Pernyataan Pers Bersama
Pengesahan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan: Wujud Ketidakpedulian Pemerintah Terhadap Putusan MK & Kebutuhan Masyarakat
“Masyarakat Sipil Telah Siapkan Draf Judicial Review”
Jakarta, 8 Juli 2013 - DPR-RI menjadwalkan pengesahan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) pada Selasa, 9 Juli 2013. Pengesahan RUU P2H menjadi babak baru atas ketidakpahaman DPR atas perundang-undangan yang dibuatnya, juga kebutuhan masyarakat yang mendapat dampak langsung dari undang-undang tersebut. Dalam proses pembahasan RUU P2H oleh Komisi IV DPR, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan telah melakukan audiensi dengan Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, dan Tim Panja RUU P2H di Komisi IV.
Sejak awal pembentukan RUU P2H, Koalisi Masyarakat Sipil telah menyatakan sikap menolak pengesahan RUU ini. Terdapat banyak permasalahan dalam pembentukan RUU P2H, baik secara formal maupun substansial. Ada beberapa poin penting yang menjadi dasar penolakan pengesahan RUU ini, yaitu:
1. Pembentukan RUU P2H Tidak Disertai dengan Naskah Akademik
RUU P2H sebenarnya adalah perubahan judul dari RUU Pembalakan Liar (Illegal Logging) yang telah dibahas di DPR sejak 2011 lalu. Naskah Akademik adalah prasyarat mutlak pembentukan RUU, sesuai dengan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jikapun tidak ada perubahan substansial dari RUU tersebut, paling tidak harus ada penjelasan mengenai perubahan nama RUU. Hal ini untuk memastikan bahwa perumusan dan pembahasan RUU dilakukan dengan dasar dan alasan yang jelas. RUU P2H jelas menyimpangi pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, terlebih lagi karena ada perubahan substansial dari perumusan RUU Pembalakan Liar.
2. Proses Pembahasan RUU P2H Tidak Terbuka
Proses pembahasan RUU P2H terkesan dilakukan secara diam-diam oleh Panja Komisi IV DPR. Hal ini dapat dilihat pertama-tama dari sulitnya akses terhadap Naskah Akademik dan RUU P2H yang sedang dibahas oleh DPR. Keterbukaan dalam proses pembahasan RUU sangat penting, terutama untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan.
Pembahasan RUU P2H tidak pernah dipublikasikan, baik dari website DPR RI, maupun media massa. Hal ini jelas menutup peluang bagi masyarakat dan media untuk memantau pembahasan dan memberikan masukan terhadap pembentukan RUU ini.
Demikian juga setelah penyampaian posisi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelestarian Hutan di hadapan Komisi IV pada tanggal 8 April 2013, DPR RI tidak pernah mengundang lagi Koalisi untuk memberi tahu perkembangan terbaru mengenai pembahasan RUU ini apalagi memberikan draft terbaru RUU ini. Sehingga proses pembahasan RUU ini melanggengkan ketidakterbukaan yang sudah dilakukan sebelumnya.
3. Tidak Ada Harmonisasi Hukum Antara RUU P2H dengan Peraturan di Sektor Kehutanan Lainnya.
RUU P2H berusaha memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan di dalam satu perundang-undangan. Hal ini berdampak buruk, manakala tidak ada harmonisasi antara RUU P2H dengan peraturan lainnya di sektor kehutanan. Disharmonisasi yang paling mudah dilihat adalah tidak diperhatikannya definisi Kawasan Hutan dalam RUU ini.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, MK telah membatalkan definisi “Kawasan Hutan” dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, namun definisi kawasan hutan yang telah dibatalkan tersebut masih digunakan dalam RUU ini. Selain putusan MK tersebut, RUU P2H menambah tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan, dan justru menjadikan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi sulit dilakukan.
Demikian juga DPR RI tidak memperhatikan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang telah memutuskan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara dan masuk ke dalam golongan hutan hak. Padahal kenyataannya di lapangan, masih banyak hutan-hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Karena itu RUU P2H tidak bisa diberlakukan terhadap kawasan hutan yang belum jelas kepastiannya.
4. RUU P2H Mengkriminalisasi Masyarakat Adat
Dalam beberapa pasal RUU P2H, terdapat definisi-definisi yang membuka peluang lebih besar terhadap kriminalisasi masyarakat adat dan atau komunitas lokal. Definisi terorganisasi dalam Pasal 1 angka 6 misalnya, kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan melakukan tindakan yang merupakan satu kesatuan tujuan.
Kriminalisasi terhadap kegiatan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal justru banyak terjadi karena pasal-pasal dengan definisi yang terlalu luas seperti ini. Penegakan hukum yang selama ini cenderung hanya berlaku terhadap masyarakat adat dan atau masyarakat lokal serta pelaku lapangan. Padahal, yang seharusnya disasar adalah korporasi dan atau dalang (mastermind) yang selama ini kerap lolos dari keadilan hukum sehingga merajalela merusak hutan, baik di tempat yang sama maupun berpindah tempat atau berganti modus.
5. RUU P2H Kontraproduktif dengan Usaha Pemberantasan Korupsi
RUU P2H berusaha memformulasikan seluruh pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan dalam satu perundang-undangan, termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Usaha ini dibarengi dengan pembentukan sebuah lembaga baru yang khusus menangani pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan, termasuk tindak pidana korupsi. RUU ini juga membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan, karena diskresi yang berlebihan diberikan kepada pejabat daerah.
Hal ini jelas kontraproduktif dengan usaha pembenahan kelembagaan kehutanan dan pemberantasan korupsi. Diberikannya fungsi pencegahan terhadap lembaga yang diusulkan RUU ini akan menjadikannya tumpang tindih dengan Pemerintah Daerah, Kementerian Kehutanan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang. Pun, akan pontesial menghalangi KPK yang sudah secara serius menegakkan hukum antikorupsi di sektor kehutanan. Munculnya lembaga baru yang mengemban tugas penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan akan memperumit kordinasi dan supervisi antarlembaga sehingga penegakan hukum akan semakin rumit dan terganggu. Mengingat adanya fenomena corruptors fight back, inisiatif memunculkan undang-undang ini layak dicurigai sebagai upaya melemahkan KPK.
Berdasarkan poin-poin di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan menyatakan:
- Menolak disahkannya RUU P2H menjadi Undang-undang;
- Menuntut pemerintah mengedepankan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara komprehensif;
- Mengingat tumpang tindih regulasi yang kini terjadi, Koalisi mendesak agar pemerintah dan DPR melakukan moratorium penerbitan perundangan kehutanan dan tata ruang hingga roadmap harmonisasinya jelas dan disepakati publik;
- Menuntut dilakukannya pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat;
Koalisi Masyarakat Sipil akan mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi jika RUU ini disahkan;
Hormat kami,
a.n Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan
Siti Rahma Mary
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan
HuMa, Epistema Institute, KPA, WALHI, JKPP, Yayasan Silvagama, AMAN, JATAM, Sawit Watch, ICEL, FKKM, PUSAKA, ICW, PIL-Net, ELSAM, JIKALAHARI Riau.
Kontak:
Siti Rahma Mary 08122840995
Emerson Yuntho 081389979760
Andi Muttaqien 08121996984
______________
Luluk Uliyah
Knowledge and Media Manager
Epistema Institute
Jl. Jati Mulya IV No.23, Jakarta 12540
HP. 0815 9480246
www.epistema.or.id
fb: Epistema Inst | t: @yayasanepistema
“Belajar dan Berbagi untuk Keadilan Eko-Sosial”
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar