Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Memerangi Pelacuran Dan Pornografi
Selama ini, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sering mendapat stigma sebagai 'perempuan lacur' dan 'tak bermoral'. Stigma ini dipelihara rezim Orde Baru selama puluhan tahun.
Dalam versi Orde Baru, Gerwani dianggap menggelar pesta seks di malam 1 Oktober 1965. Tak hanya itu, dengan berkalung bunga, perempuan-perempuan itu menari erotis. Tarian versi tentara itu disebut tarian Harum Bunga.
Rezim Orde Baru banyak memanipulasi sejarah. Bahkan, supaya bisa berkuasa dan bertahan, rezim yang dikomandoi oleh Soeharto ini menciptakan sejarah bohong. Sejarah bohong tersebut diajarkan disekolah-sekolah, dituliskan di buku-buku, dikampanyekan terus melalui media, dan dibuatkan film-nya.
Setelah rezim Orde Baru ditumbangkan, perlahan-lahan setiap kebohongan itu terkuak. Termasuk cerita bohong mengenai Gerwani sebagai kumpulan perempuan lacur dan tarian Harum Bunga-nya. Semua itu hanya cerita fitnah Orba untuk mendiskreditkan organisasi perempuan paling revolusioner di jamannya ini.
Penulis dan peneliti asal Belanda, Saskia Eleonora Wieringa, sedikit menyingkap fakta mengenai Gerwani melalui buku bertajuk Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Dalam buku setebal 542 halaman itu tersingkap sekilas cerita mengenai perjuangan Gerwani melawan pelacuran.
Menurut Wieringa, yang telah melakukan wawancara dengan aktivis Gerwani dan meneliti dokumen-dokumen organisasi mereka, masalah pelacuran menjadi perhatian utama Gerwani. Dalam kampanyenya, Gerwani selalu mengambil contoh Uni-Soviet dan Tiongkok sebagai negeri yang sukses memberantas pelacuran. Para pelacur pun direhabilitasi di kedua negeri sosialis tersebut.
Malahan, pada pemilu 1955, isu pelacuran menjadi isu kampanye Gerwani. Menurut aktivis Gerwani, pelacuran bukan kesalahan perempuan, kondisi sosial dan ekonomi-lah yang memaksa mereka menjadi pelacur. Gerwani yakin, pelacuran akan lenyap di Indonesia apabila sosialisme sudah dipraktekkan.
Selain soal pelacuran, Gerwani juga aktif berkampanye melawan pornografi. Salah satu media penyebaran pornografi itu adalah media dan film-film. Namun, bagi Gerwani, penyebaran pornografi ini merupakan bagian dari strategi kebudayaan imperialis. Pornografi juga tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme.
Selain itu, kapitalisme menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan objek eksploitasi untuk kepentingan bisnis. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan ideologi seksisme yang berkembang di dalam masyarakat kapitalistik. Seksisme merupakan ideologi yang dikembangkan kapitalisme untuk mencari pembenaran atas tindakan mengeksploitasi perempuan, baik sebagai tenaga kerja murah, sebagai pasar, maupun sebagai komoditas. Di sini, Pornografi hadir karena pandangan seksisme dalam masyarakat kapitalis sangat membutuhkan media ekspresi yang dapat dikomoditaskan.
Di sinilah perbedaan Gerwani dan ormas-ormas perempuan berbasis keagamaan. Bagi Gerwani, pornografi berakar pada sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan objek menggali keuntungan. Sementara bagi ormas-ormas keagamaan, pornografi ditempatkan sebagai masalah moralitas, yakni bentuk penyimpangan moral dari si pelaku.
Pada tahun 1950-an, Gerwani aktif berkampanye menentang film-film yang mempromosikan kebudayaan imperialis, terutama film-film Amerika Serikat (AS). Salah satu film yang diprotes berjudul Rock 'n Roll, yang dianggap bisa meracuni pikiran anak-anak muda. Film lain yang diprotes semisal Rock Around the Clock (1956) dan Don't Knock the Rock.
Tak hanya film asing, Gerwani juga mengecam film Indonesia yang diangap tidak sejalan dengan idealisme perempuan Indonesia. Salah satunya adalah film berjudul Wanita Indonesia, yang menggambarkan kehidupan perempuan di DPR dan gerakan perempuan. Film itu dikecam karena dianggap menyebarkan gaya hidup jor-joran, ambisi pribadi, dan pemupukan karir kosong.
Pada tahun 1962, masalah imperialisme kebudayaan menjadi masalah nasional yang penting. Saat itu, kampanye nation and character building juga sedang digalakkan pemerintahan Soekarno. Sebagai bentuk resistensi terhadap film imperialis, Gerwani mendukung berdirinya Lembaga Film Rakyat. Lembaga ini diharapkan bisa menjadi senjata perlawanan yang efektif untuk melawan penetrasi kebudayaan imperialis.
Penekanan Gerwani melawan imperialisme kebudayaan AS, sebagaimana diungkapkan Wieringa, sangat terkait dengan posisi politik Gerwani saat itu yang menempatkan imperialisme sebagai musuh pokok perjuangan rakyat Indonesia. Sasaran utamanya adalah imperialisme AS, yang sangat dominan dan paling reaksioner kala itu.
Kendati demikian, Gerwani tidak hanya rajin menghalau kebudayaan imperialis yang membawa pengaruh destruktif, tetapi juga getol memerangi sisa-sisa budaya feodal dalam masyarakat kita. Gerwani aktif memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal, perkawinan paksa, menentang poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan berbagai tradisi kolot yang memandang rendah kaum perempuan.
Di sini, Gerwani sangat tajam dalam membentangkan perbedaan antara imperialisme dan feodalisme dalam melihat perempuan. Feodalisme hanya memandang perempuan sebagai 'bunga hampa tanpa berpikir tentang dirinya', sedangkan imperialisme menempatkan perempuan tak ubahnya 'barang dagangan untuk diperjual-belikan'.
Terkait pandangannya tentang keluarga ideal, Gerwani berkeinginan mewujudkan 'keluarga manipolis sejati', yakni keluarga yang menempatkan suami-istri dalam posisi setara dan saling bekerjasama, punya kesadaran politik, dan mengabdi pada penyelesaian revolusi.
Di sini, seorang perempuan tidak hanya muncul sebagai seorang ibu, tetapi juga tampil sebagai pejuang. Karena itu, harus ada pembagian kerja yang adil di dalam rumah tangga, sehingga si istri bisa terlibat aktif dalam perjuangan.
Selama ini, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sering mendapat stigma sebagai 'perempuan lacur' dan 'tak bermoral'. Stigma ini dipelihara rezim Orde Baru selama puluhan tahun.
Dalam versi Orde Baru, Gerwani dianggap menggelar pesta seks di malam 1 Oktober 1965. Tak hanya itu, dengan berkalung bunga, perempuan-perempuan itu menari erotis. Tarian versi tentara itu disebut tarian Harum Bunga.
Rezim Orde Baru banyak memanipulasi sejarah. Bahkan, supaya bisa berkuasa dan bertahan, rezim yang dikomandoi oleh Soeharto ini menciptakan sejarah bohong. Sejarah bohong tersebut diajarkan disekolah-sekolah, dituliskan di buku-buku, dikampanyekan terus melalui media, dan dibuatkan film-nya.
Setelah rezim Orde Baru ditumbangkan, perlahan-lahan setiap kebohongan itu terkuak. Termasuk cerita bohong mengenai Gerwani sebagai kumpulan perempuan lacur dan tarian Harum Bunga-nya. Semua itu hanya cerita fitnah Orba untuk mendiskreditkan organisasi perempuan paling revolusioner di jamannya ini.
Penulis dan peneliti asal Belanda, Saskia Eleonora Wieringa, sedikit menyingkap fakta mengenai Gerwani melalui buku bertajuk Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Dalam buku setebal 542 halaman itu tersingkap sekilas cerita mengenai perjuangan Gerwani melawan pelacuran.
Menurut Wieringa, yang telah melakukan wawancara dengan aktivis Gerwani dan meneliti dokumen-dokumen organisasi mereka, masalah pelacuran menjadi perhatian utama Gerwani. Dalam kampanyenya, Gerwani selalu mengambil contoh Uni-Soviet dan Tiongkok sebagai negeri yang sukses memberantas pelacuran. Para pelacur pun direhabilitasi di kedua negeri sosialis tersebut.
Malahan, pada pemilu 1955, isu pelacuran menjadi isu kampanye Gerwani. Menurut aktivis Gerwani, pelacuran bukan kesalahan perempuan, kondisi sosial dan ekonomi-lah yang memaksa mereka menjadi pelacur. Gerwani yakin, pelacuran akan lenyap di Indonesia apabila sosialisme sudah dipraktekkan.
Selain soal pelacuran, Gerwani juga aktif berkampanye melawan pornografi. Salah satu media penyebaran pornografi itu adalah media dan film-film. Namun, bagi Gerwani, penyebaran pornografi ini merupakan bagian dari strategi kebudayaan imperialis. Pornografi juga tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme.
Selain itu, kapitalisme menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan objek eksploitasi untuk kepentingan bisnis. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan ideologi seksisme yang berkembang di dalam masyarakat kapitalistik. Seksisme merupakan ideologi yang dikembangkan kapitalisme untuk mencari pembenaran atas tindakan mengeksploitasi perempuan, baik sebagai tenaga kerja murah, sebagai pasar, maupun sebagai komoditas. Di sini, Pornografi hadir karena pandangan seksisme dalam masyarakat kapitalis sangat membutuhkan media ekspresi yang dapat dikomoditaskan.
Di sinilah perbedaan Gerwani dan ormas-ormas perempuan berbasis keagamaan. Bagi Gerwani, pornografi berakar pada sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan objek menggali keuntungan. Sementara bagi ormas-ormas keagamaan, pornografi ditempatkan sebagai masalah moralitas, yakni bentuk penyimpangan moral dari si pelaku.
Pada tahun 1950-an, Gerwani aktif berkampanye menentang film-film yang mempromosikan kebudayaan imperialis, terutama film-film Amerika Serikat (AS). Salah satu film yang diprotes berjudul Rock 'n Roll, yang dianggap bisa meracuni pikiran anak-anak muda. Film lain yang diprotes semisal Rock Around the Clock (1956) dan Don't Knock the Rock.
Tak hanya film asing, Gerwani juga mengecam film Indonesia yang diangap tidak sejalan dengan idealisme perempuan Indonesia. Salah satunya adalah film berjudul Wanita Indonesia, yang menggambarkan kehidupan perempuan di DPR dan gerakan perempuan. Film itu dikecam karena dianggap menyebarkan gaya hidup jor-joran, ambisi pribadi, dan pemupukan karir kosong.
Pada tahun 1962, masalah imperialisme kebudayaan menjadi masalah nasional yang penting. Saat itu, kampanye nation and character building juga sedang digalakkan pemerintahan Soekarno. Sebagai bentuk resistensi terhadap film imperialis, Gerwani mendukung berdirinya Lembaga Film Rakyat. Lembaga ini diharapkan bisa menjadi senjata perlawanan yang efektif untuk melawan penetrasi kebudayaan imperialis.
Penekanan Gerwani melawan imperialisme kebudayaan AS, sebagaimana diungkapkan Wieringa, sangat terkait dengan posisi politik Gerwani saat itu yang menempatkan imperialisme sebagai musuh pokok perjuangan rakyat Indonesia. Sasaran utamanya adalah imperialisme AS, yang sangat dominan dan paling reaksioner kala itu.
Kendati demikian, Gerwani tidak hanya rajin menghalau kebudayaan imperialis yang membawa pengaruh destruktif, tetapi juga getol memerangi sisa-sisa budaya feodal dalam masyarakat kita. Gerwani aktif memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal, perkawinan paksa, menentang poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan berbagai tradisi kolot yang memandang rendah kaum perempuan.
Di sini, Gerwani sangat tajam dalam membentangkan perbedaan antara imperialisme dan feodalisme dalam melihat perempuan. Feodalisme hanya memandang perempuan sebagai 'bunga hampa tanpa berpikir tentang dirinya', sedangkan imperialisme menempatkan perempuan tak ubahnya 'barang dagangan untuk diperjual-belikan'.
Terkait pandangannya tentang keluarga ideal, Gerwani berkeinginan mewujudkan 'keluarga manipolis sejati', yakni keluarga yang menempatkan suami-istri dalam posisi setara dan saling bekerjasama, punya kesadaran politik, dan mengabdi pada penyelesaian revolusi.
Di sini, seorang perempuan tidak hanya muncul sebagai seorang ibu, tetapi juga tampil sebagai pejuang. Karena itu, harus ada pembagian kerja yang adil di dalam rumah tangga, sehingga si istri bisa terlibat aktif dalam perjuangan.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar