Sabtu, 05 Januari 2013

[berita_nusantara] MaTA : Dana Aspirasi Berpeluang terjadinya Korupsi Politik

 

Pers Release
DANA ASPIRASI BERPELUANG TERJADI KORUPSI POLITIK
Gubernur Aceh Harus Tegas
 
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak Gubernur Aceh untuk tidak menyetujui dan mengalokasikan dana dan program aspirasi bagi 69 anggota DPRA. Ini penting dilakukan karena MaTA melihat dana dan program aspirasi tersebut berpeluang terjadinya korupsi politik. Sehingga nantinya akan dimanfaatkan oleh sejumlah dewan untuk pencitraan menjelang pemilu 2014. Dan juga dikhawatirkan dana dari program tersebut akan digunakan untuk mengisi kantong-kantong kampanye partai politik kedepan.
 
Dalam hal ini, Gubernur selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Aceh harus tegas untuk tidak menyetujui dana ini karena ketegasan tersebut akan menjadi bukti awal bahwa Gubernur Aceh benar-benar berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Dan ini sejalan dengan komitmen awal Gubernur Aceh menggandeng KPK untuk melakukan upaya-upaya pencegahan korupsi di Aceh. Tak hanya itu, MaTA juga meminta kepada Gubernur Aceh untuk menginstruksi kepada Bupati/Walikota agar membatalkan pengalokasian dana dan program aspirasi tersebut di masing-masing kabupaten/kota.
 
Berdasarkan catatan MaTA, sejak digulirkannya dana dan program aspirasi telah memicu permasalahan-permasalahan dalam penyalurannya. Sadar atau tidak, ketika mengusulkan dana aspirasi anggota dewan sedang menggadaikan makna hakiki Dewan Perwakilan Rakyat sebuah lembaga perwakilan rakyat. Dengan perilaku demikian itu, hampir dapat dipastikan bahwa dalam proses pembahasan anggaran, Anggota Dewan kehilangan daya kritisnya membahas program-program yang diajukan Pemerintah Daerah karena adanya "tawar menawar" nominal dana aspirasi dengan nominal dana yang akan dikelola eksekutif.
 
Ada beberapa point penting, yang menjadikan kita dari elemen sipil tidak sepakat serta dengan terus menerus mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak mengalokasikan dana aspirasi bagi legislatif :
 
  1. Dana Aspirasi Menyuburkan Calo Anggaran. DPRA tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi daerah pemilihannya.  Masyarakat dari daerah pemilihan berlomba-lomba membuat proposal dan melobby anggota dewan dari daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh dana aspirasi. Hanya segelintir orang yang memiliki "koneksi" dengan anggota dewan yang dapat memperlancar proses pengurusan dana aspirasi tersebut, dan kemudian adanya "fee" kepada calo-calo yang melakukan pengurusan tersebut. Besarnya dana aspirasi akan sangat ditentukan oleh kekuatan lobby dan akses para konstituen daerah pemilihan terhadap anggota Dewan.
 
  1. Dana  Aspirasi Memperbesar Jurang Kemiskinan Antar Daerah, Alasan Dana Aspirasi untuk memeratakan anggaran juga tidak masuk akal. Adanya dana aspirasi berdasarkan daerah Pemilihan, justru akan memperlebar jurang kemiskinan antar daerah, karena anggaran hanya terpusat pada daerah-daerah yang banyak penduduknya (sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil) dibandingkan daerah yang miskin. Selain itu, dana aspirasi juga menimbulkan kesenjangan di tingkat masyarakat. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki koneksi dengan anggota dewan yang dapat mengakses dana aspirasi tersebut.
 
  1. Dana Aspirasi mengacaukan Sistem Perencanaan Penganggaran dan Penganggaran. Jika pemerintah Aceh terus mengalokasikan dana aspirasi bagi dewan, hal ini akan melemahkan bahkan mengacaukan sistem perencanaan pembangunan (MUSRENBANG) partisipatif yang telah dibangun selama ini. Dana asprasi yang dipegang kendali oleh Anggota Dewan akan menguntungkan orang-orang yang memiliki relasi dengan anggota dewan tersebut. sehingga kemerataan pembangunan yang diharapkan dengan adanya dana aspirasi adalah mimpi mustahil untuk diwujudkan. Sistem Perencanaan Penganggaran menggunakan pendekatan level Pemerintahan mulai dari Kab/kota, Propinsi dan Pusat. Sementara dana aspirasi mempergunakan pendekatan daerah pemilihan yang tidak identik dengan sistem pemerintahan.
 
  1. Dana Aspirasi Tidak Sesuai dengan Pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja. Sejak tahun 2003 Indonesia memiliki UU No 17 tahun 2003 tentang Keuanan Negara, yang telah mengubah paradigma penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input atau anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian  hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Dengan adanya dana aspirasi yang dibagi rata menurut daerah Pemilihan, jelas bahwa anggota DPRA masih menggunakan paradigma lama anggaran yang hanya berorientasi pada input atau sekedar menghabiskan anggaran tanpa melihat kinerja yang akan dicapai.
 
  1. Dana Aspirasi Tidak Memiliki Landasan Hukum. Jika dana aspirasi ini kembali dialokasikan pada APBA Tahun 2013, maka dapat dikatakan dana aspirasi ini merupakan dana illegal karena tidak memiliki dasar hukum. Pasal 17 ayat (2) UU No 17/ 2003 menyatakan Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah, tidak berdasarkan daerah pemilihan, oleh karena DPRA tidak memiliki instrumen perencanaan anggaran yang merupakan domain eksekutif.
 
  1. DPR Tidak Memiliki Hak BudgetAnggota dewan yang seharusnya mengawasi anggaran rakyat yang dikelola eksekutif, namun kini malah ikut mengelola dana APBK. Mengelola disini tidak hanya memegang uang, namun menentukan penerima dan lokasi dana dikucurkan juga merupakan bagian dari pengelolaan anggaran. Disini semakin jelas, bahwa anggota dewan selaku Legeslatif telah mengambil peran-peran Eksekutif. Anggota Dewan di level Provinsi maupun Kabupaten/ Kota selama ini salah kaprah  menyatakan memiliki hak budget. Anggota Dewan level Provinsi maupun Kabupaten/ Kota  hanya memiliki fungsi anggaran yang dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Qanun yang diajukan oleh Gubernur maupun Bupati/ Walikota. Jadi tidak ada hak anggota dewan untuk memintah jatah alokasi anggaran dana aspirasi.
 
  1. Dana Aspirasi Melanggengkan Status Quo. Menjelang Pemilu Legeslatif 2014 jelas dana aspirasi akan menjadi efektif sebagai "pork barrel" untuk menarik simpati Pemilih. Dan juga, dana ini di khawatirkan akan mengalir ke kantong dana kampanye kedepan. Jelas ini akan menghasilkan kontestasi politik yang tidak sehat antara peserta Pemilu dan hanya memberikan peluang akan berkuasanya DPRA yang status quo.
 
Dari uraian beberapa alasan diatas, menunjukkan bahwa pengalokasian dana aspirasi sudah saatnya dihentikan. Disini kami melihat ada permasalahan penting yang harus segera di benah kedepan, diantaranya:
 
PERTAMA; Kami dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dengan tegas mendesak Gubernur Aceh untuk tidak menyetujui alokasi dana aspirasi bagi anggota DPRA.Hal ini menjadi sangat penting untuk titik awal pencegahan korupsi di Aceh sebagaimana yang di gaungkan oleh Gubernur Aceh di awal-awal pelantikannya. Jika Pemerintah Aceh, masih tetap mengalokasikan dana aspirasi bagi legislatif, hal ini akan sangat bertolak belakang dengan komitmen Gubernur Aceh yang mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan langkah-langkah preventif (pencegahan) korupsi di Aceh. Sementara KPK sendiri saat berkunjung ke Aceh pada pertengahan November 2012 lalu dengan tegas menyatakan bahwa Dana Aspirasi itu dirancang hanya untuk mempermudah korupsi. Hal lain yang juga disampaikan KPK saat itu adalah sistem penggunaan dana aspirasi sangat lemah dan banyak masalah. Seharusnya ini menjadi pertimbangan Gubernur Aceh untuk menghentikan pengalokasian dana aspirasi bagi anggota DPRA. Sehingga semangat pemberantasan korupsi yang pernah di gaungkan oleh Gubernur tidak menjadi "isapan jempol" belaka.
 
KEDUA; Mendorong Anggota DPRA maupun DPRK untuk hadir dalam pelaksanaan MUSRENBANG di daerah konstituen dan mengawal usulan-usulan dari daerah konstituen. Masyarakat dapat mengusulkan usulan-usulannya melalui wadah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) baik di level Gampong, Kecamatan, Kabupaten/ Kota maupun Provinsi. yang di selenggarakan eksekutif dalam hal ini Bappeda Kabupaten/ Kota maupun Provinsi. Dalam proses musrenbang tersebut dipadukan usulan antara proses partisipatif dari masyarakat, dengan perencanaan eksekutif (proses teknokratis).
 
Seharusnya anggota DPRA/ DPRK lebih memperkuat proses musrenbang tersebut dengan mengawal usulan-usulan masyarakat di wilayah konstituen dari level musrenbang gampong hingga kabupaten bagi anggota DPRK maupun pelaksanaan musrenbang di level provinsi bagi Anggota DPRA. Jika pengawalan usulan-usulan dari daerah konstituen ini benar-benar dilaksanakan oleh Legeslatif, maka perencanaan yang lebih baik dan menyerap seluruh aspirasi masyarakat dapat terwujudkan. Dengan demikian tidak perlu adanya alasan untuk mengalokasikan dana aspirasi yang bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan daerah konstituen anggota dewan.
 
KETIGA; Kita mengharapkan BPK RI untuk melakukan audit khusus terhadap proyek-proyek yang di danai melalui dana aspirasi Anggota Dewan di Aceh. Audit khusus ini dirasa penting untuk melihat transparansi dan akuntabilas pengelolaan anggaran daerah. Karena selama ini banyak dana aspirasi yang disinyalir disalurkan kepada lembaga-lembaga fiktif dan penyalurannya yang tidak tepat sasaran.
 
 
Banda Aceh, 6 Januari 2013
 
 
Badan Pekerja
Masyarakat Trasnparansi Aceh (MaTA)
 
dto
 
HAFIDH
Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik



__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar