Para Advokat dan Dosen FH Universitas Jember Gugat UU Penetapan Perpu MK
Sejumlah pengacara yang sering berperkara di MK, seperti Andi M. Asrun, Daniel Tonapa Masiku, Heru Widodo, Dorel Amir, Robikin Emhas, sampai Syarif Hidayatullah mengajukan Pengujian UU Penetapan Perpu MK. Selain diajukan untuk diuji oleh para pengacara tersebut, pengujian UU ini juga diajukan oleh Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, antara lain Gautama Budi Arundhati dan Nurul Ghufron. Sidang perdana perkara yang diajukan kedua Pihak Pemohon tersebut digelar, Kamis (23/1).
Andi Asrun yang mewakili Para Pemohon Perkara No. 1/PUU-XII/2014 menyampaikan argumentasi permohonan pihaknya. Ia mengatakan Perpu No. 1 yang sudah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 2014 oleh DPR pada 19 Desember 2013 lalu sesungguhnya tidak memenuhi syarat kegentingan untuk dikeluarkan. "Prosedur pembentukannya dilanggar ini yang menurut kami bermasalah. Jadi pertama, tidak ada unsur kebutuhan yang memaksa. Lalu, sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VIII/2009 tanggal 8 Februari yang menentukan tiga syarat agar sesuatu keadaan memaksa terjadi, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang kami lihat perpu ini tidak memenuhi unsur itu," ujar Asrun beralasan.
Selain itu, Asrun menyampaikan keberatan pihaknya yang menganggap UU No. 4 Tahun 2014 ini telah melanggar konstitusi dengan melakukan beberapa perubahan. Ada tiga hal yang dipermasalahkan oleh Asrun dkk, yaitu adanya penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, adanya mekanisme proses seleksi pengajuan hakim konstitusi dan perbaikan sistem penguasaan konstitusi.
Asrun dan rekan-rekannya juga tidak setuju dengan syarat untuk menjadi hakim konstitusi harus sudah tidak lagi menjadi anggota partai politik minimal tujuh tahun. "Saya kira angka 7 ini menjadi angka yang aneh karena di dalam kehidupan ketatanegaraan kita masa jabatan selalu diukur dengan angka 5 tahun, kenapa muncul angka 7? Kalau di Paris kita tahu bahwa Presiden Perancis itu dipilih dalam masa jabatan 7 tahun atau di Amerika (AS) 4 tahun. Jadi tidak ada akar historis maupun akar sejarah ketatanegaraan Indonesia tentang angka (lima) ini. Jadi kami kira ini juga persoalan yang tidak jelas dan pembatasan-pembatasan terhadap anggota partai politik untuk menjadi Hakim Konstitusi atau pejabat publik merupakan tindakan diskriminasi yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan sebagaimana dijamin dalam konstitusi kita," urai Asrun sembari menyampaikan argumentasi-argumentasi permohonan lainnya dan meminta Mahkamah untuk menyatakan UU No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus menetapkan seluruh isi UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sedikit berbeda dengan Para Pemohon Perkara No. 1/PUU-XII/2014, Para Pemohon Perkara No. 2/PUU-XII/2014 ini menggugat ketentuan tentang pembentukan panel ahli dan syarat uji kelayakan bagi calon hakim konstitusi. Diwakili salah satu prinsipal Pemohon yakni Nurul Ghufron, Para Dosen FH Universitas Jember berkeberatan dengan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi oleh Panel Ahli. Pemohon merasa hal tersebut janggal karena seorang calon hakim konstitusi disyaratkan memiliki jenjang pendidikan minimal dotoral dan berstatus negarawan. Namun, Panel Ahli yang menguji calon hakim konstitusi justru memiliki pendidikan minimal magister.
"Dalam pandangan kami, ketentuan uji kelayakan oleh pihak yang memiliki jenjang pendidikan lebih rendah terhadap pihak yang lebih tinggi jenjang pendidikannya, jelas sangat tidak logis, merusak tatanan jenjang pendidikan. Karena hal itu akan mengancam sistem pendidikan nasional yang telah kita tata selama ini. Mengingat, dalam sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa pendidik, yaitu melalui proses pembelajaran, evaluasi, bahkan penentuan kelayakan kelulusannya harus memiliki tingkat atau jenjang pendidikan lebih tinggi atau minimal setara dengan peserta didik yang akan diuji atau ditentukan kelulusannya. Sehingga dalam hal ini, ada jaminan dihargainya jenjang pendidikan dengan menempatkan level kemampuan seseorang berdasarkan jenjang pendidikannya adalah bagian dari kepastian hukum bagi warga negara di bidang pendidikan. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, ketentuan tersebut sangatlah bertentangan dengan hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum," papar Ghufron.
Selain itu, Ghufron dkk juga menggugat kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam keterlibatannya mengangkat hakim konstitusi. Pemohon berpendapat KY adalah lembaga negara yang bersifat penunjang dan bukan lembaga negara pemangku kewenangan pokok dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen. Pemohon pun beranggapan KY hanya memiliki tugas khusus untuk mengusulkan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan maupun keluhuran martabat hakim agung
Sejumlah pengacara yang sering berperkara di MK, seperti Andi M. Asrun, Daniel Tonapa Masiku, Heru Widodo, Dorel Amir, Robikin Emhas, sampai Syarif Hidayatullah mengajukan Pengujian UU Penetapan Perpu MK. Selain diajukan untuk diuji oleh para pengacara tersebut, pengujian UU ini juga diajukan oleh Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, antara lain Gautama Budi Arundhati dan Nurul Ghufron. Sidang perdana perkara yang diajukan kedua Pihak Pemohon tersebut digelar, Kamis (23/1).
Andi Asrun yang mewakili Para Pemohon Perkara No. 1/PUU-XII/2014 menyampaikan argumentasi permohonan pihaknya. Ia mengatakan Perpu No. 1 yang sudah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 2014 oleh DPR pada 19 Desember 2013 lalu sesungguhnya tidak memenuhi syarat kegentingan untuk dikeluarkan. "Prosedur pembentukannya dilanggar ini yang menurut kami bermasalah. Jadi pertama, tidak ada unsur kebutuhan yang memaksa. Lalu, sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VIII/2009 tanggal 8 Februari yang menentukan tiga syarat agar sesuatu keadaan memaksa terjadi, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang kami lihat perpu ini tidak memenuhi unsur itu," ujar Asrun beralasan.
Selain itu, Asrun menyampaikan keberatan pihaknya yang menganggap UU No. 4 Tahun 2014 ini telah melanggar konstitusi dengan melakukan beberapa perubahan. Ada tiga hal yang dipermasalahkan oleh Asrun dkk, yaitu adanya penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, adanya mekanisme proses seleksi pengajuan hakim konstitusi dan perbaikan sistem penguasaan konstitusi.
Asrun dan rekan-rekannya juga tidak setuju dengan syarat untuk menjadi hakim konstitusi harus sudah tidak lagi menjadi anggota partai politik minimal tujuh tahun. "Saya kira angka 7 ini menjadi angka yang aneh karena di dalam kehidupan ketatanegaraan kita masa jabatan selalu diukur dengan angka 5 tahun, kenapa muncul angka 7? Kalau di Paris kita tahu bahwa Presiden Perancis itu dipilih dalam masa jabatan 7 tahun atau di Amerika (AS) 4 tahun. Jadi tidak ada akar historis maupun akar sejarah ketatanegaraan Indonesia tentang angka (lima) ini. Jadi kami kira ini juga persoalan yang tidak jelas dan pembatasan-pembatasan terhadap anggota partai politik untuk menjadi Hakim Konstitusi atau pejabat publik merupakan tindakan diskriminasi yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan sebagaimana dijamin dalam konstitusi kita," urai Asrun sembari menyampaikan argumentasi-argumentasi permohonan lainnya dan meminta Mahkamah untuk menyatakan UU No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus menetapkan seluruh isi UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sedikit berbeda dengan Para Pemohon Perkara No. 1/PUU-XII/2014, Para Pemohon Perkara No. 2/PUU-XII/2014 ini menggugat ketentuan tentang pembentukan panel ahli dan syarat uji kelayakan bagi calon hakim konstitusi. Diwakili salah satu prinsipal Pemohon yakni Nurul Ghufron, Para Dosen FH Universitas Jember berkeberatan dengan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi oleh Panel Ahli. Pemohon merasa hal tersebut janggal karena seorang calon hakim konstitusi disyaratkan memiliki jenjang pendidikan minimal dotoral dan berstatus negarawan. Namun, Panel Ahli yang menguji calon hakim konstitusi justru memiliki pendidikan minimal magister.
"Dalam pandangan kami, ketentuan uji kelayakan oleh pihak yang memiliki jenjang pendidikan lebih rendah terhadap pihak yang lebih tinggi jenjang pendidikannya, jelas sangat tidak logis, merusak tatanan jenjang pendidikan. Karena hal itu akan mengancam sistem pendidikan nasional yang telah kita tata selama ini. Mengingat, dalam sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa pendidik, yaitu melalui proses pembelajaran, evaluasi, bahkan penentuan kelayakan kelulusannya harus memiliki tingkat atau jenjang pendidikan lebih tinggi atau minimal setara dengan peserta didik yang akan diuji atau ditentukan kelulusannya. Sehingga dalam hal ini, ada jaminan dihargainya jenjang pendidikan dengan menempatkan level kemampuan seseorang berdasarkan jenjang pendidikannya adalah bagian dari kepastian hukum bagi warga negara di bidang pendidikan. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, ketentuan tersebut sangatlah bertentangan dengan hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum," papar Ghufron.
Selain itu, Ghufron dkk juga menggugat kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam keterlibatannya mengangkat hakim konstitusi. Pemohon berpendapat KY adalah lembaga negara yang bersifat penunjang dan bukan lembaga negara pemangku kewenangan pokok dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen. Pemohon pun beranggapan KY hanya memiliki tugas khusus untuk mengusulkan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan maupun keluhuran martabat hakim agung
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar