Rabu, 05 Maret 2014

[Media_Nusantara] Release Media HuMa: Calon Pemimpin Bangsa Harus Memiliki Kepemimpinan Kuat dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Hak

 

Kawan-kawan jurnalis sekalian,

 

Berikut Release Media pada Konferensi Pers yang bertajuk "Menyambut PEMILU 2014: Pembangunan Rendah Karbon Berbasis Hak sebagai Masa Depan Indonesia" yang diselenggarakan oleh HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis).  

 

Narasumber pada konferensi pers hari in berikut kontaknya adalah :

 

1.Andiko, Direktur Eksekutif HuMa, HP.  0813 861 202 60

2.Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia, Anggota HuMa. HP. 0811847163.

 

Salam hangat,

 

Luluk Uliyah.

 

---------------------------------------

 

Siaran Pers

Perkumpulan HuMa

Calon Pemimpin Bangsa Harus Memiliki Kepemimpinan Kuat dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Hak

 

Jakarta, 6 Maret 2014. “Partai-partai dan calon presiden yang layak dipilih adalah mereka yang memiliki kepemimpinan kuat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berbasis hak. Indonesia tidak dapat lagi bertumpu pada model ekonomi eksploitatif tak terkendali yang berpotensi menjerumuskan negara ke dalam kerentanan pangan, air, dan energi serta bencana alam yang terus-menerus. Para pemimpin bangsa juga harus mampu mengembangkan model ekonomi yang berkelanjutan, yang berbasis hak dan menjadikan rakyat sebagai aktor utama”, papar Andiko, Direktur Eksekutif HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) pada Konferensi Pers yang bertajuk “Menyambut PEMILU 2014: Pembangunan Rendah Karbon Berbasis Hak sebagai Masa Depan Indonesia”.

 

Konferensi Pers ini diadakan pada hari Kamis, 6 Maret 2014 di Dapur Sunda, Setiabudi Building, Jakarta Selatan.  Hadir sebagai narasumber Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia dan Andiko dari HuMa

 

Di masa depan, peta politik hubungan antar negara di dunia akan ditentukan oleh berapa berdaulatannya negara tersebut dalam mengatur dirinya sendiri. Indonesia berpotensi menjadi pemain utama dalam tatanan politik dunia di masa depan dengan syarat memiliki kedaulatan penuh termasuk kedaulatan atas air, pangan, energi, serta keanekaragaman hayati hutan hujannya, “ Ujar Chalid Muhammad.

 

Kegiatan-kegiatan terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim saat ini hanyalah bagian kecil dari upaya untuk memulihkan daya dukung lingkungan, koreksi terhadap kesalahan-kesalahan kelola sumber daya alam di masa lalu, dan landasan untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berbasiskan rakyat.

 

REDD+, inisiatif global yang telah menjadi alat utama upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan Indonesia telah berkembang menjadi sebuah skema yang melibatkan puluhan triliun rupiah. Skema ini harus terus-menerus dicermati agar tidak terjebak dalam logika proyek global yang hanya menguntungkan segelintir elit dan konsultan sementara proyek-proyek berbasis lahan yang dibawanya membatasi atau mengubah hidup puluhan juta orang yang bergantung pada hutan, seringkali tanpa persetujuan penuh dari mereka (FPIC).

 

HuMa berpandangan bahwa REDD+ hanya berharga untuk dipertahankan apabila mampu menghasilkan perubahan mendasar dalam hal kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam sehingga semakin melindungi lingkungan dan hak asasi manusia, terutama hak tenurial masyarakat adat dan lokal. Beberapa peraturan perundang-undangan penting terkait kehutanan harus segera direvisi untuk pemenuhan hak tenurial masyarakat adat dan lokal, di antaranya adalah UU Kehutanan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), dan UU Konservasi. Proses penting lainnya adalah pemberian payung hukum atas hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia dalam bentuk UU PPHMHA (Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat) yang hingga kini masih berada di DPR.

 

Penerapan REDD+ juga harus mendukung implementasi berbagai perkembangan hukum yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, antara lain Putusan MK 35 tahun 2012 tentang pengakuan status hutan adat dalam UU Kehutanan dan implementasi desa adat dalam UU Desa. Juga harus mendukung penyelesaian ratusan konflik kehutanan yang ada saat ini[1] secara terintegrasi dengan melahirkan institusi penyelesaian konflik kehutanan yang kuat.

 

Sayangnya, berbagai kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan akhir-akhir ini belum mencerminkan semangat tersebut. Selain Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Perkembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang eksploitatif dan berpotensi memicu lebih banyak konflik, RPP Gambut yang akan dikeluarkan pun masih bermasalah.

 

“Draft RPP Gambut yang ada saat ini tidak memproyeksikan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca Indonesia sebagaimana komitmen pemerintah RI sejak 2009. Draft ini bahkan sangat lemah jika dibandingkan dengan Inpres Moratorium yang menekankan perlindungan gambut secara utuh dan menyeluruh,” kata Teguh Surya, pengkampanye politik kehutanan Greenpeace.

 

“Jika menggunakan logika UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup tahun 32/2009, seharusnya pemerintah terlebih dahulu membuat peraturan untuk pelaksanaan instrumen-instrumen perencanaan lingkungan hidup di hulu, misalnya PP RPPLH[2], PP Inventarisasi Lingkungan Hidup, PP Penetapan Wilayah Ekoregion, dsb, bukan justru langsung pada peraturan pemanfaatan,” kata Yustisia Rahman dari Indonesian Center for Environmental Law atau ICEL. “Bahkan, harusnya semua pemanfaatn SDA di-stop dulu sampai pemerintah buat RPPLH tingkat nasional atau minimal membuat penetapan daya dukung dan daya tampung berdasarkan penetapan wilayah ekoregion.” 

 

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hutan dan Iklim menyerukan agar Presiden menunda penandatanganan/pengesahan RPP Gambut sampai adanya draft RPP yang benar-benar kuat untuk melindungi lahan gambut. Untuk itu, perlu dibuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya untuk bisa memberikan masukan dan terlibat aktif dalam proses penyusunan kebijakan perlindungan gambut.

 

Selain itu, HuMa dan Koalisi juga menyerukan agar pemerintahan yang baru, baik eksekutif maupun legislatif, meneruskan dan memperbaiki berbagai inisiatif perbaikan tata kelola hutan yang telah dimulai, dengan atau tanpa REDD+, dengan melandaskan diri pada hak-hak masyarakat. 

 

Sementara itu, berbagai perkembangan terkini terkait hak masyarakat adat dan lokal akan ditelaah dalam Seminar Internasional terkait REDD+, Tenure, dan Tata Ruang yang diselenggarakan oleh Rainforest Foundation Norway (RFN) di Padang pada 12 hingga 16 Maret 2014. HuMa dan Warsi akan menjadi tuan rumah konferensi tersebut, yang akan dihadiri oleh mitra RFN dari 13 negara dan lebih dari seratus peserta dari Sumatera hingga Papua. Konferensi ini akan menunjukkan bagaimana pengakuan hak tenurial masyarakat atas hutan akan menjadi salah satu pilar pengembangan ekonomi bangsa yang lebih besar, berkelanjutan, kuat dan berkarakter. [ ]

 

***

Kontak Media:

1.       Andiko, Direktur Eksekutif HuMa, 0813 861 202 60, andi.ko.ko@gmail.com

2.       Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia (IHI), 0811 847 163, chalid.muhammad@gmail.com

3.       Yustisia Rahman, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 089660030710, yustisia.r@gmail.com

4.       Teguh Surya, Greenpeace, 081915191979, teguh.surya@greenpeace.org

 

 

-------

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) adalah organisasi non pemerintah yang bergerak pada isu pembaharuan hukum bidang sumber daya alam (SDA). Konsep pembaharuan hukum SDA yang digagas oleh HuMa menekankan pentingnya pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal, keragaman sistem hukum dalam penguasaan dan pengelolaan SDA. Gagasan dan praktik pembaharuan hukum yang dikembangkan bertujuan mendorong pembaruan sistem dan praktik hukum yang adil bagi masyarakat marginal dan lingkungan, serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keragaman sosial budaya. Informasi detail tentang HuMa dapat dibuka diwww.huma.or.id

 

Rainforest Foundation Norway (RFN) merupakan salah satu organisasi terdepan di Eropa dalam perlindungan hutan hujan dengan jaringan mitra yang tersebar di semua wilayah hutan hujan besar di Asia-Oceania, Amerika Selatan danA frika. RFN bekerja untuk melestarikan hutan hujan dan jasa ekosistem mereka, sekaligus juga mengupayakan pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan komunita slokal lainnya untuk wilayah adat dan sumberdaya yang mereka miliki.

 

KKI-Warsi merupakan organisasi non-pemerintah yang bekerja untuk menghidupkan kembali prinsip-prinsip konservasi masyarakat adat dan mendorong pengembangan model-model konservasi berbasis komunitas di Sumatera khususnya dan di Indonesia pada umumnya.  Warsi bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan prinsip-prinsip konservasi berbasis  komunitas yang adil berdasarkan kesetaraan, partisipasi, keterbukaan, dan keberlanjutan untuk memenuhi standar kehidupan manusia dan kesejahteraan saat ini tanpa mengancam kehidupan dan kebutuhan generasi yang akan datang. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat di http://www.warsi.or.id/.

 

 



[1] Hingga saat ini, HuMa telah merekam 317 konflik agraria termasuk di sektor kehutanan. Data konflik lengkap dapat dilihat di situs www.humawin.org

[2] Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

 

 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar