Bijaksana di Era Normal Baru
Oleh: A. Helmy Faishal Zaini
SALAH satu prinsip utama yang dipegang Nahdlatul Ulama (NU) adalah kaidah al muhafadzatu alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Yakni, menjaga tradisi lama yang baik dan mengaplikasikan inovasi baru yang lebih baik. Ada dua kata kunci prinsip yang terkandung dalam kaidah tersebut. Pertama adalah tradisi dan kedua inovasi.
Tradisi atau adat istiadat merupakan sebuah kebaikan yang diulang-ulang secara intensif. Jika sesuatu diulang dengan intensitas yang tinggi, sekaligus mampu bertahan beriringan dengan gerak zaman, hal itu disebut adat istiadat (sesuatu yang diulang dan berulang) yang dalam bahasa kita dikenal sebagai tradisi.
Tradisi itu memiliki posisi yang sangat penting. Tatkala membincang persoalan tradisi, banyak sarjana muslim merujuk pada metafora yang digunakan dalam Alquran surah Ibrahim: 24 yang mengatakan, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit."
Kebaikan yang berulang atau tradisi dalam konteks ini tak ubahnya pohon yang akarnya kokoh menghunjam bumi, sementara cabangnya rimbun dan menjulang ke langit. Itu merupakan sebuah perumpamaan bahwa tradisi merupakan sebuah entitas yang memiliki akar yang kuat sehingga ia kokoh berdiri mengikuti gerak dan perubahan zaman.
Inovasi
Dalam konteks merespons gerak zaman, ada aspek lain yang tidak kalah penting, yakni aspek inovasi. Dalam bahasa Imam Syafi'i disebut sebagai "wal akhdzu bil jadidil ashlah" yang berarti mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dalam bahasa yang lebih ringkas, hal ini bisa disebut sebagai upaya-upaya inovatif yang membawa kemaslahatan hidup.
Dengan bingkai kaidah di atas, sesungguhnya kalangan beragama sangat memahami apa yang menjadi kelaziman yang harus ditempuh menghadapi gerak dan perubahan zaman. Dua kelaziman itu adalah berpegang pada tradisi sekaligus mencari cara untuk bertahan sebagai bagian dari upaya berinovasi. Dalam konteks menghadapi wabah korona ini, saya rasa paradigma berpikir semacam ini relevan untuk digunakan.
Kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang telah dituangkan pemerintah bisa kita maknai sebagai bagian dari inovasi yang dipilih sebagai strategi menghadapi wabah ini. Kewajiban untuk menjaga jarak dan larangan untuk berkerumun guna memutus transmisi virus korona menjadi salah satu alasan mendasar kebijakan ini diterapkan. Illat (raison d'etre) yang menjadi alasan kebijakan PSBB adalah adanya kerumunan. Tidak peduli kerumunan itu terjadi di mana dan dilakukan oleh siapa. Jelas, perkara yang dilarang adalah berkerumun. Entah di pasar, mal, rumah makan, tempat ibadah, atau tempat wisata. Kita tidak sedang berbicara lokus. Fokus kita adalah soal fenomena/peristiwa kerumunan. Artinya, kita tidak sedang bicara di mana dan oleh siapa, namun lebih kepada soal apa.
Dalam konteks ini, saya melihat ada beberapa pelanggaran yang terjadi sehingga tampak sebagaimana diberitakan banyak media, terdapat kerumunan di sebuah restoran yang sempat membuat heboh dan memantik perdebatan dan protes dari kalangan umat beragama. Protes disampaikan karena menganggap bahwa mengapa peraturan dijalankan dengan cara yang diskriminatif. Mengapa rumah ibadah ditekankan untuk ditutup, sementara terhadap kerumunan yang terjadi di sebuah restoran tidak ada upaya pelarangan? Logika ini sah dan wajar. Namun, dalam konteks ini, saya hendak mengajak umat beragama agar menyerahkan implementasi kebijakan pelarangan kerumunan itu kepada pemerintah. Sikap terbaik kita, dalam hemat saya, adalah memberikan teladan dan contoh untuk tetap berdisiplin dan mematuhi protokol yang telah ditetapkan.
Normal Baru
Wacana tentang normal baru (new normal) yang gencar menjadi topik pembicaraan belakangan sebetulnya tidak begitu mengagetkan jika ditinjau dari kerangka wal akhdzu bil jadidil ashlah di atas. Upaya untuk melakukan inovasi, yakni mengambil kebijakan yang dinilai lebih baik, adalah cara terbaik untuk bertahan menyesuaikan gerak zaman. Namun, perlu dicatat bahwa kebijakan tersebut bisa masuk ke kategori inovasi sepanjang ia memiliki nilai dan manfaat yang lebih baik.
Dalam kerangka ini, saya rasa hal penting yang harus dilakukan adalah kajian serta analisis yang mendasar, menyeluruh, dan mendalam akan potensi dampak baik dan buruk dari kebijakan normal baru ini. Seluruh spektrum warna harus menjadi pertimbangan. Tidak bisa kebijakan diambil dalam rangka hanya memenuhi tuntutan dari sektor tertentu. Inilah yang disebut sebagai watak kepemimpinan yang melayani.
Pada konteks yang lebih jauh, dalam hemat saya, normal baru bukan semata soal inovasi dan implementasi kelaziman baru. Namun, juga harus ada pendekatan baru yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemi korona. Pendekatan baru yang saya maksud, misalnya, bisa dimulai dengan melakukan perbaikan sistem komunikasi yang lebih tertata dengan baik. Ini penting dilakukan dalam rangka menghindari kesalahpahaman dan kegaduhan pada masyarakat.
Prinsip dasar komunikasi publik adalah kejelasan informasi. Tanpa kejelasan informasi, yang terjadi adalah publik kian bingung melihat fenomena tumpang-tindih komentar yang bermunculan dari para pajabat negara. Fenomena "saur manuk" (saling kicau) ini bukan malah semakin membuat publik tenang, tapi justru memantik persoalan baru, memunculkan perdebatan baru, sehingga wacana menjadi terbelah dan akhirnya energi kita habis untuk berdebat. Inilah yang harus kita hindari bersama.
Ala kulli hal, dalam konteks menghadapi pandemi ini, saya ingin menukil sebuah syair yang dikutip oleh Hadratusyaikh KH Hasyim Asyari dalam mukadimah qanun asasy Nahdlatul Ulama: "kunu jami'an ya bunayya idza 'ara, khatbun wala tafarraqu ahada. Ta'bal qidahu idzaj tama'na takassura, wa idzaf taraqna takassarat afrada" yang artinya, berhimpunlah anak-anakku ketika kegentingan datang melanda, jangan bercerai berai sendiri-sendiri. Cawan-cawan enggan pecah bila bersama, ketika bercerai satu per satu pecah berderai. Mari kita jaga solidaritas dan gotong royong bersama menghadapi pandemi korona ini. Inilah sebaik dan sebijaksana sikap yang bisa kita lakukan. Wallahu a'lam bis-sawab. []
JAWA POS, 29 Juni 2020
A. Helmy Faishal Zaini | Sekjen PBNU
Posted by: putra wardana <pwardana2000@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar