Mahkamah Konstitusi Dalam Kancah Politik
SEKALI ini, terkait putusannya mengenai Pemilu serentak –pemilihan presiden sekaligus pemilihan legislatif– tak bisa diingkari Mahkamah Konstitusi pada hakekatnya berperan terlalu jauh di dalam kancah politik praktis. Tak sekedar bersinggungan dalam pengertian yang dikatakan salah seorang hakim konstitusi, Harjono "Kalau bersinggungan dengan politik, iya. Tapi kalau ditunggangi, siapa yang menunggangi?" Soal siapa yang menunggangi, tentu tak bisa dijawab saat ini, karena masih merupakan misteri. Tetapi terbaca indikasi, memang ada aroma pertimbangan kepentingan politik praktis di dalam keputusan itu. Kalau tidak, kenapa putusan yang sudah ada kesimpulannya sejak Maret 2013 itu baru dibacakan lewat pertengahan Januari 2014 ini?
Baik menurut pakar tatanegara Yusril Ihza Mahendra maupun ungkapan berita Koran Tempo (Sabtu, 25 Januari 2014), terlepas dari 'tujuan baik'nya dalam konteks perbaikan suatu mekanisme politik ketatanegaraan, keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut bermasalah. Ada hal-hal misterius yang tetap menjadi tanda tanya, kata Yusril. Sedang Koran Tempo mengungkap ada motif tertentu di belakang produk –yang esensinya bersifat korektif terhadap suatu praktek keliru sebelumnya– yang terkait dengan mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Koran Tempo menulis Akil Mochtar berada di balik keterlambatan putusan uji materi Undang-undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Hakim Konstitusi Harjono mengatakan, sejak Akil terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada April 2013, finalisasi putusan uji materi undang-undang itu macet. Padahal, kata dia, putusan bahwa pemilu digelar serentak sudah diketuk Rapat Majelis Permusyawaratan Hakim pada 26 Maret 2013. "Sejak Akil menjadi Ketua MK, dia sibuk dengan sengketa pemilukada." Bukan hanya itu, Akil juga satu-satunya hakim yang ditunjuk menjadi penyusun finalisasi putusan itu. "Ketika itu, yang belum diputuskan soal presidential threshold dan waktu pelaksanaan pemilu serentak."
Menurut berita itu lebih lanjut, Mahkamah menyatakan putusan tak bisa diberlakukan 2014 karena tahapan pemilu sudah terlanjur berjalan. Kendati mengabulkan pemilu serentak, MK tak membatalkan pasal presidential threshold sebanyak 20 persen kursi di DPR. Pembacaan putusan minus kehadiran tiga hakim yang ikut mengetuk putusan. Mahfud MD dan Ahmad Sodiki yang pensiun sejak April 2013. Adapun Akil, pada Oktober lalu, dicokok penyidik KPK karena diduga menerima suap sejumlah sengketa pilkada yang ia tangani selama di MK.
Pakar hukum tatanegara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai ada indikasi kuat bahwa MK sengaja menunda pembacaan putusan itu. Jika dibacakan segera, ujar dia, pemilu legislatif dan pemilu presiden bisa digelar tahun ini. "Tanpa perlu menunggu 2019," kata Saldi, yang mengaku belum bisa menyimpulkan motif di balik penundaan itu. Tapi menurut berita Koran Tempo itu, Harjono menampik anggapan keterlambatan itu disengaja oleh lembaganya. Dia menjamin penundaan putusan itu bukan karena pesanan pihak tertentu.
SESUNGGUHNYA, penyatuan penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif, lebih nalar dan sekecil apapun kadarnya ia mengandung aspek pembaharuan politik –dalam artian menciptakan mekanisme politik yang kualitatif lebih baik dan lebih efisien daripada pemilu terpisah sebelumnya. Dengan pemilu serentak, partai-partai akan lebih terdorong untuk berkoalisi sebelum pemilihan umum yang pada akhirnya membuka kemungkinan penyederhanaan jumlah partai. Sekaligus lebih menutup peluang bagi praktek politik 'dagang sapi' sebagaimana yang terjadi dalam dua pemilihan umum yang terakhir, tahun 2004 dan 2009.
Soal risiko yang dikaitkan dengan pemilu serentak, bahwa ada kemungkinan presiden terpilih tak berhasil memperoleh mayoritas kerja di DPR, itu tak terkait dengan pemilu yang serentak atau terpisah, melainkan dengan sistem banyak partai. Makin banyak partai, makin kecil kemungkinan ada peraih suara mayoritas di parlemen. Merupakan tanggungjawab moral pembaharuan para politisi partai untuk lebih menyatukan diri berdasarkan persamaan tujuan dan program, dengan pengutamaan semangat altruisme. Mereka harus belajar menjinakkan hasrat dan keserakahan pribadi, menghindari 'semangat' biar kecil-kecil asal jadi raja di partai yang dibentuknya. Dengan jumlah partai yang lebih sederhana, kualitas demokrasi lebih bisa diperbaiki untuk menjadi lebih efektif.
Mengenai kekuatiran bahwa chaos akan terjadi bila pemilu serentak dipaksakan 2014, masih debatable. Dalam konteks ini, pandangan Yusril Ihza Mahendra, bisa menjadi referensi. "Kalau MK menafsirkan maksud Pasal 6A ayat (2) parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakannya. Kalau MK tafsirkan Pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti Pileg dan Pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya."
SETELAH Pemilihan Umum 1971, Presiden Soeharto berinisiatif menyederhanakan jumlah partai menjadi hanya tiga, yakni PDI, PPP dan Golkar. Tapi sayang, pembaharuan kepartaian saat itu hanya menyentuh aspek kuantitatif, tidak menyentuh aspek kualitatif. Fusi partai dilakukan tidak melalui dinamika dan seleksi 'alamiah' proses politik. Dan, dilakukan masih berdasarkan pengelompokan ideologis, bukan berdasarkan orientasi program. Karena semangat ideologistis masih membara-bara bagai api dalam sekam, pasca Soeharto semangat itu berkobar-kobar tertiup angin reformasi yang disalahmaknakan dan menghasilkan kembali sistem multi partai. Diperparah oleh menggebu-gebunya hasrat 'biar kecil asal jadi raja'.
BILA Mahkamah Konstitusi –yang kala itu masih dipimpin oleh Mahfud MD menjelang peralihan– ketika 26 Maret 2013 telah berhasil mengambil keputusan tentang pemilu serentak, segera membacakan keputusan itu, maka tentunya sesuai logika hukum, dengan sendirinya keputusan berlaku untuk pemilu 2014. Tak ada pilihan untuk menyatakan keputusan itu baru berlaku 2009, karena Mahkamah Konstitusi bukan penentu kebijakan politik, tetapi 'pengawal' bagi kebenaran pelaksanaan konstitusi. Dengan menentukan waktu bahwa pemilu serentak itu baru digelar 2019, meminjam pandangan Ketua Komisi Yudisial Marzuki Suparman, sebenarnya Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut UU mengenai MK adalah memutuskan apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Kita sepakat menganggap bahwa penyatuan pemilu menjadi serentak, lebih baik dan lebih tepat dari segi tujuan. Tentu saja cara mencapai tujuan, tetap harus dengan cara dan jalan yang benar. Namun terlepas dari itu, memang diperlukan kerja keras penyelenggara pemilu untuk mendadak melaksanakan pemilu serentak di tahun 2014. Penyelenggara pemilu tak boleh memperturutkan sikap cengeng. Kalaupun memang harus ada penambahan waktu persiapan, penundaan pemilu 1-2 bulan masih dalam batas kewajaran dan bisa ditolerir.
Tapi apapun, saat ini berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi, suatu praktek ketatanegaraan dan praktek politik yang lebih diperbarui telah tertunda lima tahun lamanya. Sudah menjadi fakta untuk sementara ini. Setidaknya sampai ada 'gugatan' baru yang ternyata pantas untuk dikabulkan. Maka, pola lama yang mungkin terasa lebih nyaman untuk dimainkan oleh sejumlah politisi partai pragmatis yang tak punya visi pembaharuan, masih akan berlangsung, khususnya melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden yang terpisah.
baca juga :
Menguat Alasan Putusan MK Harus Batal Demi Hukum ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2014/01/medianusantara-menguat-alasan-putusan.html
Menyoal Legitimasi Presiden & Wakil Terpilih Di Mata Hukum ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2014/01/medianusantara-menyoal-legitimasi.html
SEKALI ini, terkait putusannya mengenai Pemilu serentak –pemilihan presiden sekaligus pemilihan legislatif– tak bisa diingkari Mahkamah Konstitusi pada hakekatnya berperan terlalu jauh di dalam kancah politik praktis. Tak sekedar bersinggungan dalam pengertian yang dikatakan salah seorang hakim konstitusi, Harjono "Kalau bersinggungan dengan politik, iya. Tapi kalau ditunggangi, siapa yang menunggangi?" Soal siapa yang menunggangi, tentu tak bisa dijawab saat ini, karena masih merupakan misteri. Tetapi terbaca indikasi, memang ada aroma pertimbangan kepentingan politik praktis di dalam keputusan itu. Kalau tidak, kenapa putusan yang sudah ada kesimpulannya sejak Maret 2013 itu baru dibacakan lewat pertengahan Januari 2014 ini?
Baik menurut pakar tatanegara Yusril Ihza Mahendra maupun ungkapan berita Koran Tempo (Sabtu, 25 Januari 2014), terlepas dari 'tujuan baik'nya dalam konteks perbaikan suatu mekanisme politik ketatanegaraan, keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut bermasalah. Ada hal-hal misterius yang tetap menjadi tanda tanya, kata Yusril. Sedang Koran Tempo mengungkap ada motif tertentu di belakang produk –yang esensinya bersifat korektif terhadap suatu praktek keliru sebelumnya– yang terkait dengan mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Koran Tempo menulis Akil Mochtar berada di balik keterlambatan putusan uji materi Undang-undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Hakim Konstitusi Harjono mengatakan, sejak Akil terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada April 2013, finalisasi putusan uji materi undang-undang itu macet. Padahal, kata dia, putusan bahwa pemilu digelar serentak sudah diketuk Rapat Majelis Permusyawaratan Hakim pada 26 Maret 2013. "Sejak Akil menjadi Ketua MK, dia sibuk dengan sengketa pemilukada." Bukan hanya itu, Akil juga satu-satunya hakim yang ditunjuk menjadi penyusun finalisasi putusan itu. "Ketika itu, yang belum diputuskan soal presidential threshold dan waktu pelaksanaan pemilu serentak."
Menurut berita itu lebih lanjut, Mahkamah menyatakan putusan tak bisa diberlakukan 2014 karena tahapan pemilu sudah terlanjur berjalan. Kendati mengabulkan pemilu serentak, MK tak membatalkan pasal presidential threshold sebanyak 20 persen kursi di DPR. Pembacaan putusan minus kehadiran tiga hakim yang ikut mengetuk putusan. Mahfud MD dan Ahmad Sodiki yang pensiun sejak April 2013. Adapun Akil, pada Oktober lalu, dicokok penyidik KPK karena diduga menerima suap sejumlah sengketa pilkada yang ia tangani selama di MK.
Pakar hukum tatanegara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai ada indikasi kuat bahwa MK sengaja menunda pembacaan putusan itu. Jika dibacakan segera, ujar dia, pemilu legislatif dan pemilu presiden bisa digelar tahun ini. "Tanpa perlu menunggu 2019," kata Saldi, yang mengaku belum bisa menyimpulkan motif di balik penundaan itu. Tapi menurut berita Koran Tempo itu, Harjono menampik anggapan keterlambatan itu disengaja oleh lembaganya. Dia menjamin penundaan putusan itu bukan karena pesanan pihak tertentu.
SESUNGGUHNYA, penyatuan penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif, lebih nalar dan sekecil apapun kadarnya ia mengandung aspek pembaharuan politik –dalam artian menciptakan mekanisme politik yang kualitatif lebih baik dan lebih efisien daripada pemilu terpisah sebelumnya. Dengan pemilu serentak, partai-partai akan lebih terdorong untuk berkoalisi sebelum pemilihan umum yang pada akhirnya membuka kemungkinan penyederhanaan jumlah partai. Sekaligus lebih menutup peluang bagi praktek politik 'dagang sapi' sebagaimana yang terjadi dalam dua pemilihan umum yang terakhir, tahun 2004 dan 2009.
Soal risiko yang dikaitkan dengan pemilu serentak, bahwa ada kemungkinan presiden terpilih tak berhasil memperoleh mayoritas kerja di DPR, itu tak terkait dengan pemilu yang serentak atau terpisah, melainkan dengan sistem banyak partai. Makin banyak partai, makin kecil kemungkinan ada peraih suara mayoritas di parlemen. Merupakan tanggungjawab moral pembaharuan para politisi partai untuk lebih menyatukan diri berdasarkan persamaan tujuan dan program, dengan pengutamaan semangat altruisme. Mereka harus belajar menjinakkan hasrat dan keserakahan pribadi, menghindari 'semangat' biar kecil-kecil asal jadi raja di partai yang dibentuknya. Dengan jumlah partai yang lebih sederhana, kualitas demokrasi lebih bisa diperbaiki untuk menjadi lebih efektif.
Mengenai kekuatiran bahwa chaos akan terjadi bila pemilu serentak dipaksakan 2014, masih debatable. Dalam konteks ini, pandangan Yusril Ihza Mahendra, bisa menjadi referensi. "Kalau MK menafsirkan maksud Pasal 6A ayat (2) parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakannya. Kalau MK tafsirkan Pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti Pileg dan Pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya."
SETELAH Pemilihan Umum 1971, Presiden Soeharto berinisiatif menyederhanakan jumlah partai menjadi hanya tiga, yakni PDI, PPP dan Golkar. Tapi sayang, pembaharuan kepartaian saat itu hanya menyentuh aspek kuantitatif, tidak menyentuh aspek kualitatif. Fusi partai dilakukan tidak melalui dinamika dan seleksi 'alamiah' proses politik. Dan, dilakukan masih berdasarkan pengelompokan ideologis, bukan berdasarkan orientasi program. Karena semangat ideologistis masih membara-bara bagai api dalam sekam, pasca Soeharto semangat itu berkobar-kobar tertiup angin reformasi yang disalahmaknakan dan menghasilkan kembali sistem multi partai. Diperparah oleh menggebu-gebunya hasrat 'biar kecil asal jadi raja'.
BILA Mahkamah Konstitusi –yang kala itu masih dipimpin oleh Mahfud MD menjelang peralihan– ketika 26 Maret 2013 telah berhasil mengambil keputusan tentang pemilu serentak, segera membacakan keputusan itu, maka tentunya sesuai logika hukum, dengan sendirinya keputusan berlaku untuk pemilu 2014. Tak ada pilihan untuk menyatakan keputusan itu baru berlaku 2009, karena Mahkamah Konstitusi bukan penentu kebijakan politik, tetapi 'pengawal' bagi kebenaran pelaksanaan konstitusi. Dengan menentukan waktu bahwa pemilu serentak itu baru digelar 2019, meminjam pandangan Ketua Komisi Yudisial Marzuki Suparman, sebenarnya Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut UU mengenai MK adalah memutuskan apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Kita sepakat menganggap bahwa penyatuan pemilu menjadi serentak, lebih baik dan lebih tepat dari segi tujuan. Tentu saja cara mencapai tujuan, tetap harus dengan cara dan jalan yang benar. Namun terlepas dari itu, memang diperlukan kerja keras penyelenggara pemilu untuk mendadak melaksanakan pemilu serentak di tahun 2014. Penyelenggara pemilu tak boleh memperturutkan sikap cengeng. Kalaupun memang harus ada penambahan waktu persiapan, penundaan pemilu 1-2 bulan masih dalam batas kewajaran dan bisa ditolerir.
Tapi apapun, saat ini berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi, suatu praktek ketatanegaraan dan praktek politik yang lebih diperbarui telah tertunda lima tahun lamanya. Sudah menjadi fakta untuk sementara ini. Setidaknya sampai ada 'gugatan' baru yang ternyata pantas untuk dikabulkan. Maka, pola lama yang mungkin terasa lebih nyaman untuk dimainkan oleh sejumlah politisi partai pragmatis yang tak punya visi pembaharuan, masih akan berlangsung, khususnya melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden yang terpisah.
baca juga :
Menguat Alasan Putusan MK Harus Batal Demi Hukum ==> http://
Menyoal Legitimasi Presiden & Wakil Terpilih Di Mata Hukum ==> http://
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar