Liberalisasi di RUU PT: Asing Boleh Buka 'franchise' bak KFC & SPBU Asing
Perguruan Tinggi Asing Bisa Masuk ke Indonesia
Minggu, 08 April 2012 22:30
Starberita - Jakarta, Pengambilan keputususan tingkat I dalam Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (PT) akan digelar hari senin besok (9/4) antara komisi X dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM dan Kemenpan. Pada hari Rabunya, akan dilakukan pengesahan di tingkat II dalam Rapat Paripurna.
Demikian disampaikan anggota Panja RUU PT, DPR RI Reni Marlina dari Fraksi PPP saat diskusi For Makar PB PMII dengan tema: 'RUU PT: Komersialisasi dan Sekularisasi Pendidikan Tinggi', di sekretariat PB PMII Jalan Salemba Tengah 57A, Jakarta Pusat, Minggu (8/4)."Sebenarnya sudah 100 persen (RUU PT), tetapi ada tambahan pasal baru tentang anggaran penelitian oleh pemerintah, kita (panja RUU PT) sudah sepakat untuk penelitian Rp7 triluun, besoklah kita lihat, pemerintah tidak ingin angka-angka," ujarnya lagi.
Sambung Reni, untuk tahun 2012 ini anggaran untuk pendidikan adalah 20 persen dari APBN, yaitu sebesar Rp 289 triliun, dan Rp 163 triliun untuk daerah. Masih kata Reni, dalam UU PT ini urgennya adalah bagaimana PT itu bermutu dan bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat."Dalam RUU PT ini, ada juga yang menarik, seperti, bagi PT Asing harus terakreditasi di negaranya, dapat izin di negara kita, dan para dosennya harus diakomodir dari negara kita," paparnya
Dari ini semua, kata anggota Komisi X ini, akan membantu masyarakat khususnya calon mahasiswa, yang mana tidak ada lagi biaya pendaftaran bagi calon mahasiswa."UU-nya pro mahasiswa, pro full, mengakomadir semua lapisan masyarakat, ini sedikit tidak menyenangkan bagi pemerintah, seperti, biasanya biaya pendaftaran kan dipungutkan?" tanyanya
Masih kata Reni, dalam RUU PT ini, juga dibuat semacam kompetisi di setiap Provinsi, "Nanti akan ada PT terbaik dari semua provinsi," tambahnya lagi
http://www.starberita.com/index.php?...mum&Itemid=774
Perguruan Tinggi Asing Boleh Didirikan
Senin, 17 Oktober 2011 | 03:22 WIB
Jakarta, Kompas - Perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Demikian tertuang dalam Pasal 90 Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini.
Meski demikian, pasal ini mendapat banyak kritikan karena pemerintah semakin nyata mendorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi.
"Mengizinkan perguruan tinggi asing berdiri di Indonesia harus hati-hati. Mesti mempertimbangkan bagaimana kondisi perguruan tinggi di Indonesia. Tidak semua perguruan tinggi negeri juga siap bersaing dengan perguruan tinggi asing nantinya," kata Rektor Institut Teknologi Bandung Akhmaloka, Sabtu (15/10).
Dalam ketentuan RUU PT disyaratkan PT asing yang beroperasi di Indonesia harus terakreditasi di negaranya. Selain itu, PT asing di Indonesia wajib bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia serta mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. PT asing ini pun harus mampu mendorong pengembangan ilmu-ilmu dasar.
Dalam pandangan Akhmaloka, memang kehadiran PT asing bisa memotivasi PT di dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas dan kualitasnya. Namun, perlu dipertimbangkan betul apakah waktunya sudah tepat.
Wakil Rektor II Universitas Airlangga, Surabaya, M Nasih mengatakan, PT dalam negeri tidak mudah membuka kampus di luar domisili. "Kok perguruan tinggi asing mudah untuk berdiri di Indonesia?" kata Nasih.
Thomas Suyanto, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta Indonesia (ABPTSI) mengatakan, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memang dimungkinkan PT asing masuk ke Indonesia. "Karena pendidikan sudah dianggap sebagai komoditas biasa yang bisa diperdagangkan," kata Thomas
Majelis Wali Amanah Institut Pertanian Bogor Didik J Rachbini mengatakan, pendidikan bukan barang dan jasa sebab di dalamnya ada sejarah, norma, adat budaya, dan ideologi. "Mestinya pendidikan tinggi tidak menjadi obyek liberalisasi. Internasionalisasi bukan berarti sebebas-bebasnya," kata Didik.
http://edukasi.kompas.com/read/2011/...oleh.Didirikan.
Indonesia Pasar Perguruan Tinggi Asing, Benarkah?
29 October 2011 | 21:11
Sejumlah perguruan tinggi luar negeri, rasanya, tidak pernah bosan mengiklankan keunggulan dan fasilitas yang mereka sediakan, baik melalui media cetak, media elektronik maupun melalui berbagai pertemuan. Mereka yakin, pangsa pasar terbesar untuk perguruan tinggi mereka adalah Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai 259, 9 juta jiwa.
Hari ini, Sabtu (29/10), sebagaimana dirilis www.kompas.com sebanyak 28 perguruan tinggi terkemuka dari sembilan negara meramaikan pameran pendidikan yang digelar oleh Vista Education Service di Hotel Mulia Jakarta. Keduapuluh delapan perguruan tinggi itu berasal dari negara Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, Selandia Baru, Swiss, Singapura, Malaysia dan Cina.
Tujuan dari pameran itu, kata Arif Dwi Nugroho Marketing Manager Vista Education Service, selain untuk mempertemukan institusi pendidikan tersebut dengan pelajar Indonesia, pameran ini bertujuan untuk menjawab banyak pertanyaan dari para pelajar Indonesia ketika berniat melanjutkan studi di luar negeri.
Kita, barangkali sependapat, tujuan pameran tersebut sangat positif karena memberi banyak manfaat kepada para pelajar. Namun, kita menjadi terheran-heran saat membaca sejumlah perguruan tinggi luar negeri berani mengiklankan profilnya di sejumlah media cetak lokal. Sementara itu, jarang ditemukan iklan tentang profil perguruan tinggi dalam negeri dipasang di media lokal.
Begitu pentingkah mahasiswa Indonesia untuk belajar di perguruan tinggi mereka? Sampai-sampai, mereka tidak segan-segan menawarkan beasiswa untuk mahasiswa Indonesia. Apakah semata-mata sebagai upaya mereka untuk transfer of knowledge untuk mencerdaskan bangsa kita. Atau, pernahkan kita melihat "sesuatu" dibalik kegigihan mereka mengiklankan perguruan tingginya?
Untuk diketahui, mereka adalah kapitalis sejati, tentu dalam strategi pemasarannya tidak ada sesuatu yang gratis. Tidak ada makan siang yang gratis, semuanya harus dibayar melalui berbagai bentuk yang nyata atau tidak nyata. Pembayaran nyata melalui mahasiswa yang keliah disana berbentuk setoran biaya pendidikan, biaya hidup, sewa apartemen, maupun pengeluaran lainnya yang tentu saja menjadi sumber devisa bagi negara mereka.
Pembayaran tidak nyata, (biasanya untuk mereka yang memperoleh beasiswa), boleh jadi ongkosnya berbentuk berbagai kompensasi yang diimplementasikan dalam bentuk kerjasama politik maupun ekonomi antar negara. Boleh jadi pula, si mahasiswa akan menjadi iklan hidup yang diharapkan akan selalu mempromosikan negara itu, ideologi mereka, maupun almamaternya. Barangkali yang terakhir, mereka benar-benar ikhlas untuk ikut serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di dunia ketiga, barangkali yang seperti ini masih jarang.
Benar atau salah tentang asumsi tersebut, hanya pembaca yang bisa menilainya. Sesungguhnya, perguruan tinggi dalam negeri pun bisa menjadi sebuah daya tarik kunjungan "wisatawan intelektual" jika kualitas dan akreditasinya sama dengan perguruan tinggi lain yang terdapat di luar negeri.
Mahasiswa luar negeri maupun dalam negeri pasti akan mendatangi kota tempat lokasi perguruan tinggi itu berada. Kedatangan mereka tentu saja dalam kapasitas sebagai "wisatawan intelektual" dengan tujuan untuk menuntut ilmu. Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa kota di tanah air, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang maupun Semarang. Penduduknya selalu bertambah di setiap awal tahun ajaran yang diikuti kebutuhan tempat tinggal (rumah kos).
Umumnya mereka yang bermigrasi ke kota-kota itu adalah "wisatawan intelektual" dalam negeri, jarang-jarang yang berasal dari luar negeri. Di kota-kota itu, para mahasiswa membutuhkan rumah kos, warung makan, jasa angkutan, jasa binatu, dan harus membayar biaya pendidikan.
Logikanya, uang dari daerah-daerah mengalir melalui mahasiswa berbentuk biaya hidup dan biaya pendidikan yang dapat membuka lapangan kerja baru di kota tempat perguruan tinggi itu berada. Secara makro akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Bisa dibayangkan jika mahasiswa-mahasiswa luar negeri menimba ilmu atau menjadi "wisatawan intelektual" di kota-kota tadi, tentu yang mengalir ke sana adalah devisa berbentuk dolar, ringgit, yuan maupun peso. Makin banyak mahasiswa luar negeri belajar di negara kita, pasti diikuti dengan mengalirnya devisa.
Bak kata pepatah: malang tidak dapat ditolak untung tidak dapat diraih, kelas perguruan tinggi dalam negeri berada jauh dibandingkan perguruan tinggi luar negeri. Seperti data yang dirilis www.webometrics.info Juli 2011 tentang peringkat perguruan tinggi di dunia, ternyata Universitas Indonesia berada di peringkat 562, disusul ITB diurutan 632, UGM diurutan 817, Universitas Gunadarma diurutan 845, IPB diurutan 1180, Universitas Negeri Malang diurutan 1218, malah Universitas Trisakti berada diurutan 4651.
Bagaimana kita bisa menarik devisa melalui kunjungan "wisatawan intelektual" –mahasiswa dari luar negeri– jika peringkat perguruan tinggi paling top di tanah air saja berada di urutan ke-562 dunia atau urutan ke 12 di Asia Tenggara. Malah, uang dari dalam negeri yang mengalir deras ke luar negeri, menjadi devisa negara lain, karena sejumlah pelajar dan mahasiswa berduyun-duyun melanjutkan studinya ke luar negeri.
Sangatlah wajar bila sejumlah perguruan tinggi peringkat atas dunia seperti National University of Singapore (peringkat 85 dunia), Universiti Teknologi Malaysia (peringkat 419 dunia), atau Universiti Kebangsaan Malaysia (peringkat 462 dunia) berani beriklan sampai ke media cetak lokal, karena semua perguruan tinggi dalam negeri berada di nomor buncit. Pastinya, manajemen perguruan tinggi luar negeri tersebut tidak takut bersaing dengan perguruan tinggi dalam negeri dalam merebut pasar mahasiswa. Lalu, apa yang harus diperbuat oleh anak bangsa ini?
29 October 2011 | 21:11
Sejumlah perguruan tinggi luar negeri, rasanya, tidak pernah bosan mengiklankan keunggulan dan fasilitas yang mereka sediakan, baik melalui media cetak, media elektronik maupun melalui berbagai pertemuan. Mereka yakin, pangsa pasar terbesar untuk perguruan tinggi mereka adalah Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai 259, 9 juta jiwa.
Hari ini, Sabtu (29/10), sebagaimana dirilis www.kompas.com sebanyak 28 perguruan tinggi terkemuka dari sembilan negara meramaikan pameran pendidikan yang digelar oleh Vista Education Service di Hotel Mulia Jakarta. Keduapuluh delapan perguruan tinggi itu berasal dari negara Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, Selandia Baru, Swiss, Singapura, Malaysia dan Cina.
Tujuan dari pameran itu, kata Arif Dwi Nugroho Marketing Manager Vista Education Service, selain untuk mempertemukan institusi pendidikan tersebut dengan pelajar Indonesia, pameran ini bertujuan untuk menjawab banyak pertanyaan dari para pelajar Indonesia ketika berniat melanjutkan studi di luar negeri.
Kita, barangkali sependapat, tujuan pameran tersebut sangat positif karena memberi banyak manfaat kepada para pelajar. Namun, kita menjadi terheran-heran saat membaca sejumlah perguruan tinggi luar negeri berani mengiklankan profilnya di sejumlah media cetak lokal. Sementara itu, jarang ditemukan iklan tentang profil perguruan tinggi dalam negeri dipasang di media lokal.
Begitu pentingkah mahasiswa Indonesia untuk belajar di perguruan tinggi mereka? Sampai-sampai, mereka tidak segan-segan menawarkan beasiswa untuk mahasiswa Indonesia. Apakah semata-mata sebagai upaya mereka untuk transfer of knowledge untuk mencerdaskan bangsa kita. Atau, pernahkan kita melihat "sesuatu" dibalik kegigihan mereka mengiklankan perguruan tingginya?
Untuk diketahui, mereka adalah kapitalis sejati, tentu dalam strategi pemasarannya tidak ada sesuatu yang gratis. Tidak ada makan siang yang gratis, semuanya harus dibayar melalui berbagai bentuk yang nyata atau tidak nyata. Pembayaran nyata melalui mahasiswa yang keliah disana berbentuk setoran biaya pendidikan, biaya hidup, sewa apartemen, maupun pengeluaran lainnya yang tentu saja menjadi sumber devisa bagi negara mereka.
Pembayaran tidak nyata, (biasanya untuk mereka yang memperoleh beasiswa), boleh jadi ongkosnya berbentuk berbagai kompensasi yang diimplementasikan dalam bentuk kerjasama politik maupun ekonomi antar negara. Boleh jadi pula, si mahasiswa akan menjadi iklan hidup yang diharapkan akan selalu mempromosikan negara itu, ideologi mereka, maupun almamaternya. Barangkali yang terakhir, mereka benar-benar ikhlas untuk ikut serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di dunia ketiga, barangkali yang seperti ini masih jarang.
Benar atau salah tentang asumsi tersebut, hanya pembaca yang bisa menilainya. Sesungguhnya, perguruan tinggi dalam negeri pun bisa menjadi sebuah daya tarik kunjungan "wisatawan intelektual" jika kualitas dan akreditasinya sama dengan perguruan tinggi lain yang terdapat di luar negeri.
Mahasiswa luar negeri maupun dalam negeri pasti akan mendatangi kota tempat lokasi perguruan tinggi itu berada. Kedatangan mereka tentu saja dalam kapasitas sebagai "wisatawan intelektual" dengan tujuan untuk menuntut ilmu. Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa kota di tanah air, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang maupun Semarang. Penduduknya selalu bertambah di setiap awal tahun ajaran yang diikuti kebutuhan tempat tinggal (rumah kos).
Umumnya mereka yang bermigrasi ke kota-kota itu adalah "wisatawan intelektual" dalam negeri, jarang-jarang yang berasal dari luar negeri. Di kota-kota itu, para mahasiswa membutuhkan rumah kos, warung makan, jasa angkutan, jasa binatu, dan harus membayar biaya pendidikan.
Logikanya, uang dari daerah-daerah mengalir melalui mahasiswa berbentuk biaya hidup dan biaya pendidikan yang dapat membuka lapangan kerja baru di kota tempat perguruan tinggi itu berada. Secara makro akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Bisa dibayangkan jika mahasiswa-mahasiswa luar negeri menimba ilmu atau menjadi "wisatawan intelektual" di kota-kota tadi, tentu yang mengalir ke sana adalah devisa berbentuk dolar, ringgit, yuan maupun peso. Makin banyak mahasiswa luar negeri belajar di negara kita, pasti diikuti dengan mengalirnya devisa.
Bak kata pepatah: malang tidak dapat ditolak untung tidak dapat diraih, kelas perguruan tinggi dalam negeri berada jauh dibandingkan perguruan tinggi luar negeri. Seperti data yang dirilis www.webometrics.info Juli 2011 tentang peringkat perguruan tinggi di dunia, ternyata Universitas Indonesia berada di peringkat 562, disusul ITB diurutan 632, UGM diurutan 817, Universitas Gunadarma diurutan 845, IPB diurutan 1180, Universitas Negeri Malang diurutan 1218, malah Universitas Trisakti berada diurutan 4651.
Bagaimana kita bisa menarik devisa melalui kunjungan "wisatawan intelektual" –mahasiswa dari luar negeri– jika peringkat perguruan tinggi paling top di tanah air saja berada di urutan ke-562 dunia atau urutan ke 12 di Asia Tenggara. Malah, uang dari dalam negeri yang mengalir deras ke luar negeri, menjadi devisa negara lain, karena sejumlah pelajar dan mahasiswa berduyun-duyun melanjutkan studinya ke luar negeri.
Sangatlah wajar bila sejumlah perguruan tinggi peringkat atas dunia seperti National University of Singapore (peringkat 85 dunia), Universiti Teknologi Malaysia (peringkat 419 dunia), atau Universiti Kebangsaan Malaysia (peringkat 462 dunia) berani beriklan sampai ke media cetak lokal, karena semua perguruan tinggi dalam negeri berada di nomor buncit. Pastinya, manajemen perguruan tinggi luar negeri tersebut tidak takut bersaing dengan perguruan tinggi dalam negeri dalam merebut pasar mahasiswa. Lalu, apa yang harus diperbuat oleh anak bangsa ini?
Note : Setelah gaduh Harga BBM, segera menyusul Rancangan Undang Undang Pendidikan Tinggi (RUU-PT) akan mengguncang jagat politik Indonesia.
Tahukah anda bahwa Komisi X DPR-RI telah membuat RUU PT yang akan di paripurnakan pekan depan, Selasa 10 April 2012 ?.
Tahukah anda bahwa Komisi X DPR-RI telah membuat RUU PT yang akan di paripurnakan pekan depan, Selasa 10 April 2012 ?.
Tahukah anda apa isi RUU PT tersebut ? Satu diantaranya adalah mengulang model BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang telah diputuskan oleh MK Maret 2010 sebagai "melanggar UUD 1945".
Tahukah anda apa arti semua itu ? Akan ada proses privatisasi alias swastanisasi yang sesuai dengan agenda-agenda World Bank dan para agent scholarsnya di Indonesia ?
Lantas, apa yang bisa kita lakukan ? "TOLAK RUU-PT !" dengan cara mengirimkan sms ke anggota DPR RI. (lihat daftar di bawah ini).
Sekarang juga !
Ini cara paling mudah dan cukup efektif saat ini.
Ketik sms (copy paste):
"Kami Tidak Setuju RUU PT, Batalkan !" Kirim ke:
Ketua Komisi X:
Mahyudin 0811712680
Wakil Ketua:
Rully Chairul Azwar 0811820570
Anggota:
Asman Abnur/PAN 0811691222
Vena Melinda/Demokrat 0811109584
Theresia EE Pardede"Tere"/Demokrat 08111892979
Parlindungan Hutabarat/Demokrat-0816846502
Nurul Qomar/Demokrat 081312296969
Kahar Muzakir/Golkar 08127107370
Ferdiansyah/Golkar 0816940206
Selina Gita/Golkar 08161936992
Oelfah A Syahrullah/Golkar 0811325602
Utut Adianto/PDIP 0816899690
Dedi Gumelar/PDIP 0811942345
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar