Rabu, 11 Januari 2012

[berita_nusantara] Re: Wartawan Terima Duit 400 juta untuk "Amankan" Dugaan Korupsi Dana DAK Pendidikan Kabupaten Malang Senilai Puluhan Milyar Rupiah??

 

sebagai orang awam hanya liat realitanya saat ini, berita korupsi yang dilengkapi dg foto dll hanya dimuat dikoran kecil setempat,
Koran besar dll disana bungkam, entah faktornya apa karena sudah terima duit, entah karena takut karena kabarnya pelakunya adalah jaringan raja mafia kuat disana, entah karena wartawannya malas investigasi karena sudah dapat gaji maka cari berita yang gampang aja yakni pernyataan2 dari pejabat (sehingga media massa rata2 isinya kebanyakan adalah pernyataan, bukan berita)
Masyarakat bungkam
Aparat hukum diam
Jadi... hayoooo silahkan habiskan dana pendidikan untuk ngisi kantong...
Murid mau bodoh.. bukan urusan masyarakat
Sekolah ambruk dan akibatkan hal2 buruk bagi siswa dan guru.. bukan dosa, karena toh tiap hari berdoa
negara mau hancur... lingkungan rusak... rakyat mau mati kelaparan... masyarakat gak peduli kok...
Dan malah bisa diliat sekarang ini masyarakat tidak malu kok dicap keluarga koruptor.. malah bisa2 bangga jika diliat masyarakat bahwa dirinya dekat dengan koruptor yang jabatan tinggi, kaya dll.. karena identitas diri yang dibanggakan adalah materialisme

kata orang kuno
Zaman Edan.... orang jahat dipuja2, orang baik disingkirkan...
apakah negeriku & masyarakatku sekarang memasuki ZAMAN JAHILIYAH, ZAMAN KEGELAPAN YANG HITAM PEKAT

=================================================
From: pembaharu <pembaharu@yahoo.com>

Wah pak A.Rahman.A Koordinator wartawan Seni Budaya kita ini semangat sekali.
Semua bagus aturan itu. Di Indonesia dalam praktek sehari2, banyak yg dengan mudah wartawan menerima uang (transportasi). Hal ini jelas gak benar, dengan alasan apa pun, karena mereka sudah digaji oleh Perusahaannya. Kecuali wartawan gadung ya lain lagi deh.
Saya sih hanya lihat kenyataan saja deh. Banyak peraturan dibuat lalu dilanggar banyak manusianya.
Artinya, kembali kepada moral masing2.
Punya agama tapi tak punya moral, sama juga Pelacur deh ! Bahkan pelacurpun ada yang masih punya moral, kasihan sama cowok yg suka nyeleweng. Membantu cowok itu yg dalam kesusahan. Jadi wartawan penerima uang itu lebih rendah dari Pelacur sebenarnya.
Bakabon

---------------------------------------------------------------------------------------------------
--- In @yahoogroups.com, "ARA ska" <araska.araskata@...> wrote:

Dewan Pers sudah melakukan langkah maju dengan membuat standar
kompetensi wartawan. Nanti, setiap wartawan yang lulus uji kompetensi
akan mendapatkan sertifikat tunggal. Sertifikat itu yang menjadi
perlambang apakah ia pantas menjalankan tugas jurnalistik atau tidak.
Dewan Pers, sebagaimana disitat dari Koran Tempo edisi Selasa, 19 Juli
2011, menargetkan ada 2.000 wartawan yang mengikuti uji kompetensi
selama dua tahun ini. Perusahaan pers yang punya minimal 40 wartawan dan
sudah 10 tahun beroperasi bisa menjadi lembaga penguji. Dua organisasi
pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) sedang diverifikasi Dewan Pers. Kedua organisasi itu mengajukan
diri sebagai penyelenggara uji kompetensi wartawan. Dari simulasi yang
dilakukan Lembaga Pers Dr. Sutomo, lebih banyak wartawan muda yang
berkompeten dalam uji kompetensi kewartawanan.

Sama seperti sertifikasi buat guru, uji kompetensi kewartawanan ini
menjadi penting sehingga profesionalisme kerja jurnalis lebih terjamin.
Selama ini amat banyak laporan dari masyarakat yang merasa terancam
dengan adanya wartawan yang kerap memeras. Para kepala sekolah setiap
dana BOS cair, selalu dihinggapi paranoid dengan wartawan. Para jurnalis
datang dan mengancam memberitakan penyelewengan anggaran sekolah. Karena
takut, para kepala sekolah memberikan sejumlah uang kepada oknum
wartawan. Mereka yang datang umumnya berasal dari media yang tidak
jelas. Terbitnya entah kapan, kantor pun tak jelas di mana.

Setiap kali Lebaran tiba, para kepala dinas sulit ditemui sebagai
narasumber. Usut punya usut, mereka takut didatangi wartawan yang
meminta uang THR.Yang kasihan adalah jurnalis yang memang bekerja demi
informasi. Mereka akhirnya terimbas stigma bahwa wartawan adalah
pekerjaan yang cukup dikasih uang dalam amplop kemudian bungkam. Sungguh
generalisasi yang merugikan profesi jurnalis.

Dengan adanya standar kompetensi ini, setiap wartawan akan dibekali
dengan ilmu dan pengetahuan agar mereka bisa bekerja dengan baik. Selain
itu, soal ideologi antisuap, antiamplop dan sebagainya mesti dijadikan
ideologi. Adanya regulasi yang membatasi modal perusahaan pers juga
baik. Ini untuk menjamin wartawan dan karyawan media itu digaji dengan
manusiawi. Mungkin belum memenuhi semua kebutuhan, tapi setahap demi
setahap ada ke arah kemajuan dari sisi penggajian.
Uji kompetensi ini akan bersih dari campur tangan pemerintah. Dewan Pers
akan menggandengan seratusan wartawan kawakan, komunitas masyarakat
komunikasi, dan 48 organisasi pers.
Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan sekadar masukan, standar
kompetensi apa serta praktiknya, dalam sertifikasi kewartawanan ini.

Pertama, skeptis
Wartawan meski memiliki sikap skeptis, artinya tak mudah percaya,
terutama sumber resmi. Mengapa demikian? Begini penjelasannya. Media
massa itu masuk sebagai pilar keempat demokrasi karena punya kontrol
terhadap kekuasaan. Kekuasaan dikontrol karena ia punya peluang untuk
menyeleweng. Lord Acton bilang, kekuasaan itu cenderung korup, power
tends to corrupt. Siapa pun dia, apa pun partainya, apa saja
ideologinya, jika sudah berkuasa pasti ada kans untuk menyeleweng,
korupsi, misalnya. Lantaran itu, media dan jurnalisnya memiliki tanggung
jawab untuk mengontrol. Dan karena sifatnya mengontrol, jurnalis mesti
skeptis. Kalau Badan Pusat Statistik bikin estimasi bahwa jumlah orang
miskin turun, jurnalis mesti memverifikasinya. Benarkah demikian, apa
iya dalam setahun pemerintah mampu mengangkat 1 juta rakyat dari
kemiskinan menjadi sejahtera, dan sebagainya? Rilis pemerintah
hakulyakin membagus-baguskan, tetapi jurnalis punya langkah untuk
membuktikannya di lapangan. Bukan berarti yang bagus-bagus dari
pemerintah tak diangkat sebagai artikel berita. Bad news is good news,
but good news is still news. Soal prestasi seorang Joko Widodo, Wali
Kota Solo, itu juga mesti diangkat karena ia inspiratif. Jelas bukan
makna skeptis.

Kedua, cerdas
Kecerdasan tak sekadar dilihat dari basis teori yang dimiliki wartawan.
Kalau sekadar ini, wartawan dari lulusan komunikasi, publisistik mungkin
lebih mengerti. Tapi yang dimaksud tentu saja apakah wartawan mampu
mreportase, mewawancarai, dan menulis berita dengan baik. Paul McKalip,
editor harian Tucson Citizen di Arizona, As, juga mewasiatkan soal
"cerdas" di urutan pertama syarat menjadi wartawan.

Seoranf jurnalis harus mampu menangkap hal yang istimewa dari sebuah
kejadian. Ia mesti berpikir holistik dari sebuah kasus yang mungkin
skopnya kecil. Misal ada kecelakaan lalu lintas. Ia mesti berpikir
mengapa setiap hari ada kecelakaan. Apa yang menyebabkannya, apakah dari
sisi pengendara atau karena jalan banyak berlubang. Ia juga mesti bisa
menangkap sudut pandang terbaik dari sebuah peristiwa. Jika ada seminar,
contohnya, wartawan yang baik tak sekadar melaporkan soal seminar. Ia
mesti mewartakan data menarik yang diuangkap narasumber dalam acara itu,
tentunya yang berkenaan dengan publik.

Ketiga, punya kepribadian yang fleksibel
Menjadi jurnalis mesti punya kepribadian yang supel dan fleksibel.
Karena wartawan acap dimutasi dari satu pos liputan ke liputan lain, ia
harus mudah menyesuaikan dengan lingkungan kerjanya yang baru.
Fleksibilitas inilah yang kadang membuka ruang informasi buat wartawan.
Jurnalis yang kaku hanya membuat penghalang antara dirinya dan
masyarakat, terlebih narasumber. Fleksibel, akrab, dan supel bukan
berarti berakrab-akrab dengan narasumber sehingga tak ada jarak lagi.
Kesupelannya tak lebih dalam koridor kerja dan menjaga pertemanan.
Selebihnya, tugas jurnalistik adalah yang utama. Julian Harris, Kelly
Leiter, dan Stanley Johnson juga mewasiatkan soal pribadi yang fleksibel
dan berkemampuan sosial yang tinggi buat jurnalis.

Keempat, mampu memenuhi tenggat
Deadline adalah harga mati. Telat dalam memenuhi tenggat akan
berpengaruh pada proses produksi berita. Di media cetak, terlambat
wartawan melaporkan tulisannya kepada redaktur, membuat jam kerja
terganggu. Mesin cetaknya pun akan telat bekerja. Bekerja di bidang
jurnalistik adalah beraktivitas dalam sistem kerja. Satu subsistemnya
terganggu, yang lain juga demikian.
Mematuhi tenggat adalah juga syarat yang mesti dimiliki wartawan.
Kompetensi jurnalis salah satunya mampu memenuhi tekanan tenggat yang
ketat.

Uji kompetensi mungkin tak serta-merta menjadikan dunia media massa
Indonesia sekaligus baik. Tapi setidaknya, buat penggawanya, para
jurnalis, media mampu berkontribusi terhadap keperluan masyarakat
terhadap informasi. Kita juga menginginkan tidak ada lagi sosok wartawan
yang cuma minta uang tanpa punya berita. Di atas itu, kita berharap para
jurnalis makin profesional dalam bekerja. Dan sebanding dengan itu, kita
juga mendorong media massa agar memperikan upah yang layak buat wartawan
dan karyawannya. Pendapatan besar memang tak lantas membuat orang
bersyukur dengan rezeki yang diterima. Namun, itu paling tidak menutup
peluang wartawan permisif terhadap pemberian narasumber berupa uang.
Apalagi dengan dibekali sejumlah ideologi, maka jurnalis tak sekadar
bervisi duit dalam bekerja. Lebih dari itu, kepuasan dalam memberikan
informasi yang layak buat masyarakat, adalah sesuatu yang utama. Ah,
gila, di zaman sekarang, lebih berpikir soal kepuasan dan kebangaan
daripada kesejahteraan, itu mungkin yang terpikir. Akan tetapi, jadi
"orang gila" memang jadi satu syarat tak tertulis untuk menjadi
wartawan. David S Broder, peraih Pulitzer tahun 1973, pernah berkata,
"Hanya orang `gila'-lah yang memilih wartawan sebagai
profesinya.

----------------------------------------------------------------------------------------------
In @yahoogroups.com, "pembaharu" <pembaharu@> wrote:

Bukan soal sok suci, wartawan terima uang haram gak usah lah.
Dibelikan makanan pun bakal sakit perut deh. Masih banyak wartawan yang
jujur gak mau terima uang dan memang HARUSnya demikian. Jangan
samaratakan wartawan sebagai orang yang gampang disuap uang.

Kalau yg terima uang ya urusan dia dengan Tuhan nya deh. Hasil nyata
dari beritanya pun juga ketahuan mudah kalau Reporter atau Wartawan itu
terima uang apa gak.

Jalan hidup yang lurus2 aja deh, gak usah neko2 dengan terima uang
haram begitu ! Itu sama juga PELACUR, wartawan Pelacur!

------------------------------------------------------------------------------------------------
In @yahoogroups.com, berry1168@ wrote:

Udah biasa tuh, emang kenapa kalo wartawan terima duit?

------------------------------------------------------------------------------------------------
From: Simpati MMS simpati_mms@
Date: Fri, 6 Jan 2012 02:49:58

Kabar yang dilansir sebuah media massa nasional dibawah ini, tentunya merupakan tantangan untuk wartawan & pemilik koran, baik di Malang maupun di Jawa Timur khususnya dan seluruh Indonesia umumnya,  untuk membuktikan bahwa diantara mereka ada yang tidak mau menerima uang suap hasil korupsi agar menutup berita dan mengamankan korupsi.

Bukan dengan hanya sekedar membantah, tapi dengan melakukan investigasi & reportase untuk membongkar korupsi. Kalau seperti sekarang hanya segelintir media massa kecil/lokal yang melakukan investigasi, reportase & memberitakan korupsi puluhan milyar ini, sedangkan sebagian besar wartawan & media massa yang lain, baik yang kecil maupun besar, hanya diam saja, dan cuma membantah terima duit, bisa membuat masyarakat beranggapan, bahwa sebagian besar wartawan & media massa disana sudah dibeli

http://www.bisnis.com/articles/aji-kritik-dana-pengamanan-wartawan-proyek-dak

AJI kritik dana pengamanan wartawan proyek DAK

MALANG: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengkritik kabar yang berkembang seputar dugaan adanya dana pengamanan untuk wartawan dari proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan di Kabupaten Malang.


Abdi Purnomo, Ketua AJI Malang, mengatakan terkait dengan isu adanya oknum wartawan yang 'mengamankan' proyek dengan menerima imbalan sejumlah uang tersebut, AJI Malang tidak terlibat dalam pengamanan proyek-proyek DAK Pendidikan Kabupaten Malang, baik secara kelembagaan maupun perorangan ketua ataupun anggota.

"Hal ini merupakan otokritik dari AJI Malang terkait kabar yang berkembang," kata Abdi Purnomo dalam rilisnya hari ini.

Menurutnya, sejauh ini belum didapat bukti faktual keterlibatan pengurus dan anggota AJI Malang dalam pengamanan proyek DAK Pendidikan alias masih berdasar asumi atau dugaan belaka.

AJI menduga kurang dari 5 orang wartawan saja yang menerima duit DAK. Sisa 15 wartawan hanya korban pencatutan baik oleh rekan wartawan itu sendiri maupun oleh kontraktor pelaksana proyek.

Wartawan yang menerima duit DAK, lanjutnya, sama dengan telah menyalahgunakan profesi dan atau telah menerima suap, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik.

AJI Malang, ujarnya, memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada media dan jurnalis yang rajin memberitakan dugaan penyimpangan pelaksanaan proyek DAK Pendidikan dan kasus-kasus sejenis lainnya di wilayah Malang Raya.

Pihaknya juga berharap, wartawan yang benar-benar terlibat untuk mengaku. Atau melakukan klarifikasi jika memang merasa tidak menerima duit DAK semata-mata karena dorongan nurani dan untuk menjaga hubungan baik antar wartawan.

"Apabila masalah tersebut sampai menjadi perkara hukum yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, AJI Malang tidak akan membela wartawan yang terlibat dalam kasus DAK karena tindakan mereka sudah tergolong sebagai tindakan kriminalitas," jelasnya.

Di sisi lain,  AJI Malang, kata dia, akan membela para jurnalis yang bermasalah karena karya-karya jurnalistiknya. Dan tentu saja, membela secara proporsional sesuai standar dan prosedur UU Pers dan kaidah Kode Etik Jurnalistik.

Karut-marut pelaksanaan proyek DAK tersebut memunculkan isu panas tentang keterlibatan wartawan. Bukan keterlibatan aktif dan positif untuk ikut mengawasi atau mengontrol, melainkan terlibat 'mengamankan' pelaksanaan proyek DAK yang bermasalah itu.  

Sebanyak Rp 400 juta dari duit DAK Pendidikan—terdiri dari sisa DAK Pendidikan 2010 sebesar Rp 52 miliar, ditambah DAK Pendidikan 2011 sebesar Rp 71 miliar dan anggaran pendampingan dari APBD sebanyak 10 persen—konon disiapkan sebagai 'uang aman' untuk 20 wartawan di wilayah Kabupaten Malang. Tiap wartawan diisukan mendapat Rp 20 juta per orang. (K25/Bsi)

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar