HAK ASASI : Compang-Camping Hak Asasi Sepanjang 2011
Di hari jadi KontraS ke-14 tahun ini, sebuah catatan refleksi kami keluarkan dengan judul HAK ASASI (Compang-Camping Hak Asasi Sepanjang 2011). Judul ini kami pilih sebagai sebuah refleksi dan ekspresi atas perjuangan para korban dan keluarganya untuk menyuarakan keadilan. Para korban yang tegar dan memiliki konsistensi dalam perjuangannya, di tengah ocehan politik para pemberi harapan palsu republik ini, yang tidak kunjung mengubah, memperbaiki dan mencegah terjadinya kekerasan di Indonesia.
HAM tetap menjadi bahasa dan barang dagangan yang sesekali disentuh menjelang pertarungan politik prosedural, namun kembali diabaikan dalam realitas sehari-hari.
Sepanjang 2011, sebagaimana dicatat dalam Laporan tahunan 2011, Isu-isu seperti (1) Keadilan dan kebenaran atas pelanggaran HAM di masa lalu, (2) Perlindungan atas hak-hak sipil dan politik, (3) Hukuman mati (4) Reformasi Sektor Keamanan, (5) Perlindungan para pembela HAM, (6) Pemberdayaan politik komunitas korban pelanggaran HAM, termasuk isu-isu aktual seperti, (7) Kekerasan di sektor bisnis serta (8) Advokasi dan solidaritas HAM di tingkat Asia Tenggara dan internasional masih menjadi tren, dan sekaligus amat signifikan untuk mengukur pemenuhan kewajiban negara, khususnya dalam menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di tanah air.
Sepanjang 2011, kami mencatat, telah terjadi 691 kasus kekerasan dengan 1586 korban kekerasan. Dalam angka tersebut terjadi berbagai penderitaan, kesedihan, dari mereka yang dibakar rumah ibadahnya, dibunuh karena aspirasi politiknya, distigma karena berbeda ideologinya, dirampas tanah adatnya, dan lain sebagainya. Tak terasa angka kekerasan ini menjadi akumulasi statistik dari legalisasi “bela negaraâ€, budaya kekerasan dan kekerasan ekonomi. Sepanjang 2011, pemerintah gagal memenuhi janji-janji pemenuhan HAM. Sebaliknya, dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, Pemerintah (Presiden SBY) justru berpolemik dengan tindakan-pernyataan politis. Aksesoris politik republik ini semakin membosankan, manakala para pejabat negara hanya mampu beretorika melalui kemampuan personal komunikasi politik di forum-forum internasional. Namun minim perwujudan dalam keadilan-keadilan kecil bagi para korban.
Republik ocehan ini bahkan tidak mampu menegakkan konstitusi dan hukum untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Terutama mereka yang miskin, minoritas dan buta hukum, yang terus menerus dihujami dengan tindakan-tindakan politik diskriminasi. Tak heran jika ocehan-ocehan politis tersebut kerap digunakan sebagai rujukan utama, mempertegas banyak kebijakan anti-HAM lainnya yang masih tetap dilestarikan.
Menariknya praktik-praktik kekerasan vulgar yang terjadi di tahun 2011 memperlihatkan dinamika komposisi aktor dari lintas sektor yang belum berubah. Aktor sektor keamanan dan pemerintah lokal, aktor ormas radikal dan aktor bisnis. Ketiganya membangun irisan satu sama lain dengan kekhasan kasus yang disengketakan. Sebagai contoh, KontraS bisa langsung merujuk peristiwa kekerasan di Papua yang memiliki inter-relasi dengan PT Freeport Indonesia, kekerasan kepada kelompok agama minoritas yang masih menimpa Jamaah Ahmadiyah Indonesia dan Jemaat Kristen GKI Yasmin untuk sengketa lahan rumah ibadah, dan brutalitas aparat dalam kasus Pelabuhan Bima.
Compang-campingnya penegakan hak asasi di Indonesia bisa dilihat dari terlanggarnya 4 prinsip dasar HAM yang seyogyanya diwujudkan oleh negara dalam kehidupan sehari-hari. Adalah prinsip non-diskriminasi, prinsip partisipasi warga negara, prinsip kemajuan yang layak (kebijakan) dan prinsip pemulihan yang efektif warga negara (termasuk di dalamnya proses hukum, hak-hak ekonomi, sosial dan psikologis) yang belum pernah diwujudkan secara optimal dan berkesinambungan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono dalam 2 periode pemerintahannya.
Kedepan, KontraS memprediksikan tidak banyak perubahan yang bisa diwujudkan di masa depan. Diskriminasi masih berlanjut, partisipasi masyarakat dan korban hanya dialokasikan sebatas seremonial, tidak ada kemajuan yang layak dan pemulihan tidak terjadi. Situasi ini akan semakin mengerucut pada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah, baik di level nasional maupun lokal.
Jika dilihat dari sikap dan pilihan tindakan korban dan masyarakat, mereka semakin solid dan kreatif melawan berbagai sumbatan dan ketidakcakapan pemerintah. Pilihan mendorong advokasi HAM akan banyak bersinergi dengan evaluasi dan kritik terhadap pemerintahan SBY dan berbagai rezim-rezim lokal di berbagai daerah.
Namun demikian, sesungguhnya kesempatan untuk memperbaiki performa di bidang HAM bisa dilakukan dengan melakukan sejumlah hal dalam kurun waktu yang singkat:
Pertama, Presiden SBY harus serius merespons sejumlah isu pelanggaran HAM, seperti; menuntaskan kasus Munir dan merumuskan model perlindungan pekerja HAM di Indonesia; menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Papua dengan melibatkan partisipasi masyarakat adat Papua secara optimal; menyelesaikan berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu termasuk yang terjadi di Aceh; merumuskan pola penyelesaian nasional atas sengketa tanah di berbagai wilayah dan; bersikap tegas melakukan perlindungan kepada kelompok minoritas seperti
Ahmadiyah dan kelompok gereja. Presiden harus segera meminta Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM dibantu oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Sdr. Albert Hasibuan, untuk menyusun agenda prioritas di atas yang sesuai aturan hukum HAM yang berlaku di Indonesia pada 2012.
Kedua, Polri harus memastikan adanya penghentian penggunaan kekerasan dalam tindakan pengamanan ataupun penegakan hukum. Termasuk harus berani untuk tidak menggunakan kriminalisasi (pemidanaan) terhadap masyarakat yang melakukan tindakan advokatif atau masyarakat yang menjalankan kebebasan berekspresinya. Polri juga harus berani melakukan penegakan hukum berupa perlindungan terhadap setiap kelompok (minoritas) dari ancaman kekerasan kelompok lainnya, termasuk melakukan pemidanaan terhadap kelompok yang melakukan kekerasan.
Ketiga, DPR harus memastikan adanya kontrol yang yang efektif dan jujur terhadap Polri dan TNI termasuk lembagaBIN, terutama dalam persoalan kontrol penggunaan kekerasan dalam tugas-tugas institusi-institusi keamanan ini. Termasuk DPR harus memastikan adanya agenda amandemen UU Peradilan Militer untuk memastikan adanya ruang kontrol hukum atas kekerasan yang dilakukan militer di pengadilan umum. Isu kontrol dan akuntabilitas menjadi semakin penting mengingat adanya penguatan terhadap UU di bidang keamanan pada 2011 (UU Intelijen, RUU Kamnas dan RUU Penanganan Konflik Sosial) dan masih menguatnya wacana pemberantasan terorisme.
Keempat, KontraS mengajak semua elemen masyarakat untuk terus melakukan kontrol dan pengawasan atas berbagai kebijakan dan perilaku aparat yang berpotensi mengakibatkan kekerasan dan pelanggaran HAM.
Perubahan tidak menunggu momen. Perubahan adalah wujud kerja keras yang harus dilakukan dan didukung oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Empat belas tahun dan sesudahnya adalah ruang-ruang perjuangan yang harus kita isi dengan maksimal, kreatif, diikuti dengan energi positif untuk Indonesia yang lebih baik.
Kami akan selalu menyampaikan salam kemanusiaan kepada seluruh saudara/saudari Indonesia di manapun anda berada.
Jakarta, 20 Maret 2012
Haris Azhar, MA
Koordinator Badan Pekerja
Federasi KontraS
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar