Khofifah, Kartel Politik, dan Degradasi Demokrasi
by Tom Saptaatmaja
Nyaris semua media pada Senin, 15 Juli, kemarin mengekspos tersingkirnya calon gubernur Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawireja (Berkah) dari bursa pemilihan Gubernur Jawa Timur pada 29 Agustus 2013. KPUD Jawa Timur, dalam rapat pleno kemarin, menyimpulkan bahwa pasangan Berkah tidak memenuhi syarat maju, dengan rincian tiga komisioner KPUD menilai tak memenuhi syarat, sedangkan dua lainnya menilai memenuhi syarat (Baca Tempo.co, 15/7).
Singkatnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, pasangan Berkah tidak bisa melaju ke putaran pilkada Jawa Timur karena tidak berhasil mengumpulkan dukungan 15 persen suara dari partai-partai pendukungnya. Dalam berbagai wawancara di radio dan televisi, Khofifah menyebutkan bahwa dirinya disingkirkan oleh politik kartel.
Tentang politik kartel, dalam sebuah bedah buku Melawan Pembajakan Demokrasi pada 7 Mei lalu di Surabaya, Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan, Rizal Ramli, sudah meminta Soekarwo tidak memainkan politik kartel. Menurut mantan Menko Perekonomian itu, istilah kartel berasal dari ilmu ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu, misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam masyarakat kapitalis. Namun lalu terjadi pergeseran makna kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik, yakni kekuatan politik yang terdiri atas koalisi banyak partai, guna mengganjal calon tertentu agar tidak bisa maju dalam kontes pemilu.
Politik kartel
Dalam filsafat atau ilmu politik, sebenarnya wacana politik kartel bukan merupakan hal baru. John Atkinson Hobson, seorang ekonom Inggris liberal-kiri, pernah memperkenalkan konsep kartel-ekonomi modern sebagai tanggapan terhadap situasi ekonomi antara 1902 dan 1938. Lalu, ada pula Karl Kautsky, pakar demokrasi sosial, yang sejak 1912 menyebutkan bahwa negara-negara besar, seperti Inggris dan Jerman, pernah membentuk kerja sama sebagai "negara kartel" demi memenangi Perang Dunia II.
Sedangkan konsep partai kartel pertama dimunculkan pada 1992 oleh Peter Mair dan Richard S. Katz dalam beberapa karya mereka, antara lain dalam "Changing Models of Party Organization and Party Democracy". Konsep partai kartel merujuk pada kehadiran partai politik sebagai sarana kerja sama atau "kolusi" berbagai pihak demi meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan yang sudah diraih.
Kemudian gagasan di atas dipertegas oleh Daniel Katz dan Peter Mair pada 1995, yang mencermati fenomena munculnya partai-partai baru yang disebut sebagai partai kartel. Partai kartel semula merupakan partai massa. Partai massa kerap tersingkir dalam kontes politik yang disebut pemilu karena idealismenya untuk mewujudkan cita-cita politik, yakni "bonum commune". Namun, dalam perjalanan waktu, idealisme itu terjebak pragmatisme, sehingga mereka mau melakukan koalisi dengan partai penguasa demi mewujudkan politik kekuasaan dari penguasa yang sedang berkuasa.
Melihat dwskripsi politik kartel di atas, tampaknya tidak keliru jika Soekarwo dan pasangannya, Saifullah Yusuf (KarSa), jelas menerapkan politik kartel, apalagi melihat ada fakta bahwa pasangan ini didukung 32 partai. Kini calon inkumben tersebut bisa melenggang tanpa pesaing signifikan.
Kita tahu, dalam pemilihan gubernur lima tahun silam (2008), Khofifah adalah pesaing Pakde Karwo yang paling kuat. Bahkan ada yang menyebut kemenangan Khofifah dalam pemilihan lalu telah dirampas. Saat itu, Khofifah, yang berpasangan dengan Mudjiono, terpaksa tersingkir dalam tiga putaran setelah dicurangi pasangan KarSa. Kemenangan Khofifah dalam dua putaran sebelumnya berbalik drastis saat pemilihan ulang digelar di Pulau Madura pada putaran ketiga.
Dalam buku Melawan Pembajakan Demokrasi, Khofifah membeberkan praktek kecurangan pasangan KarSa pada putaran ketiga di Madura, di antaranya banyak anak-anak di bawah umur ikut mencoblos dan ada ratusan nama Romli dengan identitas yang sama ikut mencoblos. Pakar hukum dan advokat senior, Otto Hasibuan, yang juga hadir sebagai pembicara dalam bedah buku itu, menyebut kasus pilkada Jawa Timur 2008 sebagai kejahatan politik. Sayang, kejahatan politik ini dibiarkan. Ketika hukum tidak bisa ditegakkan secara benar, kejahatan politik terus berlangsung.
Memang, jika hendak ditelusuri lebih lanjut, munculnya politik kartel berasal dari adanya oligarki politik, yang bisa mempermainkan apa pun, termasuk hukum. Agaknya kecenderungan politik kartel ini makin kuat, karena konon juga terjadi dalam pilkada di daerah lain.
Degradasi demokrasi
Politik kartel jelas mendegradasi demokrasi yang hendak kita bangun. Simaklah, menurut sebuah survei tentang indeks demokrasi, Provinsi Jawa Timur berada di urutan ke-32 dari semua provinsi di Indonesia. Tentu survei tersebut mengecewakan, mengingat selama ini Jawa Timur memasok cukup banyak politikus ke kancah politik nasional.
Mungkin secara nasional, demokrasi kita juga merosot karena menonjolnya politik kartel yang ditandai dengan kuatnya pengaruh uang dan kekuasaan. Politik kita pun tersandera oleh mereka yang kuat. Dan, dengan uangnya, orang-orang kuat ini mencoba melanggengkan kekuasaan.
Memang, demokrasi dari proses pemilu atau pilkada tampak berjalan sesuai dengan prosedur dan persyaratan kaidah demokrasi, tapi sesungguhnya di dalam demokrasi itu terjadi praktek-praktek yang anti-demokrasi, seperti pembelian suara atau dukungan dari partai-partai politik. Meminjam istilah Rocky Gerung, pengajar filsafat Universitas Indonesia, Indonesia punya instalasi demokrasi yang lengkap. Ada partai, ada DPR, ada Mahkamah Konstitusi. Tapi yang mengalir di dalam instalasi itu adalah air kotor korupsi, air kotor kartel, dan sogok-menyogok. Maka, pemilu itu seperti pompa air. Terlihat bagus, tapi yang keluar itu "cacing-cacing".
Simak saja, KPU, yang menjadi salah satu instalasi atau perangkat demokrasi, konon dikabarkan ikut bermain. Ketua KPUD Jawa Timur pun sekarang dituduh telah disuap demi mengganjal pencalonan Khofifah (Tempo.co, 26/6).
Kini, banyak yang berpikir, meski disebut sebagai negara demokrasi, Indonesia tidak memiliki kedaulatan, baik di bidang ekonomi maupun politik. Maklum, berjalannya roda perekonomian dan politik di Indonesia tidak sesuai dengan konstitusi yang digagas Sukarno, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Praksis berdemokrasi kita hanya menyejahterakan segelintir elite, sementara kebanyakan warga kita justru dilanda penyakit "elite" alias ekonomi sulit.
Tidak aneh jika ada yang menyebutkan, daripada menghamburkan triliunan rupiah untuk pemilihan gubernur langsung, seperti yang berlangsung selama ini, lebih baik kembali ke model demokrasi perwakilan, sehingga gubernur atau wakilnya tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh para wakil rakyat di DPRD. Tapi mekanisme atau cara apa pun dalam demokrasi memang rentan mengundang masalah jika para pemimpinnya memang tidak memiliki integritas untuk mengabdi dan menyejahterakan rakyat.
baca juga :
4 keanehan Pilgub Jatim 2013, semua direkayasa? ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2013/08/medianusantara-4-keanehan-pilgub-jatim.html
Nyaris semua media pada Senin, 15 Juli, kemarin mengekspos tersingkirnya calon gubernur Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawireja (Berkah) dari bursa pemilihan Gubernur Jawa Timur pada 29 Agustus 2013. KPUD Jawa Timur, dalam rapat pleno kemarin, menyimpulkan bahwa pasangan Berkah tidak memenuhi syarat maju, dengan rincian tiga komisioner KPUD menilai tak memenuhi syarat, sedangkan dua lainnya menilai memenuhi syarat (Baca Tempo.co, 15/7).
Singkatnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, pasangan Berkah tidak bisa melaju ke putaran pilkada Jawa Timur karena tidak berhasil mengumpulkan dukungan 15 persen suara dari partai-partai pendukungnya. Dalam berbagai wawancara di radio dan televisi, Khofifah menyebutkan bahwa dirinya disingkirkan oleh politik kartel.
Tentang politik kartel, dalam sebuah bedah buku Melawan Pembajakan Demokrasi pada 7 Mei lalu di Surabaya, Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan, Rizal Ramli, sudah meminta Soekarwo tidak memainkan politik kartel. Menurut mantan Menko Perekonomian itu, istilah kartel berasal dari ilmu ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu, misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam masyarakat kapitalis. Namun lalu terjadi pergeseran makna kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik, yakni kekuatan politik yang terdiri atas koalisi banyak partai, guna mengganjal calon tertentu agar tidak bisa maju dalam kontes pemilu.
Politik kartel
Dalam filsafat atau ilmu politik, sebenarnya wacana politik kartel bukan merupakan hal baru. John Atkinson Hobson, seorang ekonom Inggris liberal-kiri, pernah memperkenalkan konsep kartel-ekonomi modern sebagai tanggapan terhadap situasi ekonomi antara 1902 dan 1938. Lalu, ada pula Karl Kautsky, pakar demokrasi sosial, yang sejak 1912 menyebutkan bahwa negara-negara besar, seperti Inggris dan Jerman, pernah membentuk kerja sama sebagai "negara kartel" demi memenangi Perang Dunia II.
Sedangkan konsep partai kartel pertama dimunculkan pada 1992 oleh Peter Mair dan Richard S. Katz dalam beberapa karya mereka, antara lain dalam "Changing Models of Party Organization and Party Democracy". Konsep partai kartel merujuk pada kehadiran partai politik sebagai sarana kerja sama atau "kolusi" berbagai pihak demi meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan yang sudah diraih.
Kemudian gagasan di atas dipertegas oleh Daniel Katz dan Peter Mair pada 1995, yang mencermati fenomena munculnya partai-partai baru yang disebut sebagai partai kartel. Partai kartel semula merupakan partai massa. Partai massa kerap tersingkir dalam kontes politik yang disebut pemilu karena idealismenya untuk mewujudkan cita-cita politik, yakni "bonum commune". Namun, dalam perjalanan waktu, idealisme itu terjebak pragmatisme, sehingga mereka mau melakukan koalisi dengan partai penguasa demi mewujudkan politik kekuasaan dari penguasa yang sedang berkuasa.
Melihat dwskripsi politik kartel di atas, tampaknya tidak keliru jika Soekarwo dan pasangannya, Saifullah Yusuf (KarSa), jelas menerapkan politik kartel, apalagi melihat ada fakta bahwa pasangan ini didukung 32 partai. Kini calon inkumben tersebut bisa melenggang tanpa pesaing signifikan.
Kita tahu, dalam pemilihan gubernur lima tahun silam (2008), Khofifah adalah pesaing Pakde Karwo yang paling kuat. Bahkan ada yang menyebut kemenangan Khofifah dalam pemilihan lalu telah dirampas. Saat itu, Khofifah, yang berpasangan dengan Mudjiono, terpaksa tersingkir dalam tiga putaran setelah dicurangi pasangan KarSa. Kemenangan Khofifah dalam dua putaran sebelumnya berbalik drastis saat pemilihan ulang digelar di Pulau Madura pada putaran ketiga.
Dalam buku Melawan Pembajakan Demokrasi, Khofifah membeberkan praktek kecurangan pasangan KarSa pada putaran ketiga di Madura, di antaranya banyak anak-anak di bawah umur ikut mencoblos dan ada ratusan nama Romli dengan identitas yang sama ikut mencoblos. Pakar hukum dan advokat senior, Otto Hasibuan, yang juga hadir sebagai pembicara dalam bedah buku itu, menyebut kasus pilkada Jawa Timur 2008 sebagai kejahatan politik. Sayang, kejahatan politik ini dibiarkan. Ketika hukum tidak bisa ditegakkan secara benar, kejahatan politik terus berlangsung.
Memang, jika hendak ditelusuri lebih lanjut, munculnya politik kartel berasal dari adanya oligarki politik, yang bisa mempermainkan apa pun, termasuk hukum. Agaknya kecenderungan politik kartel ini makin kuat, karena konon juga terjadi dalam pilkada di daerah lain.
Degradasi demokrasi
Politik kartel jelas mendegradasi demokrasi yang hendak kita bangun. Simaklah, menurut sebuah survei tentang indeks demokrasi, Provinsi Jawa Timur berada di urutan ke-32 dari semua provinsi di Indonesia. Tentu survei tersebut mengecewakan, mengingat selama ini Jawa Timur memasok cukup banyak politikus ke kancah politik nasional.
Mungkin secara nasional, demokrasi kita juga merosot karena menonjolnya politik kartel yang ditandai dengan kuatnya pengaruh uang dan kekuasaan. Politik kita pun tersandera oleh mereka yang kuat. Dan, dengan uangnya, orang-orang kuat ini mencoba melanggengkan kekuasaan.
Memang, demokrasi dari proses pemilu atau pilkada tampak berjalan sesuai dengan prosedur dan persyaratan kaidah demokrasi, tapi sesungguhnya di dalam demokrasi itu terjadi praktek-praktek yang anti-demokrasi, seperti pembelian suara atau dukungan dari partai-partai politik. Meminjam istilah Rocky Gerung, pengajar filsafat Universitas Indonesia, Indonesia punya instalasi demokrasi yang lengkap. Ada partai, ada DPR, ada Mahkamah Konstitusi. Tapi yang mengalir di dalam instalasi itu adalah air kotor korupsi, air kotor kartel, dan sogok-menyogok. Maka, pemilu itu seperti pompa air. Terlihat bagus, tapi yang keluar itu "cacing-cacing".
Simak saja, KPU, yang menjadi salah satu instalasi atau perangkat demokrasi, konon dikabarkan ikut bermain. Ketua KPUD Jawa Timur pun sekarang dituduh telah disuap demi mengganjal pencalonan Khofifah (Tempo.co, 26/6).
Kini, banyak yang berpikir, meski disebut sebagai negara demokrasi, Indonesia tidak memiliki kedaulatan, baik di bidang ekonomi maupun politik. Maklum, berjalannya roda perekonomian dan politik di Indonesia tidak sesuai dengan konstitusi yang digagas Sukarno, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Praksis berdemokrasi kita hanya menyejahterakan segelintir elite, sementara kebanyakan warga kita justru dilanda penyakit "elite" alias ekonomi sulit.
Tidak aneh jika ada yang menyebutkan, daripada menghamburkan triliunan rupiah untuk pemilihan gubernur langsung, seperti yang berlangsung selama ini, lebih baik kembali ke model demokrasi perwakilan, sehingga gubernur atau wakilnya tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh para wakil rakyat di DPRD. Tapi mekanisme atau cara apa pun dalam demokrasi memang rentan mengundang masalah jika para pemimpinnya memang tidak memiliki integritas untuk mengabdi dan menyejahterakan rakyat.
baca juga :
4 keanehan Pilgub Jatim 2013, semua direkayasa? ==> http://
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar