ujar Nazaruddin kepada wartawan setelah ia diperiksa penyidik KPK.
Sebelumnya, saat diwawancara oleh Indra Piliang melalui Skype di masa pelariannya pada 19 Juli lalu, Nazaruddin juga pernah menyebutkan hal yang sama. "Pada 2010 lalu, Chandra Hamzah dua kali melakukan transaksi dengan saya. Jadi, saya tahu kelakuan Chandra Hamzah dan Ade Raharja. Proyek tersebut telah diperiksa awal. Namun, pemimpin proyek, yaitu Andi, telah datang kepada Chandra dengan memberikan sejumlah dana dan meminta KPK untuk mengamankan kedua proyek itu," kata Nazaruddin.
Setelah ditelusuri, nama Andi yang dimaksudkan oleh Nazaruddin adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong. Ia adalah pengusaha di balik tender proyek-proyek pemerintah. Selain e-KTP dan baju Hansip di Kemendagri, Andi juga memenangkan tender proyek pelayanan surat tanah secara mobile di BPPN serta beberapa proyek di Polri.
"Seperti Nazaruddin, Andi mampu merancang sebuah proyek pemerintah, mulai dari anggaran hingga mengatur siapa yang menjadi pemenangnya," kata seorang sumber yang kini telah masuk dalam program perlindungan saksi oleh KPK dalam kasus proyek e-KTP.
Dari proyek baju Hansip pada 2009 yang menghabiskan uang negara Rp 400 miliar, lanjutnya, Andi meraup keuntungan Rp 120 miliar. "Ketika itu, ia banyak membagi keuntungan kepada anggota DPR. Jadi, kalau ada anggota DPR perlu uang Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar, ia akan langsung memberikan. Makanya, hubungan dia dengan anggota dewan sangat baik. Kedekatan itulah yang berbuah kesuksesannya mengegolkan anggaran untuk e-KTP. DPR meminta setoran 7 persen dari nilai proyek itu. Tapi karena uangnya besar disepakati setoran itu akan dibayar kalau anggaran dari pemerintah sudah turun," kata sumber itu.
Menurut penelusuran awal, proyek baju hansip itu lengkapnya bernama Pengadaan Barang Kelengkapan Perorangan Linmas Pengamanan Pemilu 2009 pada Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri. Proyek itu terdiri dari 18 item paket dengan nilai Rp 560 miliar dari APBN Tahun 2009. Paket-paket itu adalah 5 paket pengadaan pakaian dinas lapangan Linmas, yang masing-masing nilainya Rp 37,5 miliar; 5 paket pengadaan sepatu dinas lapangan Linmas, dengan nilai masing-masing Rp 38,2 miliar; paket pengadaan topi lapangan Linmas, dengan nilai Rp 16,4 miliar; pengadaan ikat pinggang kecil Rp 27 miliar; pengadaan kaus kaki lapangan Rp 8,8 miliar; pengadaan T-shirt Rp Rp 33 miliar; pengadaan pentungan rotan Rp 15,3 miliar; pengadaan ban lengan Rp 8,8 miliar; pengadaan kopelriem Rp 40 miliar, dan; pengadaan atribut Linmas Rp 8,3 miliar.
Ketua Komite Etik KPK Abdullah Hehamahua mengungkapkan, kedua proyek itu belum masuk tahap penyelidikan di KPK. "E-KTP dalam pencegahan, KPK koordinasi dengan Depdagri (Kementrian Dalam Negeri). Baju Hansip yang saya terima suratnya di direktorat penyidikan belum ditemukan alat bukti, masih pengumpulan bahan keterangan, belum sampai ke penindakan," paparnya. Intinya, kedua kasus itu di Kemendagri itu masih berada di tingkat pengumpulan bahan bukti atau kasta terendah proses hukum di KPK.
Abdullah menyatakan, belum naiknya kasus itu ke tingkat yang lebih tinggi lantaran KPK belum memiliki bukti. "Baju hansip yang saya terima suratnya belum ditemukan alat bukti," kata Abdullah.
Modus si Andi
Serupa dengan Nazaruddin, Andi banyak memiliki perusahaan untuk diikutsertakan dalam tender proyek pemerintah. Menurut penelusuran awal , Andi menguasai PT Aditama, PT Lautan Mas, dan Murakabi.
Murakabi adalah pemegang proyek pelayanan sertifikat tanah keliling di BPPN. Perusahaan ini juga mengikuti tender e-KTP, namun kalah. "Konsorsium Murakabi memang sengaja dikalahkan untuk membunuh Kojen, sehingga memuluskan langkah L1 Solution. Kojen adalah perusahaan pembuat alat AFIS terbesar kedua di dunia," kata sumber itu. AFIS adalah singkatan dari Automated Fingerprint Identification System .
Peran Andi di Murakabi diwakili adiknya yang bernama Vidi.
Vidi menjabat sebagai salah satu direktur di perusahaan itu. Selain Vidi, ada juga nama Irvan yang menjadi direktur. Irvan adalah adik ipar dari bendahara Golkar Setya Novanto dari istrinya yang terbaru. Sementara itu, di jajaran komisaris ada istri Sutanto dan mantan Dirlantas Mabes Polri Brigjend Pol Yudi Susharyanto.
Menurut sumber itu, Murakabi adalah perusahaan yang dibentuk untuk menambah penghasilan purnawirawan dan perwira tinggi Pati Polri. Namun, hal ini perlu masih dikonfirmasi, termasuk meminta data di Kemenkumham untuk verifikasi informasi soal ini.
Andi menggunakan ruko Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 sebagai jantung operasionalnya. Seluruh data tender disimpan di tempat ini. Selain itu, Andi juga menggunakan ruko tiga lantai itu untuk mempersiapkan kemenangan sebuah tender. Pengelola tempat ini adalah kakak ipar Andi yang bernama Yanti.
Namun, setelah Nazaruddin bernyanyi, sebagian data-data di tempat itu langsung dimusnahkan. Sementara itu, sebagian lagi dibawa ke rumah Andi di Kota Wisata Cibubur. Keterangan ini didapat dari penjaga ruko bernama Benny saat ditelepon oleh sumber tersebut.
Peran Andi dalam Proyek E-KTP
Setelah ada kepastian DPR meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk proyek E-KTP, Andi lalu mengumpulkan sejumlah orang dalam pertemuan yang dilakukan di Hotel Sultan dan Crown pada Juni 2010 atau satu tahun sebelum tender dilakukan oleh Kemendagri.
Pengumpulan orang-orang itu bertujuan untuk merancang proses tender sehingga kemenangannya tidak jatuh ke pihak lain. Orang-orang yang berkumpul itu di antaranya para ahli IT dari BPPT (salah satunya adalah Fahmi, yang kemudian menjadi ketua tim teknis panitia tender, Plt. Dirjen Administrasi Kependudukan Irman (yang statusnya masih sebagai tersangka dalam proyek uji petik e-KTP pada 2009), Dirut PNRI Isnu Wijaya (pimpinan konsorsium pemenang tender saat ini), Johannes Marlin (Distributor AFIS L1 di Indonesia yang alatnya dipakai dalam proyek e-KTP saat ini), dan pengusaha Paulus Tanos.
"Paulus Tanos ini diajak karena ia pengusaha kaya yang punya kedekatan dengan Mendagri. Dia pengusaha yang bermain di PLN. Proyeknya itu salah satunya membangun pembangkit listrik tenaga bumi bersama Chevron. Ia juga punya kantor seluas 1.000 meter per segi di Pasific Place. Dia diajak supaya bisa ikut membiayai proyek e-KTP, selain lobi ke dalam Kemendagri," kata sumber itu.
Trio Andi Narogong, Paulus Tanos, dan Irman menjadi pemegang peran sentral dalam mempersiapkan proses lelang proyek e-KTP ini. Ruko di Fatmawati pun menjadi tempat membuat spesifikasi peralatan yang akan dibeli pemerintah sejak 1 Juli 2010 hingga Februari 2011, atau dua pekan sebelum pengumuman lelang diumumkan pada 21 Februari 2010.
"Semua rekanan yang akan ikut tender sudah diikutsertakan di dalam tim pembuat spesifikasi agar bisa cocok dengan yang diinginkan pemerintah di kemudian hari," katanya. Sumber itu juga menyebutkan tim pembuat spesifikasi itu dipimpin oleh Dedi Priyono, yang merupakan kakak kandung Andi Narogong.
Paulus Tanos, yang ketika itu tidak punya bendera, membeli PT Sandipala yang sedang dalam keadaan bangkrut seharga Rp 15 miliar dari Harry Sapto. "Saya yang saat itu mengurusi prosesnya. Sebagian besar pegawainya di-PHK dan diganti pegawai baru. Seluruh perizinan, termasuk dari BIN, bisa diperoleh secara cepat. Mungkin di sini ada bantuan dari Sutanto," katanya.
Pada Januari 2011, lanjutnya, Irman memerintahkan agar dibuat tiga konsorsium yang mengikuti tender, yaitu PNRI, Astra, dan Murakabi, dengan mempersiapkan PNRI, yang beranggotakan PNRI, LEN, Succofindo, Quadra, dan Sandi Pala sebagai pemenangnya.
"Succofindo memang sudah sejak awal ikut mempersiapkan tender ini. Sementara itu, Quadra merupakan balas jasa setelah Minduk tersandung audit BPK. Quadra lalu memberikan uang Rp 2 miliar untuk menggantikan uang-uang perjalanan dinas dan keperluan lain Minduk yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Selanjutnya proses tender pun berlangsung dengan hasil dan proses seperti yang sudah diberitakan selama ini.
Bimbingan Teknis Instruktur Proyek E-KTP Ricuh
Ada sebuah peristiwa yang luput dari perhatian seluruh media massa di Jakarta, yaitu kekisruhan yang terjadi pada saat Bimbingan Teknik Instruktur E-KTP pada 28 Juli 2011 di Asrama Haji Pondokgede, Jakarta Timur.
Kerusuhan ini terjadi antara peserta dari Sumatera Utara dengan panitia dari Succofindo. Kerusuhan diakibatkan dari kurang siapnya panitia. Itu terlihat antara lain dari amburadulnya jadwal.
Banyak sekali kejanggalan yang membuat peserta kesal dan marah. Apalagi, peserta yang disiapkan untuk menginput data itu tidak menerima bayaran sepeser pun. Aksi ini terekam melalui video yang diambil melalui kamera telepon seluler dan diunggah di Youtube.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Public Relation Succofindo, ia mengeluhkan belum turunnya dana awal pengerjaan proyek ini dari Kemendagri. "Kami lalu bekerja dengan modal dari mana?" keluhnya.
Mendagri Gamawan Fauzi pun mengakui pihaknya memang belum mengucurkan uang negara untuk proyek e-KTP ini. Menurut sumber itu, Kemendagri takut mengeluarkan uang karena, bila uang negara sudah mengalir, aparat hukum akan melakukan proses penyidikan. "Paulus Tanos yang diharapkan mau mengucurkan uangnya ternyata ingkar janji. Ia terlalu kemaruk untuk mendapat keuntungan yang banyak. Sementara itu, Andi tidak punya uang sebanyak itu untuk membiayai proyek ini. Kondisinya sekarang antara anggota konsorsium jadi bertengkar soal pendanaan," katanya.
Sumber itu juga menceritakan, LEN mengagunkan asetnya untuk mendapat pinjaman Rp 400 miliar dari bank umum. "Tapi, uang yang seharusnya dipakai untuk membeli alat AFIS malah dipakai untuk membeli hardware. Tujuannya agar publik melihat proses pembelian dan distribusi peralatan tetap berlangsung," ungkapnya.
Keterlibatan Brigjen Polisi Bekti Suhartono
Brigjen Polisi Bekti Suhartono (BS) adalah Kepala Pusat Inafis Badan Reserse Kriminal Polri, sejak 2011 hingga saat ini. Bekti dari Akpol angkatan 1984, rekan dekat satu angkatan dengan Irjen Polisi Djoko Susilo, koruptor level "kapal keruk" yang kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sebagai Kepala Pusat Inafis Polri, Bekti pun ditunjuk mewakili institusi Polri menjadi anggota Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional.
Pembentukan tim teknis itu disahkan oleh Mendagri melalui Surat Keputusan Mendagri Nomor: 471.130.5-335 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional. SK Mendagri tersebut diteken pada tanggal 5 Juli 2010.
Posisi/jabatan struktural BS tercantum sebagai Anggota Susunan Keanggotaan Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional. Dalam SK itu, dia berada pada nomor urut 15 keanggotaan tim teknis.
Sebagai anggota tim teknis, BS telah menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, antara lain tercermin dari tingkat kehadirannya yang cukup tinggi pada berbagai rapat tim ini. BS tampaknya selalu rajin menghadiri rapat-rapat tim dan cukup aktif menyampaikan pandangan, tanggapan, dan masukan-masukan berdasarkan keahlian dan pengalamannya.
Aktivitas BS itu antara lain terekam dengan baik dalam notulen rapat-rapat pembahasan Grand Design Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), yang dilakukan oleh Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional.
Pada notulen rapat Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional yang membahas Grand Design SAK hari Rabu, 4 Agustus 2010, bertempat di Ruang Sidang Utama Gedung Kementerian Dalam Negeri disebutkan, tim teknis menyepakati Grand Design SAK sebanyak 397 halaman, yang terdiri dari 7 bab dan 4 lampiran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Grand Design SAK, untuk disahkan oleh Mendagri dalam bentuk Kepmendagri.
Notulen rapat dengan hasil kesepakatan itu telah diteken pula secara resmi dan sah pada hari dan tanggal tersebut di atas oleh BS dalam posisi/jabatan strukturalnya tersebut di atas. Nama, jabatan, dan tanda tangan BS dengan jelas tercantum dalam laporan itu. Hal itu mengindikasikan, BS pada dasarnya dalam posisi dan jabatan strukturalnya selaku wakil resmi dari institusi Polri telah menyetujui dan sepakat dengan Grand Design SAK, termasuk pula penerapan e-KTP yang mengharuskan penerbitan nomor induk kependudukan secara nasional.
Namun, dalam perkembangannya kemudian, ternyata BS dalam posisi/jabatan strukturalnya di institusi Polri jutru mengembangkan sendiri program Inafis. Bahkan, sekitar pertengahan bulan Desember 2011 (sekitar 14 Desember 2011), BS meneken kontrak pengadaan Inafis senilai Rp 27,6 miliar dengan PT Turangga. PT Turangga ini diduga kuat merupakan mantan anggota konsorsium yang kalah dalam perebutan tender pengadaan e-KTP.
Alasan utama pihak BS ngotot mengembangkan Inafis, yang realisasinya sudah lama tidak ada kelanjutannya itu, adalah untuk menutup kekurangan dari sistem e-KTP. Kekurangan tersebut antara lain penerapan input data finger print untuk e-KTP, dengan SAK-nya yang hanya mampu menyerap 50 persen dari permukaan sidik jari penduduk. Padahal, ketentuan di Polri, untuk identifikasi minimal 95 persen dari permukaan sidik jari seorang penduduk harus terekam.
Bila persoalannya adalah pada kekurangan penerapan/implementasi input data sidik jari, mengapa BS sebagai anggota tim teknis dan dalam jabatan struktural di institusi Polri tidak mendesak ketua tim teknis agar menyempurnakan atau memperbaiki prosedur input data sidik jari? Tetapi kenapa justru dia mengembangkan sendiri sistem tandingan bernama Inafis?
Dalam posisinya sebagai anggota tim teknis yang mewakili institusi Polri, BS sudah menyepakati Grand Design SAK. Kenapa kemudian BS justru mempersoalkan kelemahan sistem yang merupakan bagian dari Grand Design SAK, yang notabene sudah disetujui dan ditekennya sendiri? Bukankan ini sama dengan menjilat ludahnya sendiri?
Bila karena kepakaran, keahlian, dan pengalamannya BS mengetahui adanya kelemahan-kelemahan dalam Grand Design SAK dalam penerapan e-KTP yang kemudian sudah ia sepakati, mengapa dalam rapat-rapat tim teknis itu dia tidak menyampaikan kelemahan-kelemahannya? Mengapa BS justru mengembangkan sistem sendiri bernama Inafis yang sebenarnya sudah tidak dipakai lagi?
Tersangka kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games, Muhammad Nazaruddin, menuding Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah menerima uang dari dirinya. Penerimaan uang tersebut berkaitan dengan proyek pengadaan baju Hansip dan KTP elektronik (e-KTP) yang diadakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Terkait uang yang mengalir itu kapan, yang mengasih pada proyek apa, urusannya apa, itu juga sudah sempat disupervisi sama KPK. Nilai kedua proyek itu sekitar Rp 7 triliun," ujar Nazaruddin kepada wartawan setelah ia diperiksa penyidik KPK.
Sebelumnya, saat diwawancara oleh Indra Piliang melalui Skype di masa pelariannya pada 19 Juli lalu, Nazaruddin juga pernah menyebutkan hal yang sama. "Pada 2010 lalu, Chandra Hamzah dua kali melakukan transaksi dengan saya. Jadi, saya tahu kelakuan Chandra Hamzah dan Ade Raharja. Proyek tersebut telah diperiksa awal. Namun, pemimpin proyek, yaitu Andi, telah datang kepada Chandra dengan memberikan sejumlah dana dan meminta KPK untuk mengamankan kedua proyek itu," kata Nazaruddin.
Setelah ditelusuri, nama Andi yang dimaksudkan oleh Nazaruddin adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong. Ia adalah pengusaha di balik tender proyek-proyek pemerintah. Selain e-KTP dan baju Hansip di Kemendagri, Andi juga memenangkan tender proyek pelayanan surat tanah secara mobile di BPPN serta beberapa proyek di Polri.
"Seperti Nazaruddin, Andi mampu merancang sebuah proyek pemerintah, mulai dari anggaran hingga mengatur siapa yang menjadi pemenangnya," kata seorang sumber yang kini telah masuk dalam program perlindungan saksi oleh KPK dalam kasus proyek e-KTP.
Dari proyek baju Hansip pada 2009 yang menghabiskan uang negara Rp 400 miliar, lanjutnya, Andi meraup keuntungan Rp 120 miliar. "Ketika itu, ia banyak membagi keuntungan kepada anggota DPR. Jadi, kalau ada anggota DPR perlu uang Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar, ia akan langsung memberikan. Makanya, hubungan dia dengan anggota dewan sangat baik. Kedekatan itulah yang berbuah kesuksesannya mengegolkan anggaran untuk e-KTP. DPR meminta setoran 7 persen dari nilai proyek itu. Tapi karena uangnya besar disepakati setoran itu akan dibayar kalau anggaran dari pemerintah sudah turun," kata sumber itu.
Menurut penelusuran awal, proyek baju hansip itu lengkapnya bernama Pengadaan Barang Kelengkapan Perorangan Linmas Pengamanan Pemilu 2009 pada Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri. Proyek itu terdiri dari 18 item paket dengan nilai Rp 560 miliar dari APBN Tahun 2009. Paket-paket itu adalah 5 paket pengadaan pakaian dinas lapangan Linmas, yang masing-masing nilainya Rp 37,5 miliar; 5 paket pengadaan sepatu dinas lapangan Linmas, dengan nilai masing-masing Rp 38,2 miliar; paket pengadaan topi lapangan Linmas, dengan nilai Rp 16,4 miliar; pengadaan ikat pinggang kecil Rp 27 miliar; pengadaan kaus kaki lapangan Rp 8,8 miliar; pengadaan T-shirt Rp Rp 33 miliar; pengadaan pentungan rotan Rp 15,3 miliar; pengadaan ban lengan Rp 8,8 miliar; pengadaan kopelriem Rp 40 miliar, dan; pengadaan atribut Linmas Rp 8,3 miliar.
Ketua Komite Etik KPK Abdullah Hehamahua mengungkapkan, kedua proyek itu belum masuk tahap penyelidikan di KPK. "E-KTP dalam pencegahan, KPK koordinasi dengan Depdagri (Kementrian Dalam Negeri). Baju Hansip yang saya terima suratnya di direktorat penyidikan belum ditemukan alat bukti, masih pengumpulan bahan keterangan, belum sampai ke penindakan," paparnya. Intinya, kedua kasus itu di Kemendagri itu masih berada di tingkat pengumpulan bahan bukti atau kasta terendah proses hukum di KPK.
Abdullah menyatakan, belum naiknya kasus itu ke tingkat yang lebih tinggi lantaran KPK belum memiliki bukti. "Baju hansip yang saya terima suratnya belum ditemukan alat bukti," kata Abdullah.
Modus si Andi
Serupa dengan Nazaruddin, Andi banyak memiliki perusahaan untuk diikutsertakan dalam tender proyek pemerintah. Menurut penelusuran awal , Andi menguasai PT Aditama, PT Lautan Mas, dan Murakabi.
Murakabi adalah pemegang proyek pelayanan sertifikat tanah keliling di BPPN. Perusahaan ini juga mengikuti tender e-KTP, namun kalah. "Konsorsium Murakabi memang sengaja dikalahkan untuk membunuh Kojen, sehingga memuluskan langkah L1 Solution. Kojen adalah perusahaan pembuat alat AFIS terbesar kedua di dunia," kata sumber itu. AFIS adalah singkatan dari Automated Fingerprint Identification System .
Peran Andi di Murakabi diwakili adiknya yang bernama Vidi.
Vidi menjabat sebagai salah satu direktur di perusahaan itu. Selain Vidi, ada juga nama Irvan yang menjadi direktur. Irvan adalah adik ipar dari bendahara Golkar Setya Novanto dari istrinya yang terbaru. Sementara itu, di jajaran komisaris ada istri Sutanto dan mantan Dirlantas Mabes Polri Brigjend Pol Yudi Susharyanto.
Menurut sumber itu, Murakabi adalah perusahaan yang dibentuk untuk menambah penghasilan purnawirawan dan perwira tinggi Pati Polri. Namun, hal ini perlu masih dikonfirmasi, termasuk meminta data di Kemenkumham untuk verifikasi informasi soal ini.
Andi menggunakan ruko Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 sebagai jantung operasionalnya. Seluruh data tender disimpan di tempat ini. Selain itu, Andi juga menggunakan ruko tiga lantai itu untuk mempersiapkan kemenangan sebuah tender. Pengelola tempat ini adalah kakak ipar Andi yang bernama Yanti.
Namun, setelah Nazaruddin bernyanyi, sebagian data-data di tempat itu langsung dimusnahkan. Sementara itu, sebagian lagi dibawa ke rumah Andi di Kota Wisata Cibubur. Keterangan ini didapat dari penjaga ruko bernama Benny saat ditelepon oleh sumber tersebut.
Peran Andi dalam Proyek E-KTP
Setelah ada kepastian DPR meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk proyek E-KTP, Andi lalu mengumpulkan sejumlah orang dalam pertemuan yang dilakukan di Hotel Sultan dan Crown pada Juni 2010 atau satu tahun sebelum tender dilakukan oleh Kemendagri.
Pengumpulan orang-orang itu bertujuan untuk merancang proses tender sehingga kemenangannya tidak jatuh ke pihak lain. Orang-orang yang berkumpul itu di antaranya para ahli IT dari BPPT (salah satunya adalah Fahmi, yang kemudian menjadi ketua tim teknis panitia tender, Plt. Dirjen Administrasi Kependudukan Irman (yang statusnya masih sebagai tersangka dalam proyek uji petik e-KTP pada 2009), Dirut PNRI Isnu Wijaya (pimpinan konsorsium pemenang tender saat ini), Johannes Marlin (Distributor AFIS L1 di Indonesia yang alatnya dipakai dalam proyek e-KTP saat ini), dan pengusaha Paulus Tanos.
"Paulus Tanos ini diajak karena ia pengusaha kaya yang punya kedekatan dengan Mendagri. Dia pengusaha yang bermain di PLN. Proyeknya itu salah satunya membangun pembangkit listrik tenaga bumi bersama Chevron. Ia juga punya kantor seluas 1.000 meter per segi di Pasific Place. Dia diajak supaya bisa ikut membiayai proyek e-KTP, selain lobi ke dalam Kemendagri," kata sumber itu.
Trio Andi Narogong, Paulus Tanos, dan Irman menjadi pemegang peran sentral dalam mempersiapkan proses lelang proyek e-KTP ini. Ruko di Fatmawati pun menjadi tempat membuat spesifikasi peralatan yang akan dibeli pemerintah sejak 1 Juli 2010 hingga Februari 2011, atau dua pekan sebelum pengumuman lelang diumumkan pada 21 Februari 2010.
"Semua rekanan yang akan ikut tender sudah diikutsertakan di dalam tim pembuat spesifikasi agar bisa cocok dengan yang diinginkan pemerintah di kemudian hari," katanya. Sumber itu juga menyebutkan tim pembuat spesifikasi itu dipimpin oleh Dedi Priyono, yang merupakan kakak kandung Andi Narogong.
Paulus Tanos, yang ketika itu tidak punya bendera, membeli PT Sandipala yang sedang dalam keadaan bangkrut seharga Rp 15 miliar dari Harry Sapto. "Saya yang saat itu mengurusi prosesnya. Sebagian besar pegawainya di-PHK dan diganti pegawai baru. Seluruh perizinan, termasuk dari BIN, bisa diperoleh secara cepat. Mungkin di sini ada bantuan dari Sutanto," katanya.
Pada Januari 2011, lanjutnya, Irman memerintahkan agar dibuat tiga konsorsium yang mengikuti tender, yaitu PNRI, Astra, dan Murakabi, dengan mempersiapkan PNRI, yang beranggotakan PNRI, LEN, Succofindo, Quadra, dan Sandi Pala sebagai pemenangnya.
"Succofindo memang sudah sejak awal ikut mempersiapkan tender ini. Sementara itu, Quadra merupakan balas jasa setelah Minduk tersandung audit BPK. Quadra lalu memberikan uang Rp 2 miliar untuk menggantikan uang-uang perjalanan dinas dan keperluan lain Minduk yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Selanjutnya proses tender pun berlangsung dengan hasil dan proses seperti yang sudah diberitakan selama ini.
Bimbingan Teknis Instruktur Proyek E-KTP Ricuh
Ada sebuah peristiwa yang luput dari perhatian seluruh media massa di Jakarta, yaitu kekisruhan yang terjadi pada saat Bimbingan Teknik Instruktur E-KTP pada 28 Juli 2011 di Asrama Haji Pondokgede, Jakarta Timur.
Kerusuhan ini terjadi antara peserta dari Sumatera Utara dengan panitia dari Succofindo. Kerusuhan diakibatkan dari kurang siapnya panitia. Itu terlihat antara lain dari amburadulnya jadwal.
Banyak sekali kejanggalan yang membuat peserta kesal dan marah. Apalagi, peserta yang disiapkan untuk menginput data itu tidak menerima bayaran sepeser pun. Aksi ini terekam melalui video yang diambil melalui kamera telepon seluler dan diunggah di Youtube.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Public Relation Succofindo, ia mengeluhkan belum turunnya dana awal pengerjaan proyek ini dari Kemendagri. "Kami lalu bekerja dengan modal dari mana?" keluhnya.
Mendagri Gamawan Fauzi pun mengakui pihaknya memang belum mengucurkan uang negara untuk proyek e-KTP ini. Menurut sumber itu, Kemendagri takut mengeluarkan uang karena, bila uang negara sudah mengalir, aparat hukum akan melakukan proses penyidikan. "Paulus Tanos yang diharapkan mau mengucurkan uangnya ternyata ingkar janji. Ia terlalu kemaruk untuk mendapat keuntungan yang banyak. Sementara itu, Andi tidak punya uang sebanyak itu untuk membiayai proyek ini. Kondisinya sekarang antara anggota konsorsium jadi bertengkar soal pendanaan," katanya.
Sumber itu juga menceritakan, LEN mengagunkan asetnya untuk mendapat pinjaman Rp 400 miliar dari bank umum. "Tapi, uang yang seharusnya dipakai untuk membeli alat AFIS malah dipakai untuk membeli hardware. Tujuannya agar publik melihat proses pembelian dan distribusi peralatan tetap berlangsung," ungkapnya.
Keterlibatan Brigjen Polisi Bekti Suhartono
Brigjen Polisi Bekti Suhartono (BS) adalah Kepala Pusat Inafis Badan Reserse Kriminal Polri, sejak 2011 hingga saat ini. Bekti dari Akpol angkatan 1984, rekan dekat satu angkatan dengan Irjen Polisi Djoko Susilo, koruptor level "kapal keruk" yang kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sebagai Kepala Pusat Inafis Polri, Bekti pun ditunjuk mewakili institusi Polri menjadi anggota Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional.
Pembentukan tim teknis itu disahkan oleh Mendagri melalui Surat Keputusan Mendagri Nomor: 471.130.5-335 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional. SK Mendagri tersebut diteken pada tanggal 5 Juli 2010.
Posisi/jabatan struktural BS tercantum sebagai Anggota Susunan Keanggotaan Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional. Dalam SK itu, dia berada pada nomor urut 15 keanggotaan tim teknis.
Sebagai anggota tim teknis, BS telah menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, antara lain tercermin dari tingkat kehadirannya yang cukup tinggi pada berbagai rapat tim ini. BS tampaknya selalu rajin menghadiri rapat-rapat tim dan cukup aktif menyampaikan pandangan, tanggapan, dan masukan-masukan berdasarkan keahlian dan pengalamannya.
Aktivitas BS itu antara lain terekam dengan baik dalam notulen rapat-rapat pembahasan Grand Design Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), yang dilakukan oleh Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional.
Pada notulen rapat Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional yang membahas Grand Design SAK hari Rabu, 4 Agustus 2010, bertempat di Ruang Sidang Utama Gedung Kementerian Dalam Negeri disebutkan, tim teknis menyepakati Grand Design SAK sebanyak 397 halaman, yang terdiri dari 7 bab dan 4 lampiran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Grand Design SAK, untuk disahkan oleh Mendagri dalam bentuk Kepmendagri.
Notulen rapat dengan hasil kesepakatan itu telah diteken pula secara resmi dan sah pada hari dan tanggal tersebut di atas oleh BS dalam posisi/jabatan strukturalnya tersebut di atas. Nama, jabatan, dan tanda tangan BS dengan jelas tercantum dalam laporan itu. Hal itu mengindikasikan, BS pada dasarnya dalam posisi dan jabatan strukturalnya selaku wakil resmi dari institusi Polri telah menyetujui dan sepakat dengan Grand Design SAK, termasuk pula penerapan e-KTP yang mengharuskan penerbitan nomor induk kependudukan secara nasional.
Namun, dalam perkembangannya kemudian, ternyata BS dalam posisi/jabatan strukturalnya di institusi Polri jutru mengembangkan sendiri program Inafis. Bahkan, sekitar pertengahan bulan Desember 2011 (sekitar 14 Desember 2011), BS meneken kontrak pengadaan Inafis senilai Rp 27,6 miliar dengan PT Turangga. PT Turangga ini diduga kuat merupakan mantan anggota konsorsium yang kalah dalam perebutan tender pengadaan e-KTP.
Alasan utama pihak BS ngotot mengembangkan Inafis, yang realisasinya sudah lama tidak ada kelanjutannya itu, adalah untuk menutup kekurangan dari sistem e-KTP. Kekurangan tersebut antara lain penerapan input data finger print untuk e-KTP, dengan SAK-nya yang hanya mampu menyerap 50 persen dari permukaan sidik jari penduduk. Padahal, ketentuan di Polri, untuk identifikasi minimal 95 persen dari permukaan sidik jari seorang penduduk harus terekam.
Bila persoalannya adalah pada kekurangan penerapan/implementasi input data sidik jari, mengapa BS sebagai anggota tim teknis dan dalam jabatan struktural di institusi Polri tidak mendesak ketua tim teknis agar menyempurnakan atau memperbaiki prosedur input data sidik jari? Tetapi kenapa justru dia mengembangkan sendiri sistem tandingan bernama Inafis?
Dalam posisinya sebagai anggota tim teknis yang mewakili institusi Polri, BS sudah menyepakati Grand Design SAK. Kenapa kemudian BS justru mempersoalkan kelemahan sistem yang merupakan bagian dari Grand Design SAK, yang notabene sudah disetujui dan ditekennya sendiri? Bukankan ini sama dengan menjilat ludahnya sendiri?
Bila karena kepakaran, keahlian, dan pengalamannya BS mengetahui adanya kelemahan-kelemahan dalam Grand Design SAK dalam penerapan e-KTP yang kemudian sudah ia sepakati, mengapa dalam rapat-rapat tim teknis itu dia tidak menyampaikan kelemahan-kelemahannya? Mengapa BS justru mengembangkan sistem sendiri bernama Inafis yang sebenarnya sudah tidak dipakai lagi?
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar