Kerja Kotor Penguasa
by Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI
PENYADAPAN di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Presiden kelima Megawati Soekarnoputri itu kerja kotor penguasa yang gelisah dan takut berlebihan. Kasus ini menguatkan bukti bahwa satuan-satuan tugas pengamanan negara tidak fokus pada fungsinya menjaga dan menguatkan ketahanan nasional, tetapi disalahgunakan untuk mengintai lawan-lawan politik penguasa.
Di permukaan, setiap rezim penguasa memang harus menyajikan program kerja yang baik-baik dengan janji menyejahterakan rakyat. Program yang baik-baik itu lalu dituangkan dalam rencana kerja tahunan berikut proyeksi anggarannya. Di Indonesia dikenal dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Di dalamnya ada puluhan hingga ratusan rencana proyek pembangunan yang digagas oleh pemerintah daerah maupun kementerian. Namun, selain pekerjaan yang baik-baik itu, rezim penguasa juga punya agenda kerja kotor. Agenda ini tidak terbuka, melainkan tertutup. Agenda kerja kotor ini diperlukan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya serta memperkaya diri dan kelompoknya.
Satuan kerja yang merealisasikan agenda kerja kotor ini pun samar-samar dan tak mudah dideteksi. Tetapi, lazimnya, kualifikasi anggota satuan kerja ini tinggi alias sangat terlatih. Alokasi dana untuk membiayai kegiatan mereka pun biasanya tak terbatas. Sebab, kerja utamanya adalah melayani kemauan dan kehendak sang penguasa. Doktrinnya, satuan kerja ini tak pernah boleh gagal. Keberhasilan adalah harga mati, sebab satuan kerja yang merealisasikan agenda kerja kotor itu dibenarkan menghalalkan segala cara.
Prioritasnya adalah mengintai sepak terjang lawan politik penguasa. Selain mencatat kesalahan atau hal-hal mencurigakan lainnya, satuan kerja itu harus bisa mencatat perilaku menyimpang lawan-lawan politik penguasa. Kalau kegiatan pengintaian tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, satuan kerja itu akan melakukan penyadapan. Kalau penyadapan tak juga membuahkan hasil, aksi berikutnya adalah penyusupan. Satu atau dua anggota satuan kerja itu akan menyamar, lalu menyusup untuk bisa menjadi orang dekat atau staf dari figur yang menjadi target pengintaian.
Selain mengintai lawan politik, ada juga satuan kerja yang fungsinya mengurusi bisnis penguasa. Biasanya bisnis illegal. Dari menyalahgunakan wewenang hingga meminta konsesi. Pekerjaan satuan kerja ini akan makin rumit manakala istri dan anak-anak penguasa ikut-ikutan memanfaatkan kekuasaan untuk menjalankan beberapa bisnis illegal tadi. Anggota satuan kerja itu terpaksa harus mendatangi sejumlah kementerian untuk mengemukakan kepentingan penguasa pada sejumlah proyek. Agar jabatan para petinggi di kementerian tidak digoyang, mereka akan tunduk begitu saja pada kepentingan penguasa dan keluarganya.
Praktik kekuasaan yang demikian lazim terjadi di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat sekali pun. Kesan tentang fungsi National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional AS cukup mulia dan hebat. Tetapi, NSA tetap saja punya divisi yang bertugas merealisasikan agenda kerja kotor mereka. Dari menyadap warga AS sendiri hingga menyadap aktivitas dan pembicaraan kepala pemerintahan negara lain, termasuk presiden RI. Untuk kepentingan itu, NSA bahkan berkolaborasi dengan ASD (Australian Signals Directorate).
Mudah Kecolongan
Menyadap Gubernur DKI Jakarta dan mantan Presiden Indonesia jelas-jelas adalah kegiatan mengintai lawan politik. Siapa yang paling mungkin dan paling bisa merealisasikan pekerjaan ini? Dalam konteks dinamika politik terkini, pelaku penyadapan adalah satuan kerja siluman yang bertugas merealisasikan agenda kerja kotor penguasa. Bagaimana pun, menyadap mantan presiden dan Gubernur DKI Jakarta adalah pekerjaan kotor yang teramat berani ,namun juga sangat memalukan. Teramat berani karena pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirinya sangat berkuasa.
Kedua figur yang disadap dikenal sebagai sosok Pancasilais dan taat konstitusi. Aktivitas politik keduanya pun sangat terbuka. Peduli rakyat dan tak sedikit pun berniat melancarkan kudeta atau merongrong wibawa negara maupun pemerintah. Lalu, informasi apa yang ingin didapat dari kegiatan penyadapan itu? Tampaknya, penguasa ingin memperoleh informasi receh yang bisa digunakan untuk merusak citra kedua figur itu. Hanya itu dan tak lebih. Dalam konteks moral, tidakkah itu memalukan?
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah salah satu unggulan dalam persiapan menuju pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014, sementara Megawati adalah sosok yang dipahami sebagai penentu posisi Joko Widodo dalam pentas Pilpres tahun ini.
Tak hanya Joko Widodo dan Megawati yang diintai. Masih ingat penuturan politisi Anas Urbaningrum ketika dia mengungkap sepak terjang oknum intel yang selalu mengintai kegiatannya? Dari penuturan itu, didapat gambaran bahwa sejumlah orang yang berkomunikasi dan beraktivitas bersama Anas masuk dalam radar intai dan penyadapan.
Bahkan, sejumlah anggota DPR yang selama ini vokal dan kritis terhadap pemerintah pun tak luput dari pengintaian dan penyadapan. Mereka tahu bahwa percakapan via telepon seluler mereka disadap. Tak jarang, para pengintai menampakan kegiatannya hingga di luar pagar rumah dari figur yang diintai.
Kegiatan menyadap sejumlah figur lokal yang diposisikan sebagai lawan politik penguasa ini mencerminkan kegelisahan dan takut berlebihan dari pusat kekuasaan itu sendiri. Gelisah dan takut yang sesungguh tak perlu, karena kritik bukanlah kudeta. Kekuasaan harus terus dikritik agar tidak disalahgunakan. Sayang, cara pandang positif ini tidak dimaknai sebagaimana mestinya.
Akibatnya, negara ini begitu sering kecolongan. Masih adanya sel-sel terorisme, maraknya penyelundupan senjata serta narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) hingga penyadapan oleh kekuatan-kekuatan asing adalah bukti paling nyata bahwa pemerintahan sekarang ini begitu mudah kecolongan. Kecenderungan ini terjadi karena satuan-satuan pengamanan negara tidak fokus pada fungsinya menjaga dan memperkuat ketahanan nasional.
Oleh penguasa, satuan-satuan pengamanan negara itu malah disalahgunakan. Mereka diperintah mengintai dan menyadap sejumlah figur yang dianggap tidak bersahabat dengan penguasa. Penyadapan oleh kolaborasi NSA-ASD menjadi bukti bahwa pemerintah lengah.
Padahal, hiruk pikuk tentang sepak terjang Wikileaks beberapa tahun lalu sudah memberi pelajaran kepada banyak negara. Namun, pemerintah Indonesia tidak mau belajar dari apa yang diungkap Wikileaks. Pada akhir 2010, diungkap bahwa Wikileaks memiliki tak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik pemerintah AS yang mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu bersumber dari laporan diplomatik yang dikirim Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya.
Sekitar dua pekan lalu, terungkap pula data baru mengenai hasil penyadapan NSA-ASD yang dipublikasi oleh The New York Times. Dua badan intelijen ini, menurut dokumen NSA yang dibocorkan Edward J Snowden pada awal 2013, aktif memantau dan menyadap Indonesia lewat jaringan telekomunikasi Indosat dan Telkomsel sejak 2002. Pembicaraan pejabat tinggi Indonesia pada 2012 disadap dari jaringan Indosat. Dan, dari jaringan Telkomsel, ASD berhasil mengumpulkan 1,8 juta data kunci terenkripsi.
Pedulikah pemerintah pada masalah yang bisa signifikan pengaruhnya terhadap aspek ketahanan nasional ini? Sayang, publik hanya bisa menyimak pernyataan emosional menteri luar RI. Hanya pernyataan tanpa aksi.
Kecolongan melalui modus penyadapan oleh AS dan Australia bisa terjadi karena pemerintahan tidak pernah fokus menjaga kepentingan negara yang layak dirahasiakan. NSA –ASD leluasa menyadap karena pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh berupaya menangkal penyadapan itu.
Semua unsur kekuasaan sibuk mengurus kepentingannya masing-masing. Pemanfaatan teknologi penyadapan yang dibeli dan didatangkan ke Indonesia tidak diprioritaskan untuk melindungi negara dengan segala kerahasiaannya. Teknologi itu malah digunakan menyadap lawan-lawan politik.
Langkah Joko Widodo mengungkap penyadapan di rumah dinasnya ibarat tamparan yang membuat malu para pelakunya. Sebab, aktivitas penyadapan itu ternyata masih amatiran sehingga begitu mudah terbongkar.
PENYADAPAN di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Presiden kelima Megawati Soekarnoputri itu kerja kotor penguasa yang gelisah dan takut berlebihan. Kasus ini menguatkan bukti bahwa satuan-satuan tugas pengamanan negara tidak fokus pada fungsinya menjaga dan menguatkan ketahanan nasional, tetapi disalahgunakan untuk mengintai lawan-lawan politik penguasa.
Di permukaan, setiap rezim penguasa memang harus menyajikan program kerja yang baik-baik dengan janji menyejahterakan rakyat. Program yang baik-baik itu lalu dituangkan dalam rencana kerja tahunan berikut proyeksi anggarannya. Di Indonesia dikenal dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Di dalamnya ada puluhan hingga ratusan rencana proyek pembangunan yang digagas oleh pemerintah daerah maupun kementerian. Namun, selain pekerjaan yang baik-baik itu, rezim penguasa juga punya agenda kerja kotor. Agenda ini tidak terbuka, melainkan tertutup. Agenda kerja kotor ini diperlukan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya serta memperkaya diri dan kelompoknya.
Satuan kerja yang merealisasikan agenda kerja kotor ini pun samar-samar dan tak mudah dideteksi. Tetapi, lazimnya, kualifikasi anggota satuan kerja ini tinggi alias sangat terlatih. Alokasi dana untuk membiayai kegiatan mereka pun biasanya tak terbatas. Sebab, kerja utamanya adalah melayani kemauan dan kehendak sang penguasa. Doktrinnya, satuan kerja ini tak pernah boleh gagal. Keberhasilan adalah harga mati, sebab satuan kerja yang merealisasikan agenda kerja kotor itu dibenarkan menghalalkan segala cara.
Prioritasnya adalah mengintai sepak terjang lawan politik penguasa. Selain mencatat kesalahan atau hal-hal mencurigakan lainnya, satuan kerja itu harus bisa mencatat perilaku menyimpang lawan-lawan politik penguasa. Kalau kegiatan pengintaian tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, satuan kerja itu akan melakukan penyadapan. Kalau penyadapan tak juga membuahkan hasil, aksi berikutnya adalah penyusupan. Satu atau dua anggota satuan kerja itu akan menyamar, lalu menyusup untuk bisa menjadi orang dekat atau staf dari figur yang menjadi target pengintaian.
Selain mengintai lawan politik, ada juga satuan kerja yang fungsinya mengurusi bisnis penguasa. Biasanya bisnis illegal. Dari menyalahgunakan wewenang hingga meminta konsesi. Pekerjaan satuan kerja ini akan makin rumit manakala istri dan anak-anak penguasa ikut-ikutan memanfaatkan kekuasaan untuk menjalankan beberapa bisnis illegal tadi. Anggota satuan kerja itu terpaksa harus mendatangi sejumlah kementerian untuk mengemukakan kepentingan penguasa pada sejumlah proyek. Agar jabatan para petinggi di kementerian tidak digoyang, mereka akan tunduk begitu saja pada kepentingan penguasa dan keluarganya.
Praktik kekuasaan yang demikian lazim terjadi di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat sekali pun. Kesan tentang fungsi National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional AS cukup mulia dan hebat. Tetapi, NSA tetap saja punya divisi yang bertugas merealisasikan agenda kerja kotor mereka. Dari menyadap warga AS sendiri hingga menyadap aktivitas dan pembicaraan kepala pemerintahan negara lain, termasuk presiden RI. Untuk kepentingan itu, NSA bahkan berkolaborasi dengan ASD (Australian Signals Directorate).
Mudah Kecolongan
Menyadap Gubernur DKI Jakarta dan mantan Presiden Indonesia jelas-jelas adalah kegiatan mengintai lawan politik. Siapa yang paling mungkin dan paling bisa merealisasikan pekerjaan ini? Dalam konteks dinamika politik terkini, pelaku penyadapan adalah satuan kerja siluman yang bertugas merealisasikan agenda kerja kotor penguasa. Bagaimana pun, menyadap mantan presiden dan Gubernur DKI Jakarta adalah pekerjaan kotor yang teramat berani ,namun juga sangat memalukan. Teramat berani karena pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirinya sangat berkuasa.
Kedua figur yang disadap dikenal sebagai sosok Pancasilais dan taat konstitusi. Aktivitas politik keduanya pun sangat terbuka. Peduli rakyat dan tak sedikit pun berniat melancarkan kudeta atau merongrong wibawa negara maupun pemerintah. Lalu, informasi apa yang ingin didapat dari kegiatan penyadapan itu? Tampaknya, penguasa ingin memperoleh informasi receh yang bisa digunakan untuk merusak citra kedua figur itu. Hanya itu dan tak lebih. Dalam konteks moral, tidakkah itu memalukan?
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah salah satu unggulan dalam persiapan menuju pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014, sementara Megawati adalah sosok yang dipahami sebagai penentu posisi Joko Widodo dalam pentas Pilpres tahun ini.
Tak hanya Joko Widodo dan Megawati yang diintai. Masih ingat penuturan politisi Anas Urbaningrum ketika dia mengungkap sepak terjang oknum intel yang selalu mengintai kegiatannya? Dari penuturan itu, didapat gambaran bahwa sejumlah orang yang berkomunikasi dan beraktivitas bersama Anas masuk dalam radar intai dan penyadapan.
Bahkan, sejumlah anggota DPR yang selama ini vokal dan kritis terhadap pemerintah pun tak luput dari pengintaian dan penyadapan. Mereka tahu bahwa percakapan via telepon seluler mereka disadap. Tak jarang, para pengintai menampakan kegiatannya hingga di luar pagar rumah dari figur yang diintai.
Kegiatan menyadap sejumlah figur lokal yang diposisikan sebagai lawan politik penguasa ini mencerminkan kegelisahan dan takut berlebihan dari pusat kekuasaan itu sendiri. Gelisah dan takut yang sesungguh tak perlu, karena kritik bukanlah kudeta. Kekuasaan harus terus dikritik agar tidak disalahgunakan. Sayang, cara pandang positif ini tidak dimaknai sebagaimana mestinya.
Akibatnya, negara ini begitu sering kecolongan. Masih adanya sel-sel terorisme, maraknya penyelundupan senjata serta narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) hingga penyadapan oleh kekuatan-kekuatan asing adalah bukti paling nyata bahwa pemerintahan sekarang ini begitu mudah kecolongan. Kecenderungan ini terjadi karena satuan-satuan pengamanan negara tidak fokus pada fungsinya menjaga dan memperkuat ketahanan nasional.
Oleh penguasa, satuan-satuan pengamanan negara itu malah disalahgunakan. Mereka diperintah mengintai dan menyadap sejumlah figur yang dianggap tidak bersahabat dengan penguasa. Penyadapan oleh kolaborasi NSA-ASD menjadi bukti bahwa pemerintah lengah.
Padahal, hiruk pikuk tentang sepak terjang Wikileaks beberapa tahun lalu sudah memberi pelajaran kepada banyak negara. Namun, pemerintah Indonesia tidak mau belajar dari apa yang diungkap Wikileaks. Pada akhir 2010, diungkap bahwa Wikileaks memiliki tak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik pemerintah AS yang mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu bersumber dari laporan diplomatik yang dikirim Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya.
Sekitar dua pekan lalu, terungkap pula data baru mengenai hasil penyadapan NSA-ASD yang dipublikasi oleh The New York Times. Dua badan intelijen ini, menurut dokumen NSA yang dibocorkan Edward J Snowden pada awal 2013, aktif memantau dan menyadap Indonesia lewat jaringan telekomunikasi Indosat dan Telkomsel sejak 2002. Pembicaraan pejabat tinggi Indonesia pada 2012 disadap dari jaringan Indosat. Dan, dari jaringan Telkomsel, ASD berhasil mengumpulkan 1,8 juta data kunci terenkripsi.
Pedulikah pemerintah pada masalah yang bisa signifikan pengaruhnya terhadap aspek ketahanan nasional ini? Sayang, publik hanya bisa menyimak pernyataan emosional menteri luar RI. Hanya pernyataan tanpa aksi.
Kecolongan melalui modus penyadapan oleh AS dan Australia bisa terjadi karena pemerintahan tidak pernah fokus menjaga kepentingan negara yang layak dirahasiakan. NSA –ASD leluasa menyadap karena pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh berupaya menangkal penyadapan itu.
Semua unsur kekuasaan sibuk mengurus kepentingannya masing-masing. Pemanfaatan teknologi penyadapan yang dibeli dan didatangkan ke Indonesia tidak diprioritaskan untuk melindungi negara dengan segala kerahasiaannya. Teknologi itu malah digunakan menyadap lawan-lawan politik.
Langkah Joko Widodo mengungkap penyadapan di rumah dinasnya ibarat tamparan yang membuat malu para pelakunya. Sebab, aktivitas penyadapan itu ternyata masih amatiran sehingga begitu mudah terbongkar.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar