Politik kebencian. (Hubungan China-AS)
by. Erizeli Jely Bandaro
Teman saya mengirim WA, minta saya membaca artikel tentang kemungkinan perang terbuka antara AS dan China. Memang belakangan ini terjadi kekisruhanan yang serius antara AS-China. Bahkan mungkin yang terburuk setalah perang Vietnam. Itu dipicu oleh sikap paranoid Trumps yang menyebut COVID-19 sebagai China Virus. Hal ini dibalas China dengan propaganda di dalam negeri yang lebih ganas. Padahal sebelumnya bagaimanapun sikap AS tidak pernah ada kegaduhan politik dalam negeri China. Mereka terkesan santai menyikapi sikap AS. Entah mengapa kali ini jadi berbeda.
Teman saya di China mengatakan bahwa China sedang berusaha membangun politik citra international di tengah pandemi COVID-19 namun upaya itu dibalas AS dan sekutunya dengan sangat menyakitkan. Bahkan dengan tuduhan sepihak bahwa China sebagai sumber petaka adanya COVID-19. Di satu sisi Xijinping memang sedang membutuhkan narasi persatuan dan kesatuan di tengah upaya melakukan recovery economy. Issue soal kebencian AS terhadap China seakan menjadi seni propaganda Partai komunis China untuk memperkuat persatuan dan kesatuan China.
Yang kebetulan juga pada bulan November mendatang akan ada Pilpres di AS. Trumps dan Partai Demokrat sedang berusaha memanfaatkan wabah COVID-19 ini untuk mendapatkan simpatik rakyat. Setidaknya bisa excuse dari kegagalan pemerintah dalam menghadap dampak dari pandemi ini. Satu satunya yang dijadikan gorengan adalah soal anti China dan memang orang AS itu mudah sekali percaya kalau ada issue yang dibarengi kebencian. Dulu Trumps berhasil menang dalam Pipres berkat cara dan kebenciannya yang begitu vulgar kepada radikalisme Islam, khususnya ISIS dan Al-Qaeda.
Itu sebabnya Trumps mengancam akan menggagalkan perjanjian perdagangan fase satu dan meningkatkan tarif pada China, agar China tidak leluasa membeli produk tekhnologi dari AS. Serta mengajak sukutunya untuk mengurangi ketergantungan supply chain global dari China. Pada waktu bersamaan China juga mengancam akan menghentikan supply Chain alat kesehatan kepada AS dan sekutunya dan mengurangi impor gandum. Dalam ketegangan ini secara tidak langsung dunia terbelah. Yang mendukung China jauh lebih banyak daripada yang mendukung AS. Hanya inggris, Jepang dan India yang masih setia di belakang AS.
Lantas apakah mungkin kedua negara ini akan berhadapan langsung di Battle war ? Secara pribadi hubungan Xijinping dengan Trumps sangat baik. Itu sangat beralasan. Karena hanya Xijinping satu satunya presiden China yang pernah sekolah dan tinggal di AS. Tentu hubungan Xijinping dengan elite AS sangat luas. Apalagi kedua putra putri Xijinping kuliah di Harvard. 30% pendapatan Pajak AS berasal dari Perusahaan AS yang beroperasi di China seperti Apple, Microsoft, GE, Boeing, GM ,Intel dll. Kalau perang, yang rugi lebih dulu ya AS. Jadi engga mungkin AS mau serang China, itu sama saja membakar lumbung padinya sendiri. Belum lagi petani AS sangat tergantung dengan pasar China.
Partai Demokrat menilai sikap Trumps lemah terhadap China, tidak menguntungkan secara politik, kalau ingin menang di periode kedua Pilpres nanti. Ya Trumps butuh narasi agar mudah menambang suara pada Pilpres nanti. Ya tak ubahnya partai oposisi dan kaum oposisi di Indonesia yang menggunakan issue anti China untuk dapat suara dalam Pemilu. Orang yang tanpa prestasi hebat memang hebat dalam hal kebencian atas dasar rasis. Mengapa? karena tidak ada prestasi yang bisa dijual kecuali menebarkan kebencian.
Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone
__._,_.___
Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar