Minggu, 26 Agustus 2012

[Media_Nusantara] Keganjilan FPJP pada Bank Century yang Berujung Bailout

 

Keganjilan FPJP pada Bank Century yang Berujung Bailout

Bank Century adalah kasus seksi, tapi orang terengah-engah mengikuti detilnya. Terlalu rumit, teknis, dan menyangkut rimba belantara perbankan yang tak dikenal orang ramai: termasuk wartawan. Belum lagi akses data yang serba terbatas karena industri keuangan memang dilindungi aneka aturan yang tak memungkinkan lalu lintas informasi diakses banyak pihak. Tapi sejauh berkaitan dengan dana publik, maka kita berhak memperbincangkannya, termasuk membuka-buka datanya.

Salah satu bagian yang perlu diperjelas dari kasus Bank Century ini adalah; tak banyak orang menyadari bahwa pengucuran dana terhadap bank milik Robert Tantular itu sejatinya terjadi dua kali. Pertama sebesar Rp 689 miliar, dan kedua sebesar Rp 6,7 triliun. Tentu saja yang lebih tersohor adalah pengucuran dalam skema total Rp 6,7 triliun yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara (PMS), antara 24 November 2008 hingga 24 Juli 2009. Sementara yang Rp 689 miliar dikucurkan antara 14-18 November 2008 melalui skema Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kucuran melalui skema FPJP dan skema LPS memiliki perbedaan dari sisi sumber dananya. FPJP adalah dana talangan dari (kantong) Bank Indonesia, sementara dana LPS merupakan gabungan antara dana publik (modal awal Rp 4 triliun dari APBN) dan dana masyarakat melalui iuran perbankan.

Mungkin karena fasilitas pengucuran melalui skema FPJP ini sudah dilunasi 11 Februari 2009, maka urusannya dianggap selesai dan ―kurang diributka !!. Padahal, tidak semudah itu urusannya.

Sebagaimana tersurat dalam catatan sebelumnya, karena kesulitan likuiditas, manajemen Bank Century pada 30 Oktober 2008 mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Permohonan itu diulangi empat hari kemudian, 3 November 2008. Karena permohonan itulah maka pada 6 November 2008, Bank Century resmi berada dalam pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Sejak itu pula, Bank Indonesia menempatkan para pengawasnya di kantor Bank Century.

Tanggal 14 November 2008, setelah mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang ketentuan Rasio Kecukupan Modal atau CAR minimum dari 8 persen menjadi minimal 0 persen, Bank Century pun mendapat kucuran dana Rp 356,8 miliar. Tiga hari kemudian (17/11) dikucuri lagi Rp 145,2 miliar dan sehari kemudian ditambah lagi Rp 187,3 miliar, sehingga jumlah total FPJP yang diterima adalah Rp 689 miliar (dari permohonan awal Rp 1 triliun).

Jadi ribut-ribut soal mengubah aturan yang dianggap ―last minute  dan ―demi Bank Century seorang  itu sesungguhnya adalah keributan  di tahap fase pengucuran pertama (melalui skema FPJP), dan bukan bagian dari keributan Rp 6,7 triliun.

Nah, menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/30/PBI/2008 ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah bank yang mengajukan FPJP, di antaranya adalah menyerahkan jaminan aset. Jadi dalam hal ini, Bank Indonesia bertindak sebagai layaknya bank, yang memberi pinjaman dan meminta jaminan aset dari debiturnya. Jaminan aset (kolateral) yang diserahkan manajemen Bank Century kepada Bank Indonesia adalah Aset Kredit atau dalam kira-kira sama dengan hak tagih. Jadi Bank Century punya tagihan kredit kepada para nasabahnya, dan tagihan kredit itulah yang dialihkan ke Bank Indonesia sebagai jaminan.

Keganjilan a. Di sinilah persoalan mulai muncul. Dalam dokumen hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada bulan April 2009 (sebelum kasus Bank Century meledak ke permukaan –Juli 2009), ditemukan bahwa dokumen Aset Kredit senilai Rp 232,5 miliar baru diserahkan ke Bank Indonesia, tiga hari setelah pengucuran termin pertama, alias 17 November 2008. Itu berarti, Bank Indonesia dengan sadar mengucurkan duit talangan terlebih dahulu, tanpa meneliti kelengkapan dokumen Aset Kredit yang dijadikan jaminannya.

Kesalahan (secara sengaja?) kembali terulang pada pengucuran selanjutnya, di mana Bank Indonesia sudah memberikan dana Rp 187,2 miliar pada 18 November 2008, namun dokumen jaminannya baru diterima dua hari kemudian. Menurut BPK, dua kesalahan beruntun ini melanggar aturan yang dibuat Bank Indonesia sendiri. Pasal 8, PBI 10/30/2008 misalnya, menyebut bahwa permohonan FPJP wajib dilengkapi dengan dokumen antara lain daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung. Jadi, daftar agunan dan dokumennya harus diserahkan dulu, lalu BI membuat penilaian, dan fasilitas pun dikucurkan. Pasal 9 menyatakan, persetujuan BI atas permohonan FPJP dilakukan apabila antara lain Bank memenuhi persyaratan kelengkapan permohonan FPJP. Jadi bagaimana Bank Century yang kelengkapannya ―menyusul justru bisa mendapat kucuran Rp 689 miliar dalam empat hari berturut-turut?

Keganjilan b. Keganjilan lain yang sangat menggangu adalah kuantitas dari agunan berupa Aset Kredit yang diserahkan Bank Century kepada BI. Lagi-lagi menurut aturan yang dibuat Bank Indonesia sendiri (PBI 10/26/2008) tentang FPJP, jumlah bank yang menyerahkan Aset Kredit sebagai jaminan, harus berjumlah ―palig kurang 150 persen (Pasal 5) dari nilai FPJP. Nah, menurut temuan BPK, jumlah Aset Kredit yang dijaminkan ke Bank Indonesia hanya 148 persen dari FPJP yang dikucurkan alias hanya Rp 1,02 triliun.

Keganjilan c. Nah, di dalam agunan yang kurang itupun (kuantitas), masih terdapat persoalan dari sisi kualitas agunanannya. Di dalam Aset Kredit yang dijaminkan Bank Century kepada Bank Indonesia, terdapat hak tagih terhadap tiga debitur besar: a. PT Artha Persada (Rp 222,99 miliar) b. Boedi Sampoerna (Rp 195 miliar) c. PT Tranka Kabel (Rp 50 miliar)

Jadi, pengusaha Boedi Sampoerna yang namanya banyak disebut-sebut, sesungguhnya tak hanya sebagai deposan di Bank Century, tetapi juga sebagai debitur alias orang yang berhutang. Nah, ketiga debitur ini menyerahkan depositonya sebagai jaminan di bank yang sama. Jadi ketika Bank Century menyerahkan Aset Kredit dari ketiganya ke BI, maka agunan mereka berupa deposito pun ikut terbawa (carry over) sebagai jaminan FPJP.

Di mata BPK, ini adalah blunder yang dilakukan Bank Indonesia. Sebab, dengan jaminan deposito, bila ketiga debitur tersebut gagal bayar (kreditnya macet), maka agunan yang dapat dicairkan dari masing-masing mereka hanya Rp 2 miliar sesuai batas Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi dari agunan sebesar Rp 467 miliar itu (milik ketiga debitur), bisa-bisa hanya tinggal Rp 6 miliar.

Inilah yang disebut dalam hasil audit BPK September 2009 (setelah kasus Bank Century ramai) sebagai ―jaminan yang tidak secure.

Dengan adanya unsur jaminan deposito sebesar Rp 467 miliar di dalam agunan Bank Century kepada Bank Indonesia itu pula, saya menganggap bila Bank Century dinyatakan sebagai Bank Gagal dan kemudian ditutup, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 461 miliar. Sebab, bila BI memutuskan menutup Bank Century, maka dia pun hanya akan menerima pembayaran dari LPS sebesar maksimal Rp 6 miliar dari ketiga deposito itu. Karena lagi-lagi, batas deposito yang dijamin hanya Rp 2 miliar.

Jadi, dalam hal ini, Bank Indonesia sudah tersandera dengan keteledorannya( ?) sendiri dalam episode pengucuran FPJP, sehingga mau tak mau memang harus ―ngotot menyelamatkan Bank Century (dengan episode Rp 6,7 triliun LPS). Apalagi bila keteledoran ini adalah kesengajaan, maka menutup Bank Century sama dengan membuka kotak pandora berbagai kemungkinan tindak pidana persekongkolan yang sangat potensial merugikan negara. Sebab, baik keganjilan penyerahan dokumen Aset Kredit (a), kuantitas Aset Kredit (b), maupun kualitasnya ini (c), mustahil tak bisa dikaitkan dengan aspek-aspek pengawasan dari orang-orang BI sendiri, sejak Bank Century berstatus Bank Dalam Pengawasan Khusus, 6 November 2008.

Mendadak Bengkak

Bank Century diputuskan sebagai Bank Gagal yang direkomendasikan Berdampak Sistemik pada 20 November 2008 jam 8 malam oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia. Keputusan itu diteruskan ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di mana Menteri Keuangan sebagai ketuanya, yang langsung menggelar rapat pada hari yang sama jam 11 malam sampai jam 5 pagi. Rapat itulah yang lalu mengesahkan rekomendasi BI agar Bank Century di-bailout.

Seperti disampaikan pemerintah, pertimbangan memilih bailout dibanding menutup –selain dampak sistemik— adalah karena biayanya yang jauh lebih murah: Rp 632 miliar dibanding Rp 5,6 triliun. Suntikan Rp 632 miliar oleh LPS akan menaikkan Rasio Kecukupan Modal/CAR Bank Century dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen (syarat minimum bank sehat). Angka CAR negatif 3,53 persen itu adalah perhitungan CAR per 31 Oktober 2008 yang hasilnya konon baru diketahui tanggal 20 November 2008 (hari di mana Dewan Gubernur BI memutuskan Bank Century berstatus Bank Gagal yang Berdampak Sistemik).

Jadi, Bank Indonesia tidak mendasarkan datanya pada perhitungan CAR paling aktual (November) yang perhitungannya katanya baru keluar 20-25 hari setelah akhir bulan. Ini mirip pengucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang menggunakan asumsi CAR per 30 September, untuk pengucuran 14 November 2008. Padahal, selisihnya sudah jauh. CAR Bank Century per 30 September masih positif 2,35 persen. Sehingga dengan mengubah aturan tentang FPJP dari positif 8 persen menjadi positif saja, Bank Century bisa mendapat kucuran dana FPJP Rp 689 miliar. Padahal, pada saat periode pengucuran itu, CAR Bank Century sudah jatuh ke level negatif 3,53 persen (perhitungan 31 Oktober yang dikatakan baru keluar 20 November). Tentu saja bila angka ini yang menjadi acuan, Bank Century tetap tak layak ditolong dengan FPJP, meski standar aturannya sudah diturunkan sedemikian rupa (dari minimal CAR 8 persen menjadi minimal 0 persen).

Nah, ketika Bank Indonesia "meyakinkan" KSSK dan LPS bahwa Bank Century layak diselamatkan karena biayanya lebih murah, data yang digunakan lagi-lagi data CAR 31 Oktober 2008. Padahal para pejabat peserta rapat ini tahu belaka, bahwa ongkos penyelamatan yang katanya lebih murah daripada ongkos menutup itu, didasarkan pada data yang seharusnya sudah di-update agar lebih aktual. Terkesan lah bahwa keputusan ini diambil dari informasi-informasi yang sepatutnya sudah basi.

Sebab, hanya beberapa jam setelah KSSK mengetok palu memutuskan mem-bailout Bank Century dengan Rp 632 miliar saja, Bank Indonesia mengeluarkan perhitungan CAR terbaru!

Tidak ada keterangan dalam laporan BPK seberapa anjlok CAR Bank Century yang data terbarunya baru dikeluarkan BI setelah keputusan bailout "berbiaya lebih murah" itu diambil. Yang jelas, tiga hari kemudian: Senin, 24 November 2008, LPS mulai mengucurkan dana dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara (PMS) kepada Bank Century yang jumlahnya mencapai Rp 2,7 triliun hanya dalam tempo 6 hari (sampai 1 Desember 2008). Itulah pengucuran Tahap I. Meski begitu, dana yang mendadak bengkak (dari semula Rp 632 miliar) itu ternyata belum juga mampu mendongkrak CAR Bank Century ke level 8 persen. Sebab, pada tanggal 9 – 30 Desember 2008, Bank Century kembali mendapat kucuran Rp 2,2 triliun! Sehingga hanya dalam tempo 39 hari (21 November saat diputuskan hingga 30 Desember 2008), bank ini sudah menelan dana Rp 4,9 triliun!

Belakangan, Kepala Eksekutif LPS, Firdaus Djaelani menyatakan bahwa saat diambil alih lembaganya, CAR Bank Century negatif 153,66 persen! (Kompas, 28 Agustus 2009). Jadi, bila titik pengambilalihan Bank Century itu tanggal 21 November dini hari —dan Bank Indonesia menyodorkan angka CAR "basi" pada malam harinya— maka bisa dikatakan, bahwa dari sisi informasi yang dijadikan rujukan dalam proses pengambilan keputusan, hanya dalam beberapa jam saja, CAR Bank Century sudah amblas dari negatif 3,53 persen menjadi 153,66 persen!

Tentang CAR Bank Century saat diambil alih memang ada beberapa versi informasi. Menurut Bank Indonesia seperti dikutip laporan BPK disebutkan, bahwa saat keputusan diambil, 20-21 November 2008, CAR Bank Century masih menggunakan perhitungan CAR 31 Oktober, yakni negatif 3,53 persen. Angka CAR bulan November menurut BI baru keluar tanggal 23 November 2008 yang angkanya (tidak sefantastis klaim LPS), hanya negatif 35,9 persen alias anjlok 30 basis poin lebih. Jadi patokan CAR yang paling anyar, baru keluar perhitungannya tanggal 23 November 2008 atau dua hari setelah keputusan dibuat.

Saya sekedar penasaran apakah perhitungan CAR oleh Bank Sentral memang lazim dibuat di hari libur, mengingat tanggal 23 November 2008 adalah hari Minggu. Tapi jangan heran juga, sebab keesokan harinya (24/11), perhitungan CAR inilah yang langsung dijadikan acuan untuk pengucuran tahap pertama sebesar Rp 2,7 triliun hingga sepekan kemudian.

Memang membengkaknya kebutuhan suntikan dana ini sudah diperingatkan oleh BI karena potensi perubahan CAR dinamis. Tetapi justru di sinilah blundernya. Bercermin dari anjloknya CAR yang signifikan sejak keputusan FPJP beberapa hari sebelumnya —yang terbukti tak mampu menyehatkan bank tersebut meski diguyur uang Rp 689 miliar— bagaimana mungkin opsi bailout diyakini masih lebih murah dari opsi menutup bank tersebut? Di benak saya yang awam: bila disuntik Rp 689 miliar saja tidak manjur, mengapa KSSK berpikir Bank Century akan sehat bila disuntik Rp 632 miliar? Apalagi perhitungan CAR-nya tidak aktual dan jauh panggang dari api.

Bukankah keputusan ini terkesan didasarkan pada asumsi dan kira-kira belaka? Seperti halnya asumsi dampak sistemik? Lantas apa yang terjadi dengan uang triliunan yang bak menggarami air laut karena tak berdampak apa-apa itu (terbukti uang terus dialirkan)? Adakah uang itu mengalir ke sebuah tempat sehingga Rp 4,9 triliun hingga akhir Desember 2008 tak mampu menyehatkan Century?

Sebab, hingga 4 Februari sampai dengan 24 Februari 2009, Bank Century masih mendapat kucuran dana lagi dari LPS sebesar Rp 1,15 triliun. Kucuran baru berhenti pada 24 Juli 2009 dengan suntikan terakhir Rp 630 miliar. Jadi total jenderal, Bank Century memang mendapat kucuran dana Rp 6,7 triliun selama periode 8 bulan (November 2008 – Juli 2009). Setelah kucuran terakhir itu, LPS barulah menyatakan bahwa CAR Bank Century sudah positif 9,28 persen.

Atas fakta adanya angka yang bengkak mendadak ini, dalam laporannya BPK menarik kesimpulan sementara:

"...BI tidak memberikan informasi mengenai berapa risiko penurunan CAR. Informasi yang tidak diberikan tersebut adalah informasi penurunan kualitas aset yang seharusnya diketahui oleh BI, yaitu antara lain dugaan rekayasa akuntansi yang selama ini dilakukan Bank Century dengan tidak menerapkan PPAP (Penyediaan Pencadangan Aktiva Produktif) secara benar, dugaan Letter of Credit (LC) dan kredit fiktif, serta penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh pemilik/pengurus BC sebelum diambil alih oleh LPS".

Kita akan sama-sama lihat, bahwa Bank Indonesia patut diduga dengan sengaja menerima jaminan aset yang berpotensi merugikan negara saat memberi Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century. Jadi, gejala-gejala penyakit sudah terang benderang (dan dibiarkan?), namun diagnosa dan obat yang diberikan, seolah-olah Bank Century adalah pasien yang masih penuh harapan hidup.

by Bambang Soesatyo, Anggota TImwas Century

berita terkait :


__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar