Minggu, 09 Maret 2014

[Media_Nusantara] Putusan MK tentang PK lebih sekali

 

Putusan MK tentang PK lebih sekali

by Yusrilihza_Mhd

Bahwa orang lain yg membunuh tetapi Antasari Azhar yg dihukum adalah persoalan keadilan atau keadilan substantif seperti kata MK sendiri

Assalamu'alaikum wr wb. Saya ingin meluruskan berbagai kesalahapahaman atas Putusan MK tentang PK lebih sekali yg dimohon Antasari Azhar. Yang dimohon AA untuk diuji terhadap UUD 45 adalah norma ps268 ayat 3 KUHAP, yg mengatur bhw PK hanya boleh dilakukan 1 kali saja. AA tidak menguji pasal2 yg substansinya sama yg juga diatur dalam UU yg lain, seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Jadi ruang lingkup permohonan AA adalah spesifik hukum acara pidana saja sebagai hukum formil utk menegakkan hkm pidana materil.

Keterangan ahli yg saya sampaikan dlm sidang MKpun tegas mengatakan demikian, bhw permohonan uji thdp PK itu spesifik hanya utk pidana. Jadi, ketika permohonan AA dikabulkan maka yg boleh PK lebih sekali hanya dalam perkara pidana saja. Untuk perkara lain seperti perkara perdata, tata usaha negara dll PK tetap hanya boleh dilakukan satu kali saja. Yang berhak mengajukan PK hanyalah terpidana, keluarga dan penasehat hukumnya

PK dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yg ditemukan kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asumsinya, jika sekiranya alat bukti tsb diungkapkan di persidangan sebelumnya, maka kemungkinan terdakwa akan dibebaskan dari dakwaan. Selain novum, alasan PK juga didasarkan atas adanya kekhilafan hakim yg nyata dalam memutus perkara pidana tsb. Atau adanya pertentangan putusan terhadap perkara tsb dengan perkara yg sama yg sebelumnya telah diputus inkracht oleh pengadilan

Jaksa Penuntut Umum tdk berhak mengajukan PK karena filosofi adanya PK adalah untuk melindungi kepentingan terpidana dari ketidakadilan. Namun demikian Jaksa Agung berhak ajukan PK yg dinamakan "PK demi hukum". Kewenangan ini hanya ada pd Jaksa Agung. Jaksa biasa tdk bisa. Tapi PK demi hukum itu hanya boleh digunakan Jaksa Agung semata2 untuk kepentingan keadilan bagi terpidana. Misalnya Jaksa Agung menemukan novum bhw terpidana bukanlah pelaku kejahatan, tapi orang lain, sementara terpidana sdh dihukum. Dalam keadaan demikian, Jaksa Agung dapat berinisiatif ajukan PK untuk membebaskan terpidana yg salah dakwa tsb. Namun Jaksa Agung tdk boleh ajukan PK demi hukum dengan tujuan untuk memperberat hukuman orang yg sudah dipidana. Jaksa Agung juga tdk boleh ajukan PK untuk menghukum terdakwa yg dibebaskan oleh pengadilan karena dakwaan tdk terbukti dan sdh inkracht

Apa yg saya katakan tadi dulu sering dilanggar oleh Kejaksaan Agung, lebih2 oleh Jaksa Agung Kanjeng Raden Temenggung Hendarman Supandji. Jaksa Agung Basrief sekarang ini tegas sudah tidak mau ajukan PK karena menyadari hal tsb adalah salah dan bertentangan dengan UU

Persoalan PK boleh lebih sekali kini banyak diperdebatkan dari sudut pandang keadilan dan kepastian hukum. Keadilan dan kepastian hukum adalah dua hal yg sejak lama diperdebatkan dalam filsafat hukum. Dalam filsafat hukum di dunia Barat, keadilan dan kepastian hukum sering dianggap dua hal yg bertentangan. Hukum adil tapi tidak punya kepastian. Hukum pasti tapi tidak mengandung keadilan. Memang merepotkan

Di MK saya mengutip pandangan ahli filsafat hukum Islam, Imam Asy-Syatibi. Asy-Syatibi mengatakan bahwa landasan dan tujuan syariah atau hukum adalah al 'adalah atau keadilan. Bukan hukum namanya kalau tdk adil. Sementara norma dan putusan hukum juga wajib bersifat qat'i atau mengandung kepastian. Maka tugas dari ahli filsafat hukum adalah mempertemukan keadilan dan kepastian hukum itu. Sehingga, dalam keadilan ada kepastian hukum, dan di dalam kepastian hukum ada keadilan

Itulah inti agumentasi dalam keterangan ahli saya di hadapan MK ketika AA mengajukan uji ketentuan PK hanya sekali dalam ps 268 KUHAP. Dalam kasus AA, saya katakan, kepastian hukum sudah ada. Putusan AA sudah inkracht di tingkat kasasi. Bahkan PKnya juga sdh ditolak MA. Tak seorangpun yg mengingkari fakta bahwa AA kini adalah seorang narapidana yg sedang menjalani hukuman penjara 18 thn di LP Tangerang. Tak ada yg mengingkari fakta tsb, termasuk AA sendiri. Artinya telah ada kepastian hukum buat AA. Namun jika saya bertanya sudahkah AA mendapatkan keadilan dengan kasus yang didakwakan pdnya dan hukuman yg telah diterimanya?

Saya berpendapat keadilan itu belum didapatkannya. AA masih meronta2 menuntut keadilan. Banyak orang sependapat dengan AA. AA sudah PK satu kali dan ditolak MA. Di MK saya bertanya kpd majelis hakim MK dengan mengutip agumen MK dlm putusan mrk sendiri.

Putusan MK itu terkait dengan putusan yg batal demi hukum sbgmana diatur ps 197 KUHAP yg dimohon Parlin Riduansyah. MK menolak permohonan Parlin dengan mengemukakan teori keadilan substansial dan keadilan prosedural. Kalau secara substansi/materil sdh terbukti, maka keadilan prosedural tak boleh menghalangi keadilan substansial tsb. Maka, meskipun putusan hakim tdk memenuhi syarat formil pemidanaan dan putusan menjadi batal dm hkm, terdakwa tetap harus dieksekusi. Atas dasar pendapat MK itu saya tanya, andai besok ada orang lain yg terbukti menjadi pembunuh Zulkarnain, dan bukan Antasari, apakah MK akan membiarkan AA terus mendekam di penjara karena tdk ada jalan untuk membebaskannya, karena PK hanya boleh satu kali..

Bahwa orang lain yg membunuh tetapi AA yg dihukum adalah persoalan keadilan atau keadilan substantif spt kata MK sendiri. Sementara PK hanya boleh sekali adalah persoalan keadilan prosudural seperti dikatakan MK sendiri. Jadi kalau MK menolak PK lebih sekali dalam kasus AA, apakah MK telah berbalik arah mengedepankan keadilan prosedural dan Mengabaikan keadilan substansial? Saya katakan saya hanya ingin bertanya konsisistensi sikap MK terhadap masalah ini

Pada akhirnya saya berpendapat, spt ImamAsy-Syatibi, keadilan dan kepastian hukum haruslah dipertemukan, bukan dibiarkan jalan sendiri2. Kepastian hukum yg tidak adil dalam kasus AA harus dihentikan ketika keadilan ditemukan. Keadilan menciptakan kepastian hkm yg baru, yakni keadilan yg mengandung kepastian hukum, serta kepastian hkm yg mengandung keadilan

Demikian kultwt saya pagi ini. Yang mau kutip dan komentar silahkan. Salam hormat saya...

Tambahan, banyak yg berkomentar PK lebih sekali adalah akal2an terpidana untuk menunda eksekusi, sehingga tdk ada kepastian hukum. Hal itu tidak mungkin. Karena, PK samasekali tdk dapat menghambat atau menghalangi eksekusi pidana. Kalau ada terpidana yg ajukan PK dan dg itu tdk dia tidak dieksekusi, ini jelas permainan para jaksa selaku eksekutor. Saya sependapat dg MA bahwa ketika mengajukan PK terpidana harus hadir di persidangan. Statusnya ketika itu adalah narapidana, Dalam hal pidana denda, kalau terpidana ajukan PK, dendanya harus dibayar lebih dahulu

Ketika saya tangani PK Agusrin Najamuddin, eksekusi memang belum dilaksanakan. Saya buat kesepakatan dengan jaksa. Agusrin saya hadirkan ke sidang PK di PN Jakarta Pusat. Selesai sidang PK dia saya antarkan ke LP CIpinang untuk jalani eksekusi. Jaksa eksekutor telah menunggu di LP Cipinang dan Agusrin saya serahkan kpd Jaksa yg segera tandatangani berita acara eksekusi

Begitu jg ketika saya tangani PK tepidana Johannes di PN Pangkal pinang, Bangka. Johanes saya hadirkan ke sidang. Saya meminta izin Kalapas Pangkal Pinang untuk keluarkan Johanes dari LP untuk hadir di sidang PK dengan pengawalan petugas LP. Setelah sidang, Johanes kembali ke LP Pangkalpinang. Jadi PK memang baru dapat dilakukan dengan dihadiri oleh terpidana. Sekian.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar