Belajar Merasa Ngeri
Oleh: J Kristiadi
(Presiden Joko Widodo, Rapat Terbatas Kabinet tentang Serapan Anggaran, Kompas.com, 8/7/2020).
Kegetiran Presiden Joko Widodo tentang kualitas kinerja para pembantunya, termasuk para menteri, dalam Sidang Kabinet Paripurna 18 Juni 2020, selaras dengan hasil survei Kompas awal Juli 2020 yang menyebutkan, 87,8 persen responden tak puas dengan performa menteri, khususnya dalam menangani pandemi Covid-19 (Kompas, 13/7/2020). Masih terbayang kerut kening dan dahi, helaan napas Presiden disertai dinamik intonasi kata yang nyaris merintih, artikulasi suara fluktuatif; keseluruhan bahasa tubuh merupakan ekspresi totalitas empati keprihatinan Presiden terhadap derita rakyat.
Jengkel, prihatin, gemas, murung gundah menjadi satu karena kinerja para pembantunya lelet. Presiden nggrantes (meratap sedih, miris, dan cemas) dan super-geregetan sehingga memberi tengara kepada para pembantunya akan melakukan pergantian kabinet.
Dalam "kultur Solo" dan Jawa pada umumnya dikenal pasemon (ungkapan tersamar), tiga level raja menegur para pejabatnya: semu menteri (sindiran halus untuk menteri), esem bupati (senyum kecut untuk bupati), dan dupak kuli (tendangan untuk pekerja fisik). Tengara pergantian kabinet yang langsung disampaikan di hadapan para pembantunya mirip ungkapan "peringatan lugas, tanpa basa-basi langsung kepada yang bersangkutan".
Gelagat pergantian kabinet menimbulkan beragam spekulasi politik, publik mulai menerka-nerka dan politisi mulai mereka-reka, terutama mereka yang merasa belum kebagian jatah kedudukan mulai jurus kasak-kusuk melakukan manuver politik. Lawan politik mulai menggoreng isu perombakan kabinet (reshuffle) untuk menggerogoti wibawa Presiden.
Bagi para pembantu Presiden, khususnya menteri, konon, reaksinya beragam: introspeksi diri, mutung, kecewa, pasrah, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan spekulasi yang mengganggu stabilitas kinerja pemerintah serta membuat politik memanas, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyiram narasi sejuk dan mengatakan, semua kementerian dan lembaga telah menunjukkan kinerja luar biasa, semoga bagus terus, tidak relevan lagi reshuffle (Kompas, 7/7/2020).
Namun, tampaknya Presiden tetap menatap lekat dan ketat memonitor kinerja para pembantunya. Belum sebulan setelah peringatan keras tentang penggantian kabinet, ternyata kinerja menteri dianggap belum memuaskan.
Nada kesal dan masygul diulangi dalam rapat terbatas kabinet tentang serapan anggaran. Presiden berharap para pembantunya mengasah kepekaan rasa ngeri karena pemulihan ekonomi Indonesia dihantui krisis yang hanya dapat bergerak dan mulai pulih kalau diungkit belanja pemerintah...
Proyeksi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan, kontraksi ekonomi global diprediksi mencapai minus 6-7,6 persen (Kompas, 9/7/2020).
Dalam perspektif rasa-merasa "peringatan dan ancaman", yang diperlihatkan Presiden, sesungguhnya manifestasi suasana kebatinan yang sumpek terhadap proses tata kelola kekuasaan pemerintahan yang terus sempoyongan, kalang kabut sehingga bergerak maju, tetapi dalam kesemrawutan (muddling through). Sedihnya, proses kekalutan tidak pernah dikoreksi secara menyeluruh, bahkan semakin permanen dan melembaga, situasi krisis dianggap sebagai hal yang normal.
Tingkat kegawatan bukan lagi absennya sense of crisis (kedap rasa darurat), tetapi sudah pada taraf crisis of senses (bebal rasa darurat) dan absennya rasa darurat ketergesaan (sense of urgency). Tingkat eskalasi krisis sudah dianggap peristiwa lumrah. Ibaratnya, kisah nikmat katak direbus di tempayan dengan air hangat, terlena dibuai rasa nyaman, saat mendidih baru sadar, tetapi sudah keburu mati.
Rendahnya kinerja para pembantu Presiden, khususnya para menteri, tak sepenuhnya adil kalau hanya dibebankan kepada mereka. Sebab, tingkat karut-marut tata kelola kekuasaan pemerintahan nyaris mustahil dibenahi karena absennya niat baik kolektif para elite politik. Sedemikian rumitnya mengurai kekusutan politik sehingga Einstein pun mengatakan, politik lebih sulit daripada fisika.
Pernyataan itu, konon, menjawab pertanyaan peserta dalam konferensi di County Dublin, New York, 1946, mengapa ketika kecerdasan manusia mampu menemukan struktur atom, tetapi tak dapat membuat skema dan desain politik agar mampu mencegah atom tidak menghancurkan manusia. Konferensi diorganisasi oleh mereka yang kecewa pada Liga Bangsa-Bangsa karena tak mampu mencegah konflik antarnegara sehingga Sekutu menjatuhkan bom atom di Jepang.
Presiden berharap para menteri belajar merasa ngeri pada masa krisis agar para pembantu dekatnya menggunakan logika kedaruratan serta mengasah mata batin untuk menyimak dengan cermat di balik musibah Covid-19, tersimpan harta karun kekayaan melimpah ruah bangsa Indonesia; bukan hanya sumber daya alam, melainkan juga modal sosial dan budaya solidaritas yang berkelimpahan.
Dengan mengasah mata hati, cita-cita mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 bukan takhayul politik karena pasti akan menjadi kenyataan.
Posted by: putra wardana <pwardana2000@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar