Rabu, 21 Maret 2012

[Media_Nusantara] Misteri Biaya Alfa Dalam Kenaikan Harga Bensin

 

Misteri Biaya Alfa Dalam Kenaikan Harga Bensin
by Herry Gunawan

Rencana pemerintah menaikkan harga bensin sudah seperti tayangan opera sabun. Partai politik — baik mendukung maupun menolak — tampil garang. Sementara itu, pemerintah tampil melankolis. "Terimalah kenaikan harga ini, sungguh kami tidak diuntungkan..."

Bahwa kenaikan harga bensin harus dilakukan karena beban anggaran sudah begitu berat, kita semua sudah tahu. Bahwa rencana ini sudah berimbas langsung ke masyarakat lapisan bawah, juga sudah kita tahu. Begitu pula penimbunan bensin yang dilakukan pihak yang berharap untung dari selisih harga lama dan baru.

Ketika harga bensin benar-benar naik pada 1 April nanti, bisa dipastikan dampak nyata akan dirasakan masyarakat. Mereka makin dalam merogoh kocek. Sementara, pemerintah merasa masalah sudah selesai dengan rencana memberikan santunan tunai.

Namun ada hal lebih penting yang perlu dijelaskan mengapa harga bensin harus naik. Bukan sekadar akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar
internasional. Tapi juga perlu dipaparkan komposisi harga bensin yang
dikatakan jadi beban pemerintah itu.

Jangan-jangan ada yang tambun di tengah penderitaan warga.

Selama ini, komposisi yang digunakan adalah harga produksi dasar yang dipengaruhi oleh harga minyak mentah internasional. Pemerintah menetapkan harga pasti dalam APBN, yang saat ini sebesar $ 105 perbarel. Kemudian ditambah pajak sebesar 15 persen, plus biaya alfa: ongkos distribusi dan keuntungan.

Dengan subsidi bensin Rp 104 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan untuk 40 juta kiloliter atau 40 miliar liter, maka subsidi per liternya sebesar Rp 2.600. Sementara ongkos produksi (harga dasar) dengan patokan patokan yang baru sebesar Rp 5.947 per liter – dari rasio patokan harga per barel terhadap 158,9 liter (1 barel).

Dengan asumsi ini, maka harga tanpa subsidi semestinya adalah Rp 8.547 per liter. Jika bensin akan dijual seharga Rp 6.000, maka biaya alfa plus pajak adalah Rp 2.547 per liter atau 30 persen.

Nah, karena pajak sudah ditetapkan sebesar 15 persen, berarti biaya alfa juga 15 persen. Di sinilah masalahnya: pemerintah selalu menyebut biaya alfa ada di kisaran 10 persen. Lalu ke mana selisih 5 persennya? Ini setara Rp 5,2 triliun, lho.

Ke mana biaya ini?

Pemerintah harus menjelaskan soal ini lebih detail kepada publik agar tidak menimbulkan prasangka tidak baik. Jangan sampai, upaya pemerintah mengurus kesejahteraan warganya malah dicurigai menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Apalagi, kalau mau mengacu pada contoh di negara maju seperti Amerika, jelas biaya kita jauh lebih mahal. Pemerintah Amerika secara terbuka memperlihatkan komponen biaya harga bahan bakarnya di situs resmi: Energy Information Administration.

Di situ disebutkan, komponen harga per galon terdiri atas distribusi dan pemasaran atau alfa (6 persen),  biaya dasar dari kilang (6 persen), dan pajaknya (12 persen). Berarti biaya alpha plus pajak 24 persen, sementara di Indonesia dengan asumsi harga tadi, mencapai 30 persen. Nah, jangan-jangan selisih ini merupakan inefisiensi.

Tapi mungkin saja ada komponen biaya lain yang tidak pernah disampaikan pemerintah. Di sinilah pentingnya membuka secara transparan, termasuk apakah benar komponen alfa seperti yang selama ini disebut yaitu sebesar 10 persen.

Jangan sampai ada kecurigaan yang tidak sehat.

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar