Koruptor Lihai Ada di Jatim - Praktik Korupsi Politik Dinasti Diduga Dilindungi Aparat.
SURABAYA (Surabaya Pagi) – KPK sudah menjerat RKH Fuad Amin Imron dalam kasus suap terkait posisinya sebagai Ketua DPRD dan mantan Bupati Bangkalan. Namun, upaya KPK bersih-bersih koruptor di Jawa Timur (Jatim) itu dinilai belum cukup. Pasalnya, disinyalir masih ada koruptor lain yang modusnya mirip Fuad Amin dengan dinasti politiknya. Bahkan, disebut-sebut lebih lihai lantaran dilindungi oknum aparat di daerah. Karena itulah, lembaga penegak hukum pimpinan Abraham Samad ini diminta turun ke Jatim untuk mengungkap kasusnya. Siapa koruptor lihai itu?
Sinyalemen adanya koruptor lihai itu mencuat setelah redaksi Surabaya Pagi menggelar diskusi terbatas dengan sejumlah pegiat anti-korupsi, Jumat (19/12). Ini masih terkait dengan penangkapan Fuad Amin oleh KPK dengan bukti 3 koper berisi uang 4,7 miliar. Sementara kepala daerah yang mempraktekkan politik dinasti, belum tersentuh. "Banyak praktek-praktek korupsi terstruktur dan rapi, yang dilakukan kepala daerah. Saya tahu betul trik-trik membobol APBD karena saya pernah 2 periode di legislatif (DPRD Jatim, red)," kata Fathorrasjid, mantan Ketua DPRD Jawa Timur yang belum satu tahun bebas dari Rutan Medaeng, saat diskusi kemarin.
Meski cap terpidana korupsi melekat pada dirinya, namun Fathor tak gentar untuk menyuarakan praktik-praktik kotor di pemerintahan maupun legislatif. Fathorrasjid mengaku terpanggil untuk berperan memberantas korupsi di Jawa Timur sampai pada aktor utamanya. Sebab, apa yang menimpa dirinya lantaran adanya konspirasi politik. Untuk mendukung hal ini, politisi yang sempat mendekam 4 tahun gara-gara korupsi dana P2SEM ini sudah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Sejak beberapa waktu lalu kami sudah komunikasi intens dengan pimpinan KPK, sudah ada sinyal bahwa di Jawa Timur ini banyak koruptor kelas wahid yang sakti dan tidak pernah tersentuh hukum. Mereka ini lihai. Lebih lihai dari Atut (Ratu Atut Chosyiah di Banten, red)," ungkapnya.
Fathor tidak sendirian, dalam diskusi kemarin juga didukung para politisi yang guyonannya punya title SH, singkatan dari "Sarjana Hukuman" karena pernah merasakan pengapnya penjara. Diantaranya, Jumanto mantan ketua DPRD Kabupaten Probolinggo Jawa Timur yang mengaku sudah merasakan lima rumah tahanan. Termasuk di Porong dan Sukamiskin Bandung. Jumanto ini mengaku penahanannya sebagai koruptor tidak lepas dari kepentingan politik penguasa setempat.
Jumanto mengungkapkan, rata-rata kejahatan korupsi dinasti di daerah tidak hanya melibatkan keluarga atau sanak family saja. Namun juga bantuan dari tangan-tangan aparat hukum setempat. Ia mencontohkan, seperti kasus di Bangkalan Madura, dimana Fuad Amin yang begitu kuat dan selama ini aparat hukumnya adem ayem akhirnya tertangkap.
Praktek politik dinasti yang hampir menyerupai Bangkalan juga terjadi di kota lain, salah satunya kabupaten Probolinggo. Jumanto melihat sendiri, bagaimana sebuah hegemoni kekuasaan di daerah yang "dilindungi" aparat hukum, baik itu kejaksaan maupun kepolisian setempat. Dengan melibatkan unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga dengan leluasa proyek-proyek dikuasai dari hulu hingga hilir oleh segelintir sanak family penguasa hingga bertahun-tahun. "Termasuk ketika KPK mau menyelidiki kasus di daerah, selalu gagal dan kembali dengan tangan hampa," tuturnya.
Kenapa KPK gagal masuk? Jumanto menyebut karena pejabat setempat sudah lihai dan sakti. Karena sudah menggandeng aparat hukum. Modusnya, seolah-olah kasus pejabat itu sudah disidik Kejaksaan atau Kepolisian dengan adanya laporan-laporan yang masuk. Padahal, penyidikannya dimentahkan sendiri. Ia menceritakan, ketika ada KPK datang untuk menelusuri sebuah kasus, pihak kepolisian atau kejaksaan sudah lebih dulu menyebut sedang menangani kasus tersebut. Dengan demikian KPK hanya sebatas supervisi dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ini karena dalam aturan Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang KPK disebutkan sebuah kasus yang sudah ditangani kepolisian atau kejaksaan tidak bisa ditangani KPK.
"Inilah yang menjadi celah untuk mengelabui KPK, dengan menyebut kasus tersebut sudah ditangani aparat kepolisian atau kejaksaan. Namun, oleh aparat ini kasus itu tidak dituntaskan atau malah berakhir dengan SP3," beber Jumanto yang mengaku mengantongi sejumlah data kasus yang melibatkan sejumlah kepala daerah yang menjalankan politik dinasti.
Ia mengaku prihatin dengan praktek kongkalikong antara penguasa dengan aparat penegak hukum di daerah. "Tidak cuma aparatnya yang sudah masuk sistem, korupsi di daerah itu bisa subur juga didukung oleh preman, kyai bahkan tak segan-segan mengintimidasi wartawan atau LSM yang mengkritik sebuah kasus di daerah," ungkapnya. "Ini sudah sistemik. Makanya, KPK hanya bisa menangani kasus korupsi di daerah dengan OTT (operasi tangkap tangan, red) seperti terjadi pada Fuad Amin," lanjut Jumanto.
Untuk itu, dirinya bersama sejumlah eks terpidana lainnya seperti Musyafak Rouf (mantan ketua DPRD Surabaya), Andri Irawan dan Junaidi dari Judicial Eximination Institut. Kemudian Bin Haudi, Sholahudin, Imron dari Pro Coruption Watch. Fathorrasjid dan Jumanto ingin politik dinasti di Jawa Timur ini dibongkar. Karena kejahatan dari sebuah dinasti ini tidak gampang, dan yang melawannya malah akan dijebloskan oleh aparat apapun caranya.
"Kami akan terus berjuang agar pemerintah di Jawa Timur ini bersih, sudah banyak contoh politik dinasti yang akhirnya terbongkar. Seperti dinasti Ratu Atut di Banten dan dinasti di Bangkalan, Insya Allah yang lain cepat atau lambat juga akan terbongkar. Sedang di Jawa Timur setidaknya ada lima dinasti politik," pungkasnya.
Pandangan Mahfud MD
Apa yang disampaikan dalam diskusi kemarin, tampaknya sejalan dengan pandangan Mahfud MD, tokoh asal Madura yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyesalkan praktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Bangkalan dan baru terungkap sekarang. Padahal, praktiknya sudah lama. "Kalau saya di KPK, sudah lama (di Bangkalan) saya obok-obok," kata Mahfud MD kepada wartawan usai acara Seminar nasional Aktualisasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Visi Transparansi Pemerintahan Baru di kantor Dinas Kominfo Pemprov Jawa Timur, Jumat (19/12).
Beberapa waktu lalu, KPK meringkus Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan Fuad Amin Imron, kasus dugaan suap migas. Mahfud menduga, praktik korupsi yang dilakukan Fuad Amin sudah dilakukan sejak lama. "Nggak ada kaitannya dengan politis," tuturnya.
Banyak orang mengira tidak ada yang berani menangkap Fuad yang juga Ketua DPC Gerindra Kabupaten Bangkalan. Orang-orang di Bangkalan juga tidak ada yang berani melawan Bupati Bangkalan selama dua periode (10 tahun), dan saat ini 'dinasti'nya dilanjutkan sang anaknya Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon) sebagai Bupati Bangkalan periode 2013-2018. "Dulu orang nggak berani. Yang berlaku bukan hukum Madura. Tapi hukum yang berlaku di Indonesia," tandas Mahfud MD
__._,_.___
Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar