Selasa, 20 Maret 2012

[Media_Nusantara] PENGAKUAN ANGGITO ABIMANYU: TIDAK ADA SUBSIDI BBM [1 Attachment]

 
[Attachment(s) from Al Faqir Ilmi included below]

PENGAKUAN ANGGITO ABIMANYU: TIDAK ADA SUBSIDI BBM

Akhirnya Pak Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan "mengurangi beban subsidi BBM", mengakui bahwa tidak ada subsidi dalam BBM. "Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan," katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/3), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wamen ESDM.

Mungkin Anggito tidak akan pernah memberikan pengakuan seperti itu kalau saja tidak karena ada Kwik Kian Gie yang telah lama menyampaikan pendapatnya bahwa isu "subsidi" adalah pembohongan publik, dan pendapat itu diulangi lagi dalam acara talkshow tersebut di atas.

Pengakuan tersebut menunjukkan dengan sangat-sangat gamblang bahwa isu "subsidi" yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah sebagai alasan kenaikan harga BBM adalah sebuah "pembohongan". Sebagaimana pengakuan Anggito, tidak ada subsidi BBM, bahkan ketika saat ini harga BBM dunia mencapai $120 per-barrel.

Jika pemerintah mengambil BBM secara cuma-cuma dari dalam bumi Indonesia dan kemudian mengekplorasinya dengan biaya $20 per-barrel, sementara harga minyak dunia tidak pernah di bawah biaya produksi tersebut, darimana munculnya subsidi? Hanya orang bodoh moron idiot yang masih percaya pada bualan soal "subsidi" tersebut.

Meski terlambat dan menunjukkan dirinya sebagai pengkhianat rakyat dan pengkhianat nuraninya sendiri selama menjadi pejabat negara (kini Anggito bukan lagi pejabat pengambil kebijakan ekonomi), pengakuan Anggito (mantan dosen saya waktu mahasiswa) sebenarnya menjadi koreksi "kebijakan pemerintah" dalam soal BBM. Namun alih-alih pemerintah terus saja menggunakan isu "subsidi" imaginatif untuk melegitimasi rencana kenaikan harga BBM, termasuk dalam iklan sosialisasi kenaikan harga BBM yang saat ini gencar ditayangkan di
televisi.

Dalam diskusi tersebut Anggito memang tetap mendukung rencana kenaikan harga BBM, namun kini dengan alasan yang lebih rasional, tidak lagi menggunakan imajinasi "subsidi", melainkan demi mengurangi beban APBN. Dan inilah yang mestinya menjadi dasar kebijakan pemerintah, mengurangi beban APBN tanpa harus menipu rakyat.

Baik, kalau hanya mengatasi "tekanan" APBN ada banyak cara untuk mengatasinya tanpa harus menyengsarakan rakyat sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM. Bisa mengintensifkan penerimaan pajak yang selama ini lebih banyak "beredar" di "pasar gelap pajak" sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Gayus Tambunan. Bisa dengan mengintensifkan pencegahan tindak korupsi sehingga dana APBN yang banyak bocor bisa diarahkan ke pos-pos yang produktif. Cara lainnya adalah meningkatkan produksi BBM sehingga
penerimaan pajak BBM meningkat. Dan tentu saja adalah pengelolaan APBN
yang efektif dan efisien.

Ada 1.000 cara lebih bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi tekanan APBN akibat kenaikan harga minyak dunia tanpa harus menaikkan harga BBM.

http://cahyono-adi.blogspot.com/2012/03/pengakuan-anggito-abimanyu-tidak-ada.html

SEKALI LAGI TENTANG SUBSIDI BBM


Sebenarnya saya pernah menjelaskan tentang "subsidi BBM" beberapa waktu lalu. Namun saya kembali tertarik untuk menulisnya lagi karena isu "subsidi BBM" kembali menjadi berita utama di media-media massa Indonesia. Terlebih lagi setelah saya melihat acara "Economic Challenges" di Metro TV, Senin malam (4/7) yang menghadirkan narasumber Kwik Kian Gie, ekonom Avilianie dan seorang ekonom sekaligus politisi Partai Demokrat, Modjo.

Yang membuat saya tertarik adalah karena Kwik dengan "telak" mengolok-olok orang-orang yang telah gembar-gembor tentang "subsidi BBM" namun tidak mengetahui esensi sebenarnya tentang subsidi, termasuk dua narasumber dan host acara tersebut yang merupakan seorang wartawan senior terkenal.

Menurut Kwik, informasi mengenai "subsidi BBM" adalah menyesatkan dan omong kosong. Saya berpendapat, karena omong kosong itu sengaja digunakan untuk menyesatkan masyarakat maka bisa dikategorikan sebagai penipuan. Mari kita bahas secara ilmiah, meski mohon ma'af, data tentang angka-angka yang digunakan dalam analisis ini seperti kuantitas produksi dan konsumsi BBM serta harga BBM mungkin keliru, namun secara esensi adalah benar adanya.

Subsidi adalah kerugian biaya yang ditanggung pemerintah karena biaya produksi BBM yang dikeluarkan lebih besar dari penjualannya. Misalnya saja biaya produksi 1 liter BBM adalah Rp 4.500 dan harga jualnya Rp 3.000. Maka untuk setiap 1 liter BBM yang diproduksi pemerintah harus memberikan subsidi Rp 1.500.

Sekarang mari kita lihat dalam konteks produksi BBM di Indonesia. Produksi BBM mentah di Indonesia sekitar 1 juta barrel per-hari, 92% diserahkan produksinya kepada asing dan 8% sisanya ke Pertamina. Dari 92% BBM mentah yang diproduksi asing sebanyak 70%-nya menjadi hak negara c.q pemerintah. Dengan asumsi Pertamina adalah perusahaan pemerintah, maka total produksi BBM mentah yang menjadi hak pemerintah adalah 64% dari total produksi minyak mentah nasional atau sekitar 640.000 barrel per-hari. Harga produksi minyak mentah, katakanlah sekitar $20/barrel meski mungkin jauh lebih murah lagi.

Jika harga pasaran minyak mentah adalah $80/barrel sebagaimana beberapa waktu lalu, maka keuntungan pemerintah adalah ($80 - $20) x 640.000 per-hari atau $38,4 juta atau sekitar Rp 380 milir per-hari.

Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, pemerintah harus mengimpor minyak sebesar 100.000 barrel per-hari. Dengan harga pasaran $80 dollar/barrel, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya sebesar $8 juta atau sekitar Rp 75 miliar per-hari. Dengan demikian maka pemerintah masih mendapatkan surplus sebesar Rp 380 miliar - Rp 75 miliar = Rp 305 miliar per-hari atau sekitar Rp 111 triliun setahun.

Kemudian katakanlah terjadi kenaikan harga BBM internasional hingga mencapai $100 per-barrel. Pengeluaran pemerintah untuk mengimpor minyak memang naik menjadi $10 juta atau sekitar Rp 90 miliar per-hari. Namun pendapatan pemerintah, tanpa menaikkan harga minyak, masih lebih besar dari angka itu dan pemerintah masih menanggung untung Rp 380 miliar - Rp 90 miliar = Rp 290 miliar per-hari atau sekitar Rp 105 triliun setahun. Sama sekali tidak ada subsidi, hanya berkurang keuntungan sebesar Rp 111 triliun - Rp 105 triliun = Rp 6 triliun.

Lalu mengapa pemerintah, media massa, pengamat ekonomi liberal dan "teh botol" (teknokrat "bodoh tolol, meminjam istilah Prof Sanyoto") menakut-nakuti rakyat dengan omong kosong (meminjam istilah Kwik Kian Gie) soal "subsidi BBM" yang memberatkan keuangan pemerintah? Tidak lain karena dengan naiknya harga BBM, para pemilik perusahaan minyak asing yang mengelola 92% minyak mentah Indonesia dan pemerintahan liberal jajahan yahudi Indonesia tidak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan durian runtuh. Dengan menaikkan harga minyak, tentu mereka mendapatkan keuntungan lebih besar meski tanpa itu pun mereka tidak pernah sama sekali mengeluarkan "subsidi" sesenpun. Kekurangan keuntungan yang hanya sebesar Rp 6 triliun itu sudah dianggap bencana dan mereka rela membebani rakyat dengan kenaikan BBM hanya agar keuntungan mereka tidak berkurang.

Sekali lagi tidak pernah ada subsidi. Kenaikan harga BBM internasional hanya mengakibatkan berkurangnya keuntungan pemerintah dan perusahaan minyak asing dan itu membuat pemerintah merasa keberatan. Inilah akibatnya kalau pemerintah tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri melainkan kepada asing.

Rosulullah pernah bersabada: "Jika kalian tidak lagi saling ber-amar ma'ruf nahi munkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kejahatan) maka kelak Allah akan membangkitkan seorang pemimpin yang jahat. Pada saat itu bahkan do'a seorang yang alim tidak akan didengar oleh Allah." 

http://cahyono-adi.blogspot.com/2011/07/sekali-lagi-tentang-subsidi-bbm.html

Kenaikan Harga BBM: SBY Untung Rakyat Buntung

Saya Rieke Diah Pitaloka, sekedar mengingatkan 13 hari lagi adalah keputusan kenaikan harga BBM. Salah satu argumen SBY, kenaikan tersebut adalah untuk menyelamatkan APBN supaya tidak jebol.

Berikut saya sampaikan data yang tidak pernah SBY sampaikan kepada rakyat, hitungan yang sesungguhnya bahwa dengan tidak mengurangi subsidi dan tidak menaikan harga BBM sebetulnya APBN tidak jebol.

Berikut ini data yang saya kompilasi dari berbagai sumber, terutama dari para ekonom yang tidak bermahzab neolib!
  • Indonesia menghasilkan 930.000 Barel/hari, 1 Barel = 159 liter
  • Harga Minyak Mentah = 105 USD per Barel
  • Biaya Lifting + Refining + Transporting (LRT) 10 USD per Barel
    = (10/159) x Rp.9000 = Rp. 566 per Liter
  • Biaya LRT untuk 63 Milyar Liter
    = 63 Milyar x Rp.566,- = Rp. 35,658 trilyun
  • Lifting = 930.000 barel per hari,
    atau = 930.000 x 365 = 339,450 juta barel per tahun
  • Hak Indonesia adalah 70%, maka = 237,615 Juta Barel per tahun
  • Konsumsi BBM di Indonesia = 63 Milyar Liter per tahun,
    atau dibagi dengan 159 = 396,226 juta barel per tahun
  • Pertamina memperoleh dari Konsumen :
    = Rp 63 Milyar Liter x Rp.4500,-
    = Rp. 283,5 Trilyun
  • Pertamina membeli dari Pemerintah
    = 237,615 Juta barel @USD 105 x Rp. 9000,-
    = Rp. 224,546 Trilyun
  • Kekurangan yang harus di IMPOR
    = Konsumsi BBM di Indonesia – Pembelian Pertamina ke pemerintah = 158,611 Juta barel
    = 158,611 juta barel @USD 105 x Rp. 9000,-
    = Rp. 149,887 Trilyun
KESIMPULAN: ‎
  1. Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebanyak 63 Milyar liter dengan harga Rp.4500,- yang hasilnya Rp. 283,5 Trilyun.
  2. Pertamina harus impor dari Pasar Internasional Rp. 149,887 Trilyun
  3. Pertamina membeli dari Pemerintah Rp. 224,546 Trilyun
  4. Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Milyar Liter @Rp.566,-
    = Rp. 35,658 Trilyun
  5. Jumlah pengeluaran Pertamina Rp. 410,091 trilyun
  6. Pertamina kekurangan uang, maka Pemerintah yang membayar kekurangan ini yang di Indonesia pembayaran kekurangan ini di sebut "SUBSIDI"
  7. Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) = Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia
    = Rp. 410,091 trilyun – Rp. 283,5 Trilyun
    = Rp. 126,591 trilyun
  8. Tapi ingat, Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan juga kepada Pertamina (karena Pertamina juga membeli dari pemerintah) sebesar Rp. 224,546 trilyun. Catatan Penting: hal inilah yang tidak pernah disampaikan oleh Pemerintah kepada masyarakat.
  9. Maka kesimpulannya adalah pemerintah malah kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke pertamina – kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi)
    = Rp. 224,546 Trilyun – Rp. 126,591 Trilyun
    = Rp. 97,955 Trilyun
Artinya, APBN tidak Jebol justru saya jadi bertanya: dimana sisa uang keuntungan SBY jual BBM Sebesar Rp. 97,955 trilyun, itu baru hitungan 1 tahun. Dimana uang rakyat yang merupakan keuntungan SBY jual BBM selama 7 tahun kekuasaannya?

JANGAN MAU DIBOHONGI LAGI, mohon bantu berikan penyadaran kepada rakyat, tolak kenaikan BBM, Tolak BLT sebab itu adalah akal muslihat agar subsidi dicabut akibatnya SBY UNTUNG RAKYAT BUNTUNG!
 
 
Jakarta 16 Maret 2012
Salam Juang
 
 
Rieke Diah Pitaloka
http://www.riekediahpitaloka.com/release/201203/kenaikan-harga-bbm-sby-untung-rakyat-buntung/




__._,_.___

Attachment(s) from Al Faqir Ilmi

1 of 1 File(s)

Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar