RPP dan Hitam Putih Sejarah Tembakau
RPP diajukan pada mulanya tidak untuk merugikan petani.
Ribuan petani tembakau akhirnya membubarkan aksi mereka setelah mendapat kepastian pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau (RPP Tembakau) ditunda. Kepastian itu diperoleh setelah sejumlah perwakilan demonstran menemui pihak Kemenko Kesra.
Menurut para petani, RPP Tembakau adalah cara ampuh untuk mematikan petani keretek di Indonesia. Buktinya, impor tembakau terus melonjak. Pada 2003, impor tembakau sebanyak 29.579 ton.
Namun, pada 2008 naik lebih signifikan sekitar 250 persen menjadi 77.302 ton. Lalu, raksasa keretek asli yakni Sampoerna telah dicaplok Philip Morris sejak 2005, sedangkan Bentoel dikuasai British American Tobacco pada 2009.
Tentu saja kubu antirokok menganggap penundaan RPP ini mengecewakan. Kubu antirokok berargumen bahwa RPP itu tidak melarang petani menanam tembakau. RPP itu hanya bertujuan mengendalikan tembakau.
Dalam pada itu, pro-kontra tembakau akan makin ramai. Esais M Sobary getol mengungkapkan bahwa ada agenda asing di balik kampanye antitembakau. Kekuatan asing tidak rela jika industri keretek Indonesia mampu berjaya di Amerika.
Amerika Serikat memang terbukti takut dengan daya tarik keretek Indonesia, sehingga dibuatlah "Tobacco Bill" yang mendapat protes keras dari negeri kita (Mei 2009). April 2012 silam, WTO memenangkan gugatan Indonesia, sehingga "Tobacco Bill" tidak bisa diterapkan untuk keretek asal Indonesia.
Kalangan pro tembakau juga menilai segala kampanye bahaya rokok bagi kesehatan adalah berlebihan. Mereka menilai terlalu menyederhanakan masalah jika semua masalah kesehatan disebabkan asap rokok. Buktinya, banyak perokok yang umurnya bisa mencapai 80 atau 90 tahun.
Apalagi ada divine keretek atau rokok sehat yang dibuat Dr Gretha Zahar, dibantu Prof Sutiman Bambang Sumitro dari Unibraw Malang. Inti temuannya adalah asap rokok tidak lagi berbahaya bagi kesehatan manusia, lewat kajian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis (F Swantoro, Suara Merdeka, 28/2/2012).
Ada pula yang menilai perang antara dua industri, yakni industri farmasi dan rokok, mencoba membelah publik kita dalam pro-kontra atau polemik tembakau.
Sejak Awal
Namun, polemik apakah tembakau membahayakan atau berguna bagi kesehatan, sebenarnya hanya repetisi. Sejak tembakau ditemukan Columbus pada abad ke-15, lalu disebarkan ke seluruh dunia, selalu ada pro-kontra terkait dampaknya. Istilah tembakau diambil dari nama pulau yang diberi nama Tubago oleh Columbus pada 1498.
Boleh percaya boleh tidak, semula tanaman tembakau yang ditanam orang-orang Indian ini justru diyakini sebagai daun pengobat yang mujarab (lihat sebuah uraian dari Thomas Hairot dalam bukunya, A Brief and True Report of the New Found land of Virginia, 1558).
Polemik apakah tembakau berbahaya atau tidak memang selalu mengiringi migrasi tanaman ini. Ketika tembakau dibawa ke Inggris dari Amerika pada abad ke-16, dalam pamflet antitembakunya yang berjudul "A Counterblaste to Tobacco" yang terbit pada 1604, Raja James I mengungkapkan kebiasan merokok sama dengan menyangkal Tuhan dan memuja setan, serta merendahkan diri sedemikian jauh dengan meniru kebiasaan orang-orang Indian.
Untuk menyanggah pendapat raja itu, penulis William Barclay dalam bukunya, Nepenthes, or the Vertues of Tobbacco (terbit 1614), malah berani meminta Uskup Murray agar melindungi "daun pengobat yang suci ini". Akhirnya, terbukti kalangan antitembaku tidak berdaya, karena orang-orang Inggris justru percaya mengisap tembakau bisa menyembuhkan beberapa penyakit.
Tembakau di Jawa
Ketika sampai di Nusantara, tepatnya Jawa, tanaman ini juga disambut dengan kontroversi. Dalam bukunya The History of Java jilid I, yang terbit 1817, Thomas Stamford Raffles sudah mencatat tembakau masuk ke Indonesia, tepatnya Jawa, pada 1600. Tembakau direspons dengan kecurigaan dan rasa ingin tahu. Raffles menyebut bahwa kebiasaan mengisap tembakau dipopulerkan Sultan Agung.
Boleh jadi karena nama Sultan Agung, tembakau kemudian kental dengan nuansa spiritual, sekaligus segera menyebar ke kalangan rakyat jelata. Maklum, Sultan Agung adalah kepala negara sekaligus pemimpin agama panutan (Islam). Bagi Sultan Agung, mengisap tembakau bukan sekadar untuk kesenangan. Ada alasan sakral atau mistis di baliknya.
Pengaruh Sultan Agung itu sampai sekarang masih bisa dilihat dalam masyarakat Jawa. Simak saja rokok justru menjadi benda sakral yang dipakai untuk "sesajen" bersama bunga mawar, cempaka, kenanga, dan melati. Sesaji ini dipersembahkan untuk beragam kepentingan dan ditaruh di tempat-tempat keramat.
Misalnya di tempat-tempat makam, di simpang-simpang empat jalanan, di dekat sumur, di jembatan, dan di tepian sungai. Bahkan, sesaji rokok kadang juga diberikan untuk Nyai Loro Kidul, permaisuri Sultan Agung dalam keyakinan banyak orang Jawa.
Hingga pertengahan abad ke-19, masyarakat kita belum mengenal perkataan rokok, meskipun rokok sudah menjadi barang dagangan di Jawa pada abad ke-17. Nenek moyang kita baru mengenal istilah rokok setelah berdirinya pabrik rokok di Kudus pada akhir abad ke-19.
Masyarakat Jawa lebih kenal dengan istilah "ses" atau "eses" sebagaimana tercantum dalam Serat Centhini. Ungkapan "ses" di sini bermakna sebagai sesuatu yang membuat lega hati atau melepas stres.
Berdirinya pabrik rokok di Kudus pada abad ke-19 tak lepas dari peran Haji Jamahri. Dia merupakan warga Kudus (1890) yang dicatat dalam sejarah rokok keretek Indonesia karena dianggap penemu rokok keretek.
Semula dia menderita sakit di dada, namun setelah meracik tembakau dan cengkih yang diramu menjadi rokok keretek, dan ketika rokok itu dinyalakan berbunyi "keretek-keretek", dan ketika diisap terasa enak, penyakit di dada Sang Haji hilang. Cerita pun menyebar, hingga banyak orang Jawa menyukai keretek. Sejarah industri rokok pun dimulai di Jawa, dari sebuah mitos bahwa rokok menyehatkan.
Itulah selintas sejarah panjang tembakau atau rokok di negeri ini. Dalam perjalanan sejarah sudah terbukti permasalahan tembakau atau rokok tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan hitam putih.
Fatwa haram rokok oleh MUI beberapa waktu lalu, misalnya, justru dilawan para kiai di Madura, Jember, Tulung Agung, Purwakarta, Kudus, dan lainnya. Tulisan ini tidak bertujuan mendukung salah satu kubu.
Tulisan ini hanya mencoba objektif menampilkan realitas tembakau dari yang anti hingga yang pro. Siapa tahu kita bisa belajar dari sejarah. Dalam hal ini, Warren Buffet menulis: "dari sejarah, kita bisa melihat ternyata banyak orang yang tak mau belajar dari sejarah".
*Penulis adalah alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam; tinggal di Surabaya.
(Sinar Harapan)
RPP diajukan pada mulanya tidak untuk merugikan petani.
Ribuan petani tembakau akhirnya membubarkan aksi mereka setelah mendapat kepastian pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau (RPP Tembakau) ditunda. Kepastian itu diperoleh setelah sejumlah perwakilan demonstran menemui pihak Kemenko Kesra.
Menurut para petani, RPP Tembakau adalah cara ampuh untuk mematikan petani keretek di Indonesia. Buktinya, impor tembakau terus melonjak. Pada 2003, impor tembakau sebanyak 29.579 ton.
Namun, pada 2008 naik lebih signifikan sekitar 250 persen menjadi 77.302 ton. Lalu, raksasa keretek asli yakni Sampoerna telah dicaplok Philip Morris sejak 2005, sedangkan Bentoel dikuasai British American Tobacco pada 2009.
Tentu saja kubu antirokok menganggap penundaan RPP ini mengecewakan. Kubu antirokok berargumen bahwa RPP itu tidak melarang petani menanam tembakau. RPP itu hanya bertujuan mengendalikan tembakau.
Dalam pada itu, pro-kontra tembakau akan makin ramai. Esais M Sobary getol mengungkapkan bahwa ada agenda asing di balik kampanye antitembakau. Kekuatan asing tidak rela jika industri keretek Indonesia mampu berjaya di Amerika.
Amerika Serikat memang terbukti takut dengan daya tarik keretek Indonesia, sehingga dibuatlah "Tobacco Bill" yang mendapat protes keras dari negeri kita (Mei 2009). April 2012 silam, WTO memenangkan gugatan Indonesia, sehingga "Tobacco Bill" tidak bisa diterapkan untuk keretek asal Indonesia.
Kalangan pro tembakau juga menilai segala kampanye bahaya rokok bagi kesehatan adalah berlebihan. Mereka menilai terlalu menyederhanakan masalah jika semua masalah kesehatan disebabkan asap rokok. Buktinya, banyak perokok yang umurnya bisa mencapai 80 atau 90 tahun.
Apalagi ada divine keretek atau rokok sehat yang dibuat Dr Gretha Zahar, dibantu Prof Sutiman Bambang Sumitro dari Unibraw Malang. Inti temuannya adalah asap rokok tidak lagi berbahaya bagi kesehatan manusia, lewat kajian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis (F Swantoro, Suara Merdeka, 28/2/2012).
Ada pula yang menilai perang antara dua industri, yakni industri farmasi dan rokok, mencoba membelah publik kita dalam pro-kontra atau polemik tembakau.
Sejak Awal
Namun, polemik apakah tembakau membahayakan atau berguna bagi kesehatan, sebenarnya hanya repetisi. Sejak tembakau ditemukan Columbus pada abad ke-15, lalu disebarkan ke seluruh dunia, selalu ada pro-kontra terkait dampaknya. Istilah tembakau diambil dari nama pulau yang diberi nama Tubago oleh Columbus pada 1498.
Boleh percaya boleh tidak, semula tanaman tembakau yang ditanam orang-orang Indian ini justru diyakini sebagai daun pengobat yang mujarab (lihat sebuah uraian dari Thomas Hairot dalam bukunya, A Brief and True Report of the New Found land of Virginia, 1558).
Polemik apakah tembakau berbahaya atau tidak memang selalu mengiringi migrasi tanaman ini. Ketika tembakau dibawa ke Inggris dari Amerika pada abad ke-16, dalam pamflet antitembakunya yang berjudul "A Counterblaste to Tobacco" yang terbit pada 1604, Raja James I mengungkapkan kebiasan merokok sama dengan menyangkal Tuhan dan memuja setan, serta merendahkan diri sedemikian jauh dengan meniru kebiasaan orang-orang Indian.
Untuk menyanggah pendapat raja itu, penulis William Barclay dalam bukunya, Nepenthes, or the Vertues of Tobbacco (terbit 1614), malah berani meminta Uskup Murray agar melindungi "daun pengobat yang suci ini". Akhirnya, terbukti kalangan antitembaku tidak berdaya, karena orang-orang Inggris justru percaya mengisap tembakau bisa menyembuhkan beberapa penyakit.
Tembakau di Jawa
Ketika sampai di Nusantara, tepatnya Jawa, tanaman ini juga disambut dengan kontroversi. Dalam bukunya The History of Java jilid I, yang terbit 1817, Thomas Stamford Raffles sudah mencatat tembakau masuk ke Indonesia, tepatnya Jawa, pada 1600. Tembakau direspons dengan kecurigaan dan rasa ingin tahu. Raffles menyebut bahwa kebiasaan mengisap tembakau dipopulerkan Sultan Agung.
Boleh jadi karena nama Sultan Agung, tembakau kemudian kental dengan nuansa spiritual, sekaligus segera menyebar ke kalangan rakyat jelata. Maklum, Sultan Agung adalah kepala negara sekaligus pemimpin agama panutan (Islam). Bagi Sultan Agung, mengisap tembakau bukan sekadar untuk kesenangan. Ada alasan sakral atau mistis di baliknya.
Pengaruh Sultan Agung itu sampai sekarang masih bisa dilihat dalam masyarakat Jawa. Simak saja rokok justru menjadi benda sakral yang dipakai untuk "sesajen" bersama bunga mawar, cempaka, kenanga, dan melati. Sesaji ini dipersembahkan untuk beragam kepentingan dan ditaruh di tempat-tempat keramat.
Misalnya di tempat-tempat makam, di simpang-simpang empat jalanan, di dekat sumur, di jembatan, dan di tepian sungai. Bahkan, sesaji rokok kadang juga diberikan untuk Nyai Loro Kidul, permaisuri Sultan Agung dalam keyakinan banyak orang Jawa.
Hingga pertengahan abad ke-19, masyarakat kita belum mengenal perkataan rokok, meskipun rokok sudah menjadi barang dagangan di Jawa pada abad ke-17. Nenek moyang kita baru mengenal istilah rokok setelah berdirinya pabrik rokok di Kudus pada akhir abad ke-19.
Masyarakat Jawa lebih kenal dengan istilah "ses" atau "eses" sebagaimana tercantum dalam Serat Centhini. Ungkapan "ses" di sini bermakna sebagai sesuatu yang membuat lega hati atau melepas stres.
Berdirinya pabrik rokok di Kudus pada abad ke-19 tak lepas dari peran Haji Jamahri. Dia merupakan warga Kudus (1890) yang dicatat dalam sejarah rokok keretek Indonesia karena dianggap penemu rokok keretek.
Semula dia menderita sakit di dada, namun setelah meracik tembakau dan cengkih yang diramu menjadi rokok keretek, dan ketika rokok itu dinyalakan berbunyi "keretek-keretek", dan ketika diisap terasa enak, penyakit di dada Sang Haji hilang. Cerita pun menyebar, hingga banyak orang Jawa menyukai keretek. Sejarah industri rokok pun dimulai di Jawa, dari sebuah mitos bahwa rokok menyehatkan.
Itulah selintas sejarah panjang tembakau atau rokok di negeri ini. Dalam perjalanan sejarah sudah terbukti permasalahan tembakau atau rokok tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan hitam putih.
Fatwa haram rokok oleh MUI beberapa waktu lalu, misalnya, justru dilawan para kiai di Madura, Jember, Tulung Agung, Purwakarta, Kudus, dan lainnya. Tulisan ini tidak bertujuan mendukung salah satu kubu.
Tulisan ini hanya mencoba objektif menampilkan realitas tembakau dari yang anti hingga yang pro. Siapa tahu kita bisa belajar dari sejarah. Dalam hal ini, Warren Buffet menulis: "dari sejarah, kita bisa melihat ternyata banyak orang yang tak mau belajar dari sejarah".
*Penulis adalah alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam; tinggal di Surabaya.
(Sinar Harapan)
DPR Sayangkan ICW Terima Dana Asing
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX Fraksi Golkar DPR Poempida Hidayatulloh Djatiutomo, menyayangkan salah satu lembaga yang menerima dana dari Bloomberg Initiative adalah Indonesian Corruption Watch (ICW).
Berdasarkan data yang dilansir dari www.tobaccocontrolgrants.org, ICW diduga menerima dana atas keikutsertaan mengkampanyekan anti-tembakau dan anti-rokok di Indonesia, dari lembaga fund raising Amerika Serikat (AS), Bloomberg Initiative.
Berdasarkan data yang dilansir situs tersebut, ICW menerima dana sebesar 45.470 dolar AS, atau setara Rp 409.230.000. Dana dikucurkan pada periode program Juli 2010 hingga Maret 2012. Poempida mengatakan, LSM menerima dana asing memang tidak dilarang. "Namun, ini kan hanya memperjelas analisa saya, bahwa gerakan anti-tembakau benar-benar dimotori oleh pihak asing," ujarnya kepada Tribun, Jumat (29/6/2012).
LSM seperti ICW, lanjut Poempida, boleh saja menerima dana asing. Tapi, jangan sampai menggadaikan semangat nasionalisme dan kedaulatan sebagai bangsa. Menurut politisi muda Partai Golkar, dalam isu gerakan anti-tembakau, pemikiran yang seimbang, obyektif, dan adil harus menjadi basis pembuatan kebijakan.
Saat raker dengan Menkes di Komisi IX beberapa waktu lalu, Poempida mengaku sudah mengingatkan Menkes Nafsiah Mboi, agar juga mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengendalian Tembakau. "Saya berusaha mengingatkan, bahwa kretek itu tidak dapat disamakan dengan rokok-rokok di dunia internasional, dan jangan sampai agenda asing berperan dalam hal pembuatan kebijakan mengenai kretek," tuturnya. Dalam keadaan perekonomian yang sedang berkembang, jelas Poempida, basis periklanan dari perusahaan rokok domestik masih mewarnai industri periklanan. Lantas, apa yang terjadi jika iklan rokok dibatasi?
Menurut Poempida, tak hanya industri periklanan yang akan terkena dampaknya, namun juga bisnis media yang bergantung kepada periklanan. Sejauh mana dampak ini kemudian berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, adalah tugas pemerintah untuk melakukan studi komprehensif. Ia menerangkan, kebijakan yang dibuat dengan tidak mempertimbangkan keterkaitan berbagai elemen secara menyeluruh, akan menciptakan 'system archetype' yang sering ia sebut sebagai 'tragedy of the commons'."Anehnya lagi, terlepas dari isinya, RPP menggunakan judul 'Pengamanan'. Bukankah pengamanan tugas TNI dan POLRI? Ada agenda apa Kemenkes ingin 'mengamankan' produk tembakau? Apakah para wanita yang menggunakan tembakau secara tradisional dengan sirih untuk memelihara giginya juga akan 'diamankan'? beber Poempida.
sumber :
http://www.tribunnews.com/2012/06/29...ima-dana-asing
Terima Duit Bloomberg, ICW Dituduh Lacurkan Bangsa
sumber :
http://www.tribunnews.com/2012/06/29...ima-dana-asing
Terima Duit Bloomberg, ICW Dituduh Lacurkan Bangsa
Sejumlah organisasi dan lembaga swadaya masarakat (LSM) diduga menerima dana sebagai bayaran atas keikutsertaan mengkampanyekan antitembakau dan antirokok di Indonesia, dari lembaga fund raising Amerika Serikat yakni Bloomberg Initiative.
Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning menyesalkan adanya temuan tersebut. Pasalnya, menurut dia, sebagai lembaga publik yang seharusnya menjauhi korupsi, ternyata mereka juga terlibat.
"Misalnya ICW (Indonesian Corruption Watch), sebagai sebuah lembaga yang concern memberantas korupsi, ternyata menerima dana asing," kata Ribka, di Jakarta, Kamis (28/6).
Ribka menilai adanya kucuran dana itu salah satunya berujung pada rencana Kementerian Kesehatan mengeluarkan Rancangan PP Tembakau. Padahal, rancangan aturan itu dikritik 15 juta petani yang hidupnya tergantung pada industri tembakau.
"Akhirnya ketahuan terima duit dari asing. Mereka melacurkan bangsanya sendiri. Kita tahulah bagaimana mereka mendapatkan uang," kata Ribka, yang pernah dihantam lembaga-lembaga tertentu karena diduga menghilangkan pasal pelarangan tembakau di UU Kesehatan.
"Kalau ICW selama ini menghajar saya soal ayat Tembakau yang hilang, lebih baik berkaca. Sekarang siapa yang benar dan siapa yang terima dana asing," imbuh Ribka.
Untuk diketahui, Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboy menyatakan finalisasi draf Rancangan PP itu sedang dilaksanakan, pekan lalu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari situs Bloomberg Initiatives Grants Program, jutaan dollar AS sudah dikeluarkan lembaga itu untuk operasinya di Indonesia. PP Muhammadiyah adalah yang pertama disoroti pada 2010 lalu karena ketahuan menerima dana hingga Rp 3,6 miliar demi mengeluarkan fatwa haram merokok.
Selain itu, walau aktif berkampanye antikorupsi, LSM antikorupsi ICW juga menerima US$ 45.470 (sekitar Rp 427, 418 juta) Juli 2010 demi mengkonsolidasikan kampanye antitembakau untuk memulai perubahan fundamental pada aturan soal tembakau di Indonesia.
ICW Serang Balik
Setelah dikritisi menerima dana asing dari Bloomberg Initiative, ICW menyerang balik Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning yang membidangi kesehatan mengenai kemungkinan korupsi di balik hilangnya ayat tembakau.
"Di ICW kita boleh menerima dana asing, tidak masalah, tapi terima hasil korupsi tidak boleh," kata Danang Widoyoko, ketua ICW, ketika dikonfirmasi, Kamis (28/6).
"Ibu Ribka mungkin sebaliknya. Kami tidak boleh menerima dana korporasi apalagi dana hasil korupsi, karena itu dulu kami melaporkan Ibu Ribka," imbuh Danang.
Meski demikian, Danang mengakui lembaganya memang menerima dana itu dua tahun yang lalu. "Dan itu ada di laporan dana kami dan hasil auditnya pun kami tampilkan di website ICW," ungkap dia.
Menurut Danang, dana tersebut tidak langsung diterima dari Bloomberg, tapi melalui Tobacco Free Kids Control. Penggunaan dananya, kata dia, untuk meneliti adanya kepentingan industri rokok yang dijual di balik hilangnya ayat tembakau pada tahun 2010 dari UU Kesehatan.
"Melacurkan pada dana asing lebih baik daripada melacurkan pada korupsi, karenanya kami akan terus mengawasi anggota DPR," kilah Danang
"(Dana) kami gunakan untuk kampanye akuntabilitas politik mengenai regulasi rokok. Kami prihatin dengan petani, tapi kecenderungan global dan ini tidak bisa ditolak, menyatakan bahwa merokok tidak sehat. Jadi, jangan sampai legalkan anak-anak merokok dan menjual itu pada korporasi atau industri tembakau," tandas dia.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/ Camelia Pasandaran/ Wisnu Cipto
sumber
http://www.beritasatu.com/nasional/5...an-bangsa.html
Ribka sayangkan ICW terima dana dari lembaga asing
Sejumlah organisasi dan Lembaga Swadaya Masarakat (LSM) di Indonesia diduga menerima dana sebagai atas keikutsertaan mengkampanyekan antitembakau dan antirokok di Indonesia dari lembaga fund raising Amerika Serikat yakni Bloomberg Initiative. Hal ini berdasarkan data yang dilansir dari www.tobaccocontrolgrants.org.
Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning menyayangkan salah satu lembaga yang menerima dana dari Bloomberg Initiative itu adalah Indonesian Corruption Watch (ICW). Berdasarkan data yang dilansir situs tersebut, ICW menerima dana sebesar USD 45.470 atau setara Rp 409.230.000. Dana tersebut dikucurkan pada periode program bulan Juli 2010 hingga Maret 2012.
"Saya sangat menyayangkan ICW sebagai sebuah lembaga yang concern memberantas korupsi, ternyata menerima dana asing," kata Ribka kepada wartawan di DPR, Jakarta, Kamis (28/6).
Menurut Ribka, dirinya sudah pernah mendengar informasi itu. Kucuran dana itu salah satunya berujung pada rencana Kementerian Kesehatan mengeluarkan Rancangan PP Tembakau. Padahal, rancangan aturan itu dikritisi oleh 15 juta petani yang hidupnya bergantung pada industri tembakau. "Akhirnya ketahuan terima duit dari asing. Kita tahulah bagaimana mereka mendapatkan uang," tegas Ribka.
ICW merima dana dari Bloomberg Initiative agar mendukung pengurangan dampak buruk dari industri tembakau terhadap kesehatan masyarakat dengan mendukung perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah, dalam hal ini diterbitkannya RPP Tembakau.
"Saya awalnya melihat ICW seperti KPK, tetapi akhirnya ketahuan terima duit dari asing. Mereka melacurkan bangsanya sendiri. Kita tahulah bagaimana mereka mendapatkan uang," ungkap Ribka.
Senada dengan Ribka, Wakil Ketua Komisi IX, Irgan Chairul Mahfidz juga menyesalkan LSM yang menerima dana asing untuk kepentingan asing. Dirinya berharap LSM tersebut dapat bekerja secara profesional dan untuk kepentingan rakyat. "Sangat disayangkan," kata Irgan di DPR.
Berdasarkan data yang dilansir www.tobaccocontrolgrants.org, selain ICW, beberapa lembaga yang menerima dana dari Bloomberg Initiative antara lain:
1. Dinas Kesehatan Provinsi Bali yang menerima dana sebesar USD 159.621 untuk periode Maret 2012-Februari 2014.
2. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sebesar USD 280.755 (Oktober 2008-Juli 2010)
3. Direktorat Pengendalian Penyakit Non Menular Kemenkes USD 315.825 (September 2008-Mei 2011)
4. Indonesia Forum of Parliamentarians on Population and Development. Dana sebesar USD 240.000 (Maret 2011-Maret 2012), USD 164.717, dan USD 134.100, bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari anggota DPR RI 2009-2014 pada level nasional demi berlakunya UU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap kesehatan.
5. Asosiasi Kesehatan Masyarakat, Kelompok Kerja Pengendalian Tembakau (USD 542.600 untuk periode kerja Agustus 2007-2009), USD 491.569 untuk periode kerja Sept 2009-Agustus 2010), dan USD 200.000 untuk periode Des 2011-Nov 2012.
6. Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), USD 225.178 untuk periode Juli 2010-Juni 2012.
7. Komisi Nasional Pengendalian Tembakau USD 81.250, periode Des 2009-Januari 2010.
8. Lembaga Pembinaan dan Perlindungaan Konsumen Semarang USD 106.368, periode Nov 2010-Juni 2012.
sumber
http://www.merdeka.com/peristiwa/rib...aga-asing.html
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar