"RUU Kamnas Bernuansa Sekuritisasi dan DPR Harus Mengembalikannya ke Pemerintah"
Draft RUU Keamanan Nasional akhirnya kembali diserahkan pemerintah kepada Parlemen tanpa ada perubahan sedikitpun. Padahal sebelumnya, Pansus RUU Kamnas di DPR telah memutuskan mengembalikan draft RUU itu ke pemerintah untuk diperbaiki. Senada dengan DPR, dewan perwakilan daerah dan koalisi masyarakat sipil juga mendesak agar pemerintah merombak total RUU Kamnas sebelum kembali diajukan ke parlemen.
Kami menilai pengembalian draft RUU Kamnas oleh pemerintah ke parlemen tanpa adanya perubahan merupakan bentuk arogansi pemerintah. Keputusan pansus RUU Kamnas dan juga rekomendasi DPD yang meminta agar pemerintah memperbaiki draft yang diajukannya jelas-jelas tidak dihiraukan. Masyarakat sipil tentu juga kecewa dengan langkah pemerintah mengingat RUU Kamnas versi pemerintah tidak hanya bermasalah dalam persoalan redaksional tetapi juga substansial. Kurang lebih terdapat 25 Pasal dan ayat yang bermasalah dalam RUU Keamanan Nasional.
Draft RUU Kamnas versi pemerintah mengandung nuansa sekuritisasi. Sekuritisasi merupakan versi ekstrim dari politisasi dimana pola pergerakan sekuritisasi membawa politik demokrasi melewati batas aturan yang telah diterapkan. Sekuritisasi dalam hal ini, berada dititik persilangan antara implementasi demokrasi oleh sebuah pemerintahan atau tindakan otoriter untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
Sekuritisasi berupaya mendefinisikan ulang pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kepada opsi-opsi yang cepat dan koersif, seringkali berbentuk pengerahan militer, dan men-delegitimasi solusi-solusi jangka panjang dan negosiasi. Nuansa sekuritisai dapat terlihat dari pemberian kewenangan khusus penangkapan dan penyadapan kepada TNI dan BIN (penjelasan Pasal 54 huruf e jo Pasal 20). Pemberian kewenangan judicial kepada aktor keamanan yang bukan menjadi bagiaan dari aparat penegak hukum itu, bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan mengancam penegakan HAM dan kehidupan demokrasi.
Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Dalam konteks ini, BIN dan TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga keliru bila diberi kewenangan-kewenangan judicial.
Spektrum, jenis dan bentuk ancaman keamanan nasional dalam RUU ini juga terlalu luas, bersifat karet dan multitafsir. Semisal penjelasan tentang bentuk ancaman tidak bersenjata dalam Pasal 17 yang mengkategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi sebagai bentuk ancaman keamanan nasional jelas-jelas karet dan mulltitafsir.
Dengan atas nama ancaman terhadap keamanan nasional yang luas itu maka negara dapat saja mengidentifikasi kelompok-kelompok yang kritis terhadap kekuasaan sebagai bagian dari ancaman keamanan nasional. Bisa saja buruh, petani dan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut hak-haknya serta media yang kritis terhadap kekuasaan dapat dikategorikan sebagaai bentuk ancaman keamanan nasional karena dianggap telah menghancurkan nilai-nilai moral dan etika bangsa atau masuk dalam kategori ancaman pemogokan masal. Di sini RUU kamnas tidak hanya mengancam kebebasan sipil tetapi juga kebebasan pers itu sendiri.
Tidak hanya itu, parlemen yang membahas dan membentuk undang-undang jika berlawanan pandangannya dengan pandangan pemerintah dapat juga dikategorikan sebagai bentuk ancaman keamanan nasional dengan alasan telah melakukan diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi.
RUU kamnas juga telah menyiapkan perangkat eksesifnya dengan memberikan kewenangan pengendalian keamanan nasional kepada dewan keamanan nasional serta ditopang dengan forum koordinasi keamanan nasional di daerah. Dewan keamanan nasional (DKN) seharunya tidak boleh memiliki kewenangan untuk mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional karena kewenangan pengendalian tertinggi berada ditangan Presiden. Dewan keamanan nasional harusnya hanya menjadi penasihat presiden (advisory council).
Pemberian kewenangan mengendalikan kepada DKN yang diikuti dengan pembentukan forum keamanan di daerah sama saja menghidupkan kembali Kopkamtib atau Bakorstranas dan Bakorinda yang pernah hidup pada masa orde baru dan pada masa reformasi telah dibubarkan.
Koalisi medesak kepada parlemen khususnya Pansus RUU kamnas untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Kamnas dan mengembalikan RUU Kamnas melalui rapat paripurna DPR. Dengan demikian pansus RUU kamnas tetap konsisten atas keputusan pertama pansus sehingga tidak akan menelan ludahnya sendiri pada saat rapat pembahasan RUU Kamnas.
Jakarta, 25 September 2012
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Imparsial, Kontras, YLBHI, IDSPS, Elsam, ICW, LBH Masyarakat, AJI, HRWG, Ridep Institute, Setara Institute, Lespersi
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar