Kemiskinan Multidimensi
Mengukur kemiskinan bukan hal mudah karena kompleks. Pengukuran multidimensi penting untuk memperbaiki kualitas program penanggulangan.
Laporan penelitian kerja sama harian Kompas, Ford Foundation, dan Lembaga Pemikir Prakarsa melihat kemiskinan secara multidimensi: dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup dengan 11 indikator. Ukuran ini berbeda dari yang sering dipakai, yaitu hanya berdasarkan besar pendapatan atau jumlah pengeluaran.
Cara pengukuran multidimensi memberi informasi lebih tajam dan spesifik, tingkat keparahan dan tingkat kedalaman kemiskinan. Dengan demikian, cara penanggulangannya pun menjadi lebih tepat sasaran.
Hasil penelitian memperlihatkan, karakteristik kemiskinan multidimensi di Indonesia didominasi dimensi standar hidup atau fasilitas dasar, yaitu ketersediaan air bersih, sumber penerangan, sanitasi, dan bahan bakar untuk memasak. Kemiskinan yang diindikasikan oleh dimensi kesehatan dan pendidikan juga terjadi walaupun tidak sama di semua daerah penelitian.
Sudah lama disadari, ukuran jumlah nominal pengeluaran rumah tangga tidak memadai untuk memahami apalagi menjadi solusi penyelesaian kemiskinan. Indonesia mengenal garis kemiskinan yang diperkenalkan Prof Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor. Sayogyo menggunakan jumlah konsumsi kalori (beras) karena pangan adalah kebutuhan paling dasar manusia untuk bertahan hidup.
Guru besar ekonomi penerima Nobel, Amartya Sen, di bukunya, Development as Freedom (1999), menjelaskan betapa kompleksnya kemiskinan, dan bersifat multidimensi. Sen menunjukkan, kemiskinan terkait dengan akses terhadap berbagai kebutuhan hidup, seperti pendidikan, kesehatan, sumber daya ekonomi, dan bahkan demokrasi.
Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengukur tingkat kualitas pembangunan secara multidimensi, termasuk kesetaraan jender.
Semua hal tersebut mempertegas bahwa mengatasi kemiskinan bukan semata soal pertumbuhan ekonomi. Pemerintah kini fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi baru sebatas fisik. Untuk mengatasi kemiskinan yang jumlah orang serta tingkat kedalamannya meningkat, tidak bisa lain kecuali meningkatkan akses masyarakat pada infrastruktur ekonomi dan sosial.
Infrastruktur ekonomi, antara lain, berupa kredit murah bagi pengusaha mikro dan kecil. Akses sosial berupa jaminan pendidikan dan kesehatan bagi setiap orang.
Yang paling mendasar adalah akses pada pangan. Sudah terbukti, produksi yang tinggi tidak menjamin akses terhadap pangan. Selama akses memadai pada pangan belum terjamin, kemiskinan tidak akan bisa diatasi.
Laporan penelitian kerja sama harian Kompas, Ford Foundation, dan Lembaga Pemikir Prakarsa melihat kemiskinan secara multidimensi: dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup dengan 11 indikator. Ukuran ini berbeda dari yang sering dipakai, yaitu hanya berdasarkan besar pendapatan atau jumlah pengeluaran.
Cara pengukuran multidimensi memberi informasi lebih tajam dan spesifik, tingkat keparahan dan tingkat kedalaman kemiskinan. Dengan demikian, cara penanggulangannya pun menjadi lebih tepat sasaran.
Hasil penelitian memperlihatkan, karakteristik kemiskinan multidimensi di Indonesia didominasi dimensi standar hidup atau fasilitas dasar, yaitu ketersediaan air bersih, sumber penerangan, sanitasi, dan bahan bakar untuk memasak. Kemiskinan yang diindikasikan oleh dimensi kesehatan dan pendidikan juga terjadi walaupun tidak sama di semua daerah penelitian.
Sudah lama disadari, ukuran jumlah nominal pengeluaran rumah tangga tidak memadai untuk memahami apalagi menjadi solusi penyelesaian kemiskinan. Indonesia mengenal garis kemiskinan yang diperkenalkan Prof Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor. Sayogyo menggunakan jumlah konsumsi kalori (beras) karena pangan adalah kebutuhan paling dasar manusia untuk bertahan hidup.
Guru besar ekonomi penerima Nobel, Amartya Sen, di bukunya, Development as Freedom (1999), menjelaskan betapa kompleksnya kemiskinan, dan bersifat multidimensi. Sen menunjukkan, kemiskinan terkait dengan akses terhadap berbagai kebutuhan hidup, seperti pendidikan, kesehatan, sumber daya ekonomi, dan bahkan demokrasi.
Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengukur tingkat kualitas pembangunan secara multidimensi, termasuk kesetaraan jender.
Semua hal tersebut mempertegas bahwa mengatasi kemiskinan bukan semata soal pertumbuhan ekonomi. Pemerintah kini fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi baru sebatas fisik. Untuk mengatasi kemiskinan yang jumlah orang serta tingkat kedalamannya meningkat, tidak bisa lain kecuali meningkatkan akses masyarakat pada infrastruktur ekonomi dan sosial.
Infrastruktur ekonomi, antara lain, berupa kredit murah bagi pengusaha mikro dan kecil. Akses sosial berupa jaminan pendidikan dan kesehatan bagi setiap orang.
Yang paling mendasar adalah akses pada pangan. Sudah terbukti, produksi yang tinggi tidak menjamin akses terhadap pangan. Selama akses memadai pada pangan belum terjamin, kemiskinan tidak akan bisa diatasi.
__._,_.___
Posted by: Bambang Tribuono <bambang_tribuono@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar