MENTERI KELAUTAN MASIH PRO-ASING
Kejahatan perikanan luar biasa yang melibatkan para pemodal besar asing masih mendapatkan angin segar dari pemerintah. Kejahatan tersebut berupa pengalihan muatan ikan (transhipment) yang ditangkap di perairan Indonesia dan membawanya langsung ke luar negeri. Hal itu dilakukan di tengah laut, bahkan perairan terbatas. Demikian diungkapkan Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Riza Damanik kepada SH, Rabu (30/1) malam.
"Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo masih saja pro asing. Setelah gagal melegalkan ABK asing bekerja di kapal ikan berbendera Indonesia, seharusnya dia (Cicip-red) membatakan izin transhipment kapal asing tersebut," ujarnya.
Namun faktanya, kata Riza, pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) mengizinkan kapal ikan asing berbobot 1.000 GT bebas menangkap ikan di perairan Indonesia dan membawanya langsung ke luar negeri. Keputusan itu tertuang dalam Permen KP No 30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI, yang disahkan tanggal 27 Desember 2012.
Di samping itu, kelalaian tersebut, kata Riza, juga terbukti selama periode 2007-2011, tidak satu pun jenis tindak pidana perikanan terkait transhipment yang berhasil ditangkap dan proses hukum oleh aparat. Padahal, menurut Riza, dari pengakuan sejumlah nelayan Indonesia maupun nelayan asing yang tertangkap di perairan Natuna, tindak pidana transhipment marak terjadi sepanjang tahun di perairan Indonesia.
"Pemerintah harus membatalkan izin transhipment atau pengalihan muatan ikan tersebut," tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Riza, ada tiga fakta lain yang diabaikan oleh MKP selain transhipment tersebut. Yaitu hingga 2011, telah ada 6.830 kapal ikan Indonesia yang mendapat izin menangkap ikan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI).
Seluruh kapal tersebut diwajibkan mendaratkan ikannya di Indonesia. Olehnya, kata Riza, membebaskan kapal ikan berbobot 1.000 GT menangkap ikan di ZEEI dan langsung membawanya ke luar negeri adalah ceroboh, sekaligus mempertontonkan ketidakdilan bagi pelaku perikanan kecil dan nasional.
Ketiga, sampai saat ini Indonesia tidak memiliki kapal ikan 1.000 GT. Terkait hal tersebut, ujar Riza, beberapa hal patut diduga; pertama, izin transhipment hanya untuk memfasilitasi pengusaha ikan asing, seperti China, Jepang, Spanyol, dan Taiwan. Kedua, melindungi pengusaha impor kapal ikan (baru dan bekas) berbobot lebih dari 1.000 GT yang berasal dari China dan negara lainnya.
Keempat, diperparah dengan menurunnya anggaran KKP untuk pengawasan yang berdampak pada berkurangnya jumlah operasi pengawasan dari 180 hari pada tahun 2011 menjadi 115 hari.
Dirjen (Pengawasan Sumber Daya Perikanan) PSDKP KKP, Syahrin Abdurachman kepada SH mengakui 26 kapal pengawas yang dimiliki pemerintah sudah sangat tua, sedangkan wilayah yang di-cover makin luas dan masalah di laut makin kompleks. Dari 26 kapal tersebut, 14 kapal telah berusia di atas 10 tahun. "Kita tidak bisa berbuat banyak," ujarnya.
Sementara itu , menurut Syahrin, pihaknya tidak akan menyetujui pembuatan kapal pengawas yang berasal dari bahan fiber glass. Pasalnya, katanya, jenis kapal tersebut tidak akan boleh melakukan penangkapan/pengejaran di luar WPP RI, tapi hanya di pedalaman atau wilayah teritorial saja.
Untuk itu, sambung Syahrin, peremajaan kapal pengawas sejak 2012 adalah satu kapal sepanjang 42 meter yang terbuat dari baja.
Saat ini, tutur dia, pihaknya tengah memperjuangkan empat kapal SKIPI (Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia) yang dapat melakukan pengawasan sampai di WPP RI, yaitu hingga Natuna, Utara Sulawesi, dan Laut Arafura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar