Surat Terbuka Ker untuk Gie
Hai Gie, rasanya lama betul kita tidak berjumpa. Saya kangen sekali ingin ngobrol-ngobrol dengan kamu seperti dulu ketika kita masih mahasiswa. Kamu masih ingat kan kita selalu duduk berduaan di "kapal selam" FS-UI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) atau di warung senggol. Kadang, kalau warung senggol sudah penuh orang, kita ngobrol di ruangan kamu.
Selalu menyenangkan bersama kamu. Maklum saya kan anak keluaran asrama Santa Ursula. Jadi bergaulnya rada terbatas atau orang-orang sekarang bilang rada kuper (kurang pergaulan). Terus saya ketemu kamu yang begitu lucu, imut-imut, berantakan kalau berpakaian, suka naik gunung, suka diskusi, senang folk songs seperti Joan Baez dan Nana Mouskori, suka membaca, suka organisasi, dan hal-hal yang bagi saya terasa baru, aneh, ajaib, tapi juga menantang.
Oh ya jangan lupa, seingat saya kamu juga sering bercanda yang rada nyerempet-nyerempet. Ini sering membuat saya terheran-heran, karena kamu kan waktu itu asisten dosen, sedangkan saya kan mahasiswi baru. Kok dosen ngomongnya nyerempet-nyerempet bawah puser. Herannya, saya kok tertawa mendengarkan celetukan kamu.
Kalau saya terheran-heran lihat kelakuan kamu, saya juga tahu kalau kamu terheran-heran melihat 'makhluk' seperti saya; kuper, rada bloon, pinternya pas-pasan, malas belajar, suka dansa, dan musik rock & roll, senang naksir dan ditaksir cowok, hari-hari pakai rok mini (semini mungkin) dengan rambut sepinggang dikepang dua, mejeng di kampus, dan berakhir dengan makan siang di warung senggol.
Kalau Universitas Indonesia punya motto Buku, Pesta, dan Cinta, maka buat saya yang berlaku hanyalah motto Pesta dan Cinta. Buku, entar dulu deh. Kan motto lanjutan dari cewek-cewek sastra UI, khususnya saya, adalah kalau tidak to be (yaitu menjadi sarjana) maka paling tidak to get (menggaet suami sarjana). Praktis, aman, dan nyaman! Tapi kan itu cuma omongan di mulut ya Gie, karena sebenar-benarnya saya tidak pernah punya tujuan atau cita-cita ingin menjadi sarjana atau menggaet pacar/suami sarjana. Saya sendiri tidak tahu nanti-nantinya saya jadi apa ya?
Saya mendaftarkan diri ke UI karena teman-teman saya, seperti Clara dan Amelia, mendaftar ke UI. Waktu masuk UI, saya melihat kehidupan yang amat berbeda dari asrama Santa Ursula, Jalan Pos No. 2, Jakarta. Apalagi kita bertemu, berkenalan, dan menjadi sahabat kamu, saya betul-betul memasuki dunia baru yang saya tidak paham lika-likunya, tapi kok menyenangkan ya?
Kamu berusia 26 tahun dan saya berusia 18 tahun ketika kita berjumpa untuk pertama kali. Saya waktu itu merasa terbebaskan dari kekangan aturan-aturan kaku sekolah Katolik. Seperti burung yang terbang, bebas hambatan, begitulah perasaan hati saya. Lalu kita berjumpa dan kamu membawa saya berselancar di kehidupan mahasiswa yang sangat dinamis. Oh ya, bukankah waktu itu masa flower generation yang inspirasinya datang dari UC Berkeley, dan dengan cepat masuk dalam kehidupan kemahasiswaan anak-anak FS-UI? Seingat saya, motor utama "generasi bunga" di FS-UI antara lain adalah kamu.
Bersama kamu Gie, saya belajar hal-hal yang lebih literer*. Belajar berdiskusi, menonton film-film pilihan yang sarat dengan pesan sosial-politik dan kemanusiaan. Saya masih ingat, ketika film Doctor Zhivago diputar di FS-UI. Filmnya terasa lama dan monoton. Tapi karena saya kan ingin sedikit literer, jadi saya paksa menonton sampai selesai. Keluar dari bioskop, mata saya rasanya hampir buta, karena cahaya matahari yang tiba-tiba datang menerpa, dan sekujur paha dan betis saya bentol-bentol digigit kutu busuk.
Bisakah kamu bayangkan kayak apa saya jalan di kampus dengan rok mini dan kaki merah bentol-bentol? Bukankah satu-satunya kelebihan yang saya miliki hanyalah tubuh dan kaki yang bagus serta rambut hitam tebal yang panjang, yang kalau kamu gemas sering kamu tarik-tarik dan kucek-kucek rambut tersebut? Tapi karena saya ingin menyenangkan kamu, semua saya lakukan tanpa mengeluh. Ya, mengeluh sedikit ada sih.
Ah Gie, waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa sudah 40 tahun lebih kamu pergi. Rasanya seperti baru terjadi kemarin dulu. Masih terang dalam ingatan saya, saat-saat di mana kita bersama teman-teman pergi menonton pergelaran di TIM, makan soto ayam di Salemba. Makan sotonya enggak boleh nambah karena duitnya pas-pasan. Tapi kamu selalu baik kepada saya, diam-diam menaruh hati ayam ke mangkok soto saya. Lucunya, karena saya enggak pernah makan banyak dan jarang jajan di luar, sering makanan saya malah enggak habis. Sisanya kamu yang makan. Heran deh, kok mau-maunya kamu makan sisa makanan. Tapi boleh saya mengaku, rasanya senang kok Gie kamu makan sisa makanan saya, meskipun saat itu barangkali kamu makan sisa tersebut karena kamu lapar aja. Kan kamu dikenal sebagai "kantong nasi". Saya melihatnya sebagai tanda kedekatan kamu.
Acara makan-makan, apakah berdua atau bersama teman-teman, selalu merupakan acara yang sangat menyenangkan buat saya. Masih ingat enggak waktu kita berlima pergi ke Gunung Ceremai untuk merayakan kaul** kamu menjadi sarjana? Momen itu membekas indah dalam diri saya. Kita naik bis dari jembatan Jatinegara. Rambut saya kamu gulung dan tutup dengan topi supaya saya kelihatan seperti laki-laki.
Kita duduk berjajar di jembatan sambil nonton para pelacur menjajakan diri. Pukul 10 malam bisa kita berangkat, tahu-tahu setengah jalan menjelang pagi, supirnya minta istirahat. Ternyata dia punya simpanan di rumah dekat warung tempat kita berhenti. Kata si Pureke (Purnama Kusumaningrat), sopirnya t#ce hale dulu. Sialan banget, masak kita disuruh nunggu supir yang lagi indeh#y. Mana saya lelah dan mengantuk meskipun tetap bisa bercanda dengan kamu dan Syafei. Kamu sangat baik kepada saya, bawain teh manis panas dari warung. Terus kamu kupasin saya jeruk yang kita kira rasanya manis, ternyata asem banget. Rame-rame sisa jeruknya kita timpukin pada yang jual. Soalnya waktu kita tanya apakah jeruknya manis, jawabnya "ya".
Saya tahu kamu sedang gundah karena "dia" yang kamu taksir habis-habisan menyatakan putus sama kamu. Padahal dianya juga sangat menyukai kamu. Saya sedih melihat betapa patahnya hati kamu Gie, karena itu dengan senang hati saya bersedia jadi "permen karet" kamu, dengerin kamu curhat sepanjang jalan. Saya menyayangi kamu.
Pulangnya dari mendaki Gunung Ceremai, kamu memberikan saya gelar "janda Gunung Ceremai". Kita semua tertawa-tawa dengan pemberian gelar tersebut. Pulangnya kita naik kereta api. Karena kita berlima begitu kere-nya, kita beli karcis 3 buah berlima. Jadi duduknya gantian. Tempat yang paling bagus adalah dekat WC. Di sana saya duduk dan kamu berdiri dekat saya melindungi saya dari aroma WC yang minta ampun baunya. Saya kasihan sekali lihat kamu, sudah harus berdiri, sekaligus jadi tameng saya untuk menahan bau dari WC. Saya merasa tersentuh dengan sikap melindungi yang kamu tunjukkan. Seingat saya kita ke Gunung Ceremai pada bulan Mei 1969. Saya berusia 19 tahun.
Soe Hok Gie yang manis,
Sudah seminggu saya tiba di Rumbai (Pekanbaru, Riau). Senang rasanya kembali ke habitat lama, yaitu lingkungan di mana saya dibesarkan, di Rumbai. Rumah saya masih seperti dulu. Di belakangnya hutan belantara tapi indah dan membawa pesona keheningan sendiri. Saya masih sering berenang seperti dulu. Kan kamu tahu, saya sangat suka berenang.
Surat-suratmu sudah saya terima. Cerita kamu mengenai es kacang yang popular dekat rumah kamu di Kebon Jeruk bikin saya ketawa. Bayangin, kamu nempelin kacangnya di surat. Udah gitu di surat kamu berikutnya, kamu gambar telapak tangan kamu yang asli biar setiap saat saya bisa menyalam kamu.
Tiba-tiba saya rindu ingin jumpa. Ah. Ternyata saya masih lama di Rumbai. Kok rasanya tinggal di Rumbai tidak semenarik dulu ya Gie. Mungkin karena tidak ada acara gila-gilaan bersama kamu. Nampaknya saya mulai kehilangan kebersamaan itu.
Kalau mengutip lagu KD sekarang, saya seperti "menghitung hari" ingin cepat-cepat balik ke Jakarta. Bersama kamu, saya merasa hidup ini lucu dan rileks. Kalau kamu tanya apakah saya keberatan punya pacar kayak kamu, jawabannya adalah "tidak". Juga saya tidak keberatan kalau kita pura-pura pacaran, kan seru juga. Saya selalu merasa ya Gie, kamu itu seperti jangkar hidup saya. Rasanya tenang, meskipun kamu sering kacau kalau lagi ngomongin "dia" yang kamu taksir.
Buku catatan harian warna biru yang kamu kasih ke saya sebelum berangkat ke Rumbai menjadi sahabat saya selama jauh dari kamu. Cuma saya tidak tahu ya, kalau nanti sudah pulang ke Jakarta, apakah saya masih rajin menulis di buku harian itu.
Selama saya di Rumbai saya akan surati kamu ya Gie, sesering mungkin. Banyak banget rasanya yang ingin saya ceritakan. Rambut saya selama di sini saya biarkan lepas. Kamu mesti lihat sendiri deh, ternyata panjangnya benar-benar sepinggang. Kamu senang kan dengan rambut saya panjang kayak gini?
Hai Soe Hok Gie yang manis,
Rasanya senang sekali bisa jumpa kamu hari ini di kampus setelah cukup lama berada di Rumbai. Dunia kamu yang begitu dinamis, begitu menarik bagi saya yang datang dari keluarga konservatif. Tapi saya hanya melihat dari jauh saja, karena saya tidak terlalu mengerti ya Gie dunia aktivis itu. Bawaannya kalau tidak berdiskusi, ya melakukan pemilihan ketua senat, ketua dewan. Lalu ada perbedaan pendapat, ada garis kiri ada garis kanan, ada kelompok ini ada kelompok itu. Saya hanya suka mendengarkan saja tanpa merasa perlu untuk mengerti. Bagi saya, berdekatan dengan kamu setiap saat adalah segala-galanya. Itu saja. Bahwa kamu dianggap sebagai tokoh mahasiswa tidak terlalu penting untuk saya.
Rasa-rasanya ya Gie, semakin sulit bagi saya untuk bersikap bahwa "we are only friend". Ingat enggak ketika kita dari Situ Patenggang naik gunung? Ada lagu yang baitnya ; "If we are only friend, why do you kiss me like you do?" Saya tahu bahwa sebenarnya kamu suka dan sayang pada saya. Tapi kamu tidak pernah berani secara terbuka mengatakan hal itu. Saya tahu dari bahasa badan kamu bahwa kamu selalu ingin kita berdua dekat. Cuma ya itu tadi, kegetiran kamu pernah diputus oleh "dia" yang begitu kamu dambakan, membuat kamu selalu ragu-ragu.
Ingat enggak Gie, waktu kamu bujuk saya menulis surat ke Ciil, di mana surat itu kamu yang diktekan. Kamu tahu betul rupa-rupanya bahwa Ciil diam-diam naksir saya, dan sebagai sahabat baiknya, kamu ingin menyenangkan Ciil yang waktu itu sedang dalam posisi sebagai student leader di UC Berkeley. Saya tulis surat itu karena saya menyukai kamu. Saya tidak suka dengan Ciil karena waktu Mapram dia begitu sombongnya dan bersikap acuh tak acuh terhadap saya.
Herannya dengan berjalannya waktu, kamu semakin jarang meminta saya menulis surat ke Ciil. Apakah ini pertanda bahwa sebetulnya hubungan kita berdua semakin dalam, meski tentunya kita berdua, terutama kamu berusaha mengingkari perasaan itu.
Soe Hok Gie yang manis,
Seperti halnya kamu, saya juga menyadari betapa sulitnya meneruskan hubungan kita. Kita datang dari dan berada dalam dua budaya yang sangat berbeda. Saya orang Batak, anak perempuan tertua, dan keluarga saya tergolong rada kolot. Kamu orang Cina, udah gitu enggak kaya, cuma seorang intelektual, jadinya dianggap enggak punya masa depan. Bagi saya dalam keluguan seorang gadis usia 19 tahun, keraguan kamu sering menimbulkan tanda tanya dan rasa ketakutan kehilangan kamu. Kamu yang selalu berani dalam segala hal, ternyata melempem dalam menyatakan perasaan pribadimu hanya karena kita berbeda budaya.
Saya sebetulnya tidak terlalu peduli dengan perbedaan budaya dan latar belakang sosial kita berdua. Saya juga tidak terlalu peduli dengan perbedaan fisik yang ada antara kamu dan saya. Kamu, katanya, mata sipit. Ciri-ciri orang Cina. Teman saya yang asli wong Palembang, matanya, aduhai, sepuluh kali lebih sipit dari kamu. Jadi dimana ya letak perbedaannya?
Pelaminan dan baju kurung nikah orang Sumatera Barat berwarna merah cabai, warna orang Cina. Belum lagi kalau diperhatikan motif hiasannya, aduh Cina banget. Di Sumatera, ada tradisi malam bainai, di mana kuku mempelai perempuan diberi inai, semacam cat kuku warna merah menor dari buah pohon. Warna merah menor itu di Sumatera dikenal dengan merahnya Cino.
Waktu belajar antropologi fisik sebagai pelajaran awal dalam ilmu antropologi, manusia Indonesia itu dipengaruhi oleh dua ras utama ; ras Mongoloid yang dominan di pesisir Timur Sumatera, Bangka Belitung, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi. Ras Negroid dominan di bagian Timur Indonesia. Makanya saya suka heran ya Gie, kok kita membeda-bedakan orang antara pribumi dan non-pribumi. Padahal asal rasnya sama. Lucunya, orang-orang ogah dibilang Cina, atau Mongoloid, tapi lebih ogah dibilang item, negro, atau negroid. Nah lho, maunya disebut apa ya?
Jadi, sekalipun mata kamu sipit, perut kamu "kantong nasi", enggak kaya, "Cina Kecil", bagi saya kebaikan, perhatian, ide-ide, dan kelucuan kamu membuat hidup setiap hari menjadi berarti. Mungkin saja ya pengalaman pahit kamu dengan "dia" masih begitu membekas, yang membuat kamu tidak mampu mengambil keputusan.
Tetapi, adilkah kamu kepada saya Gie? Selalu kamu katakan bahwa di antara kita tidak ada apa-apa, seraya kamu genggam tanganku erat-erat atau kamu peluk saya. Kamu katakan hubungan kita hanya sebatas "permen karet" yang dikunyah-kunyah dan kemudian dibuang. Atau kita berdua, seperti berulang kali kamu bilang, hanya manusia-manusia yang kesepian yang butuh "santapan rohani". Bahasa badanmu dan tatapan matamu bukanlah lagi gambaran seseorang yang sekedar mencari "permen karet'. Di mata itulah saya menemukan sebuah pelabuhan cinta. Hanya saya dan kamu, betapa pun kamu mencoba mengingkari, yang merasakan getaran itu.
Sore itu di daerah Matraman, ketika kamu mengantar saya membeli roti, akhirnya kamu sampaikan betapa kamu menyayangi saya. Meskipun hujan turun rintik-rintik, badan dan rambut saya setengah basah, perasaan saya senang dan hangat sekali.
Kamu mengajak saya pergi mendaki ke Gunung Semeru. Adakah sudah kamu inginkan kebersamaan itu? Saya teramat sangat ingin pergi, tapi Mama saya tidak mengizinkan. Saya menunggu saja kamu kembali dari Semeru, dan kita kembali berjalan-jalan, membuat acara gila-gilaan, yang lucu, dan ketika kamu kembali, Soe Hok Gie-ku yang manis.. saya.. adalah gadismu.
Cuplikan bait lagu saya buat kamu Gie;
"Oh my heart dont believe that you have left me
I keep telling myself that is true…
Oh my wall lies a photograh of you, Gie
Though I try to forgett you somehow
You are the mirror of my soul
Let me try to go on living right now.."
Soe Hok Gie yang manis…
Lama sudah kamu pergi tanpa pesan apapun. Saya merasa sangat sendiri seperti layangan putus. Semakin lama saya semakin malas belajar. Saya senangnya "nyontek" saja dan udah gitu sering ketahuan sama Koencrit (Profesor Koentjaraningrat). Akibatnya saya enggak naik tingkat dua kali. Kamu pasti sedih ya. Tapi saya tidak terlalu peduli, karena kamu juga tidak terlalu peduli kan sama saya. buktinya? Kamu pergi.
Ciil telah kembali dari Berkeley. Dia sering datang ke kampus naik Vespa (pinjeman). Saya tetap kesal setiap kali bertemu dia. Saya heran kenapa kamu suka memuji-muji Ciil sebagai orang yang baik, pintar, dan jago diskusi. Baiknya di mana ya? Di kampus FS-UI, dia hanya sibuk diskusi melulu sama orang-orang. Dia antara lain membangun GDUI (Grup Diksusi UI), katanya. Pernah saya tanya Ciil apakah saya boleh menjadi anggota GDUI.
Kamu tahu Gie, dia melihat saya dengan wajah tak percaya dan rada sinis. Komentarnya, "Ker mendingan kuliah yang bener aja dulu, ntar lu enggak naik tingkat lagi. Gue heran, kok lu jadi orang bodoh amat sih? Udah gitu pemalas, sudah pemalas UI lagi!". Terus terang saya enggak sakit hati diketusin seperti itu oleh Ciil, karena saya memang bodoh dan pemalas. Yang saya enggak senang adalah dia enggak mau terima saya jadi anggota GDUI.
Anehnya ya Gie, meskipun si Ciil bilangin saya bodoh dan pemalas, setiap kali ke Sastra dia pasti cari saya atau cari-cari alasan biar bisa duduk sama-sama. Gayanya tetap saja sinis, ceplas-ceplos, suka bercanda, rada emosi, tapi kamu memang benar deh Gie, dia itu cerdas sekali, pengetahuannya luas banget, dan kalau bicara logikanya runtun dan cepat.
Memang saya enggak mau lagi enggak naik tingkat. Takut dikeluarin dari UI. Bukan apa-apa, ntar saya temennya siapa dong? Apa lagi saya kan sudah jadi anggota Mapala UI dengan nomor M-062-UI. Jadi, saya mau lebih rajin saja kuliah, lebih sering baca diktat, lebih sering bertanya-tanya kalau ada hal yang kurang saya mengerti. Cuma saya tetep aja seneng dansa rock & roll, senang berpacaran walaupun cuma sekedar cinta monyet. Biasanya kandas dalam waktu sekian bulan, atau ada juga yang lamaan dikit karena lagi enggak ada "stock".
Sejak saya rajin belajar, Ciil lebih sering lagi datang dan memperhatikan kuliah saya. Ada kesungguhan yang tulus dari Ciil mengenai kemajuan akademik saya. Kamu tahu kan Gie, saya lemah untuk mata kuliah statistik. Dosennya Pak Anto Dayan dari FEUI. Satu hari, Ciil bilang dia akan menentir saya selama seminggu penuh biar saya bisa lebih mengerti statistik. Waktu itu saya rada putus asa, apakah saya bisa lulus ujian statistik.
Ciil bilang, pelajaran statistik itu mah gampang, tutup mata juga jadi. Jadi, setiap hari di perpustakaan FS-UI, sekitar pukul 13, selama 1 jam Ciil mengajarkan saya soal statistik. Saya sangat terbantu dengan Ciil. Ia menjelaskan semuanya secara sangat sederhana dan karena itu mudah dipahami. Saya lulus ujian statistik dengan memuaskan. Rasanya senang sekali, dan ini membuat saya lebih rajin lagi belajar.
Cuma ya itu tadi Gie. Dia beda sama kamu. Apa ya bedanya? Begini, kalau sedang menentir saya, dia suka minta saya "upah" yaitu boleh menggenggam tangan saya selama dia menentir. Pernah suatu saat Ciil mencuri kesempatan zoen pipi saya waktu lagi menentir, dan sialnya kepergok penjaga perpustakaan. Kamu tahu kan apa yang terjadi kemudian? Sesudahnya saya dianggap seolah-olah pacarnya Ciil, dan si gendut ini menikmati berita tersebut. Apa memang begitu anak-anak FE-UI? Apa-apa pake transaksi enggak ada yang gratis, katanya.
Bukan itu saja, Ciil semakin berani menyatakan kepada semua orang di UI, bahwa saya adalah "bini"-nya. Alangkah beraninya dan yakinnya dia, padahal saya enggak punya urusan apapun sama dia. Bahkan Mas Yuwono pun (Yuwono Sudarsono) ikut-ikutan menganggap saya pacarnya Ciil. Kalau saya ketemu Mas Yu di kampus, entah sengaja atau tidak, Mas Yu akan bilang, "Hai Ker, apa kabar dengan Ciil? Tentu saja yang mendengarkan mengira itu beneran, bahwa saya diam-diam ada hubungan cinta dengan Ciil.
Semakin keras saya berusaha menghindari Ciil, semakin keras tekanan itu datang. Ciil itu ya Gie, katanya, senangnya kan sama perempuan-perempuan pinter. Lalu suatu saat saya sampaikan kepada Ciil supaya jangan mengganggu saya lagi dan datang-datang ke Sastra, kan saya mahasiswi bodoh dan pemalas. Kamu tahu apa jawabnya Gie? "Kenapa enggak boleh? Gue demen ame lu. Malahan gue suka nafsu lihat lu Ker. Bikin lu pinter sih gampang, beres deh. Yang penting elu mau gue pegang…"
Rasanya saya ingin meledak. Alangkah brutal dan PeDe-nya si Ciil ini. Masak dia tidak tahu kalau dia itu "karung beras". Mana temen-temen, geng Telembuk, pernah bilang supaya saya jangan pernah kawin ama Ciil, soalnya nanti bisa jadi "pisang sale". Jadi saya marah sama dia, dan saya bilang, "Mendingan saya cium tanah air, daripada dicium sama kamu Ciil…". Saya meminta maaf sama kamu Gie, saya tidak pernah bicara sekasar itu. Tapi Ciil, sahabat kamu itu, sungguh keterlaluan!
Soe Hok Gie yang manis..
Begitulah hidup berjalan sepeninggal kamu. Mapala UI semakin berkembang. GDUI semakin dinamis, teman-teman sudah banyak yang jadi sarjana dan sudah banyak yang menikah dan punya anak.
Saya masih bergulat dengan kuliah di UI yang akan selesai sebentar lagi. Ciil masih tetap seperti yang dulu. Sekarang saya sudah mau diajak demonstrasi oleh Ciil, antara lain menurunkan harga minyak. Tapi karena harga minyak tidak turun-turun malahan naik seperti rok mini saya, saya bilang ke Ciil saya ogah demo, kulit saya jadi hitam, rambut saya sering kotor, dan uang jajan saya sering habis buat mentraktir Ciil dan Dede (Profesor Chaidir Makarim) makan bakso dan es campur Salemba.
Memang antara kamu dan Ciil banyak persamaannya. Bedanya, menurut saya, kamu lebih humoris, Ciil itu political animal dan pendobrak. Kamu kecil, eh si Ciil gendut. Kamu terasa lebih menyejukkan, kalau Ciil itu seperti pusaran air.
Entah kenapa ya Gie, meskipun saya masih suka kesal melihat Ciil, akhir-akhir ini selalu ada keinginan untuk berjumpa dengan dia. Mungkin saya sudah lebih terbiasa dengan caranya dia yang "semau gue", tapi sebenarnya mengasyikkan. Tapi hanya sampai di situ saja. Tidak ada hal lain yang menarik hati saya terhadap Ciil.
Soe Hok Gie yang manis..
Andai kamu masih ada, pastilah kamu juga masuk penjara seperti halnya Ciil yang dianggap terlibat peristiwa Malari. Dia bahkan dianggap master mind peristiwa Malari. Saya sedang di tengah-tengah pembuatan skripsi S1 dan riset, ketika Ciil ditangkap dan diadili. Dia dihukum 6,5 tahun untuk suatu kesalahan yang menurut saya tidak bisa dibuktikan sama sekali. Tapi itulah politik, bisa ke sana ke mari. Herannya Ciil bersikap biasa-biasa saja, bahkan dia bilang, 'The beauty of politics is the art of possibilities and opportunities.' Entahlah Gie, yang saya lihat di politik itu kebanyakan oportunis.
Begitupun, kamu dan dua berputar dengan cepat dalam permainan politik. Saya pikir-pikir kembali ya, mungkin karena otak saya pas-pasan dan pemalas makanya kamu dan Ciil menyukai dan gemes dengan saya. Karena kalian berdua menemukan dunia yang kalian tidak miliki. Kalian terlalu serius ingin mengubah dunia, sedangkan saya menikmati dunia itu apa adanya. Saya berdansa twist and jive, pake rok mini, pake hot pants, mengajukan pertanyaan dan komentar yang naif yang membuat kamu dan Ciil gregetan dengarnya, tapi tetap juga nempel ke saya. Ini analisis ke-GR-an saya, Gie.
Sesungguhnya saya gembira ketika Ciil ditangkap, karena dengan demikian dia tidak akan pernah mengganggu saya lagi. Waktu dia diadili, saya hadir untuk mengatakan bahwa sekarang dia tidak bisa lagi datang ke Sastra. Tangannya diborgol waktu itu. Wajahnya tenang saja ketika saya ucapkan kalimat itu. Tiba-tiba dia bilang sama pengawal penjara yang menemani. "Kenalkan tunangan saya… Apa kabar Ker? Skripsi kamu sudah sampai di mana? Apa yang bisa gue bantu? Sini tangan lu gue pegang, gue udah kangen nih.."
Saya terkesima, tak bisa ngomong. Perasaan jengkel, sedih, iba melihat Ciil, tiba-tiba datang menyergap. Saya bertanya dalam hati patutkah saya "bergembira" melihat dia dipenjara begitu rupa, hanya karena saya ingin bebas dari dia? Rasanya tidak patut, dan itu sesungguhnya bukan sifat saya. Maafkan saya, Gie.
Akhirnya skripsi S1 saya selesai dengan hasil memuaskan. Tahun Masehi 1976, saya menjadi sarjana dengan gelar dra. Kamu pasti senang sekali dengan berita ini, iya kan Gie? Ini kan berita nasional di fakultas. Bayangkan yang namanya si Ker bisa jadi doktoranda. Sedangkan waktu saya bisa naik tingkat II saja, orang-orang pada gempar. Sampai-sampai, mereka memotret papan tulis di fakultas yang memuat nama-nama mahasiswa yang naik tingkat termasuk nama saya di dalamnya.
Daniel (Dr Daniel Dhakidae) ngajak saya ke Ciil buat memberitahu kabar gembira itu. Tadinya saya ogah, tapi Daniel bilang saya harus ke Ciil. Bukankah Ciil banyak bantu saya sehingga bisa jadi sarjana? Betul juga ya, waktu saya sampaikan saya sudah jadi sarjana, Ciil tersenyum. Dia bilang begini, "Selamat ya Ker. Siapa bilang elu enggak bisa jadi sarjana? Elu kan Cuma males aja. Maunya pacaran dan pesta melulu. Mane cowok-cowok lu kagak ada yang bermutu…"
Aduh, Soe Hok Gie, kok mulut Ciil itu enggak ada "perangko"-nya, seenaknya ngomong, enggak ada halusnya sama sekali. Kok dia itu enggak insyaf ya, kalau lagi di penjara? Sekarang dia kayak kamu juga, suka narik-narik rambut saya. Cuma yang paling dia sukai adalah menggenggam tangan saya.
Ciil tidak pernah cemburu dengan pacar-pacar saya. Katanya biarpun saya punya pacar berenteng (banyak), biarpun semua cowok di UI mau saya gilir, dia tidak peduli dan dia tidak hitung itu semua. Ini kata Ciil, sahabat kamu itu, dengan congkaknya.
Akan tetapi saya tahu kelemahannya, Gie. Dia amat sangat cemburu sama kamu. Begitu rupa dia kagum, respek dan menyukai kamu, begitu rupa pula dia cemburu sama kamu, mungkin dia beranggapan bahwa saya adalah gadismu… dan akan selalu menjadi gadismu.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar