Sanksi Untuk Pembakar Hutan
Pemerintah Umumkan Perusahaan Pembakar Hutan & Sanksi Yang Diberikan, Meskipun Ada Anggota DPR Yang Keberatan Jika Perusahaan Pembakar Hutan Diumumkan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengumumkan 10 perusahaan yang terlibat pembakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di sejumlah wilayah di Indonesia.
Sebelumnya, ia telah mengumumkan empat perusahaan pembakar hutan. Artinya, total sudah ada 14 perusahaan yang diumumkan sebagai pembakar hutan.
Perusahaan-perusahaan tersebut akan dikenai sanksi administratif, mulai dari sanksi paksa untuk memenuhi kewajiban yang diminta pemerintah (kewajiban tersebut di antaranya menyediakan alat pemadam kebakaran), pembekuan izin, hingga pencabutan izin operasi.
Menurut Siti, dari 10 perusahaan terkena sanksi yang diumumkan Senin lalu, empat perusahaan mendapatkan sanksi paksaan pemerintah, empat perusahaan lainnya terkena sanksi pembekuan izin, dan dua lainnya terkena sanksi pencabutan izin.
Empat perusahaan yang dijatuhi sanksi paksaan pemerintah adalah PT BSS (perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat), PT KU (perusahaan perkebunan di Jambi), PT IHM (hutan tanaman industri atau HTI di Kalimantan Timur), dan PT WS (HTI di Jambi).
Empat perusahaan yang dijatuhi sanksi pembekuan izin adalah PT SBAWI (HTI di Sumatera Selatan), PT PBP (hak pengusahaan hutan atau HPH di Jambi), PT DML (HPH di Kalimantan Timur), dan PT RPM (perusahaan perkebunan di Sumatera Utara).
Dua perusahaan yang dijatuhi sanksi pencabutan izin adalah PT Mega Alam Sentosa (HTI di Kalimantan Barat) dan PT Dyera Hutan Lestari (HTI di Jambi).
Kita tentu saja mengapresiasi apa yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait pemberian sanksi kepada perusahaan-perusahaan pembakar hutan. Terlebih lagi, Menteri Siti menekankan sanksi ini akan diberikan bersamaan dengan kasus pidana yang sedang diproses di Markas Besar Kepolisian dan Kepolisian Daerah setempat terhadap 26 perusahaan.
Sejumlah perusahan pembakar hutan tersebut ada yang teridentifikasi dari Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan Australia. Kementerian LHK menyebutkan, hingga saat ini sudah ada 34 perusahaan yang diperiksa. Dari jumlah tersebut, 14 sudah diumumkan statusnya, sedangkan sisanya masih diverifikasi data. Kementerian LHK juga masih menargetkan pemeriksaaan 41 perusahaan lain.
Sementara itu, dari kepolisian dilaporkan tujuh perusahaan penanaman modal asing (PMA) telah dijadikan tersangka kasus pembakaran hutan dan lahan. Satu perusahaan berbasis di Tiongkok, satu di Australia, dan lima di Malaysia.
Tujuh korporasi itu berinisial PT ASP (Tiongkok) membakar lahan di Kalimantan Tengah; PT KAL (Australia) membakar lahan di Kalimantan Barat; PT IA (Malaysia), PT H (Malaysia), dan PT MBI (Malaysia) di Sumatera Selatan; serta PT PAH (Malaysia) dan PT AP (Malaysia) membakar lahan di Jambi.
Kita berharap pemerintah benar-benar serius dalam penegakan hukum kasus pembakaran hutan. Sinergi antara Kementerian LHK dan kepolisian benar-benar kita harapkan bisa membuat jera para pelaku.
Target perusahaan meraup keuntungan dengan mengorbankan ekosistem lingkungan dan kehidupan di sekitar hutan benar-benar tak bisa ditoleransi dan harus diberi hukuman yang pantas.
Pernyataan anggota DPR yang mengkhawatirkan pengumuman sanksi perusahaan—dengan menyebut nama-nama perusahaan tersebut sebelum keputusan sidang pengadilan—akan menurunkan iklim investasi menurun, tak perlu didengar.
Sudah saatnya perusahaan-perusahaan tersebut tahu bahwa kita bisa bersikap tegas terhadap tindakan mereka yang menyebabkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.
Pada 2015 ini saja, areal hutan dan lahan yang terbakar telah mencapai 1,7 hektare. Kabut asap yang ditimbulkannya telah membuat masyarakat di Sumatera, Kalimantan, hingga Malaysia dan Singapura harus kehilangan jarak pandang yang membuat semua aktivitas terganggu dan mengalami gangguan kesehatan.
Kerugian materiil dan imateriil yang diakibatkan dari kabut asap tersebut terlalu besar. Penyelidikan yang dilakukan Kementerian LHK menunjukkan luas areal yang terbakar itu berada di 413 entitas perusahaan. Jadi, wajar jika pertanggungjawaban harus diminta pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Selain penegakan hukum, kita berharap pemerintah mulai memikirkan penciptaan struktur insentif dalam pengelolaan hutan. Kita tahu bahwa luas hutan Indonesia membuat pemerintah kewalahan dalam melakukan pengawasan dan kontrol. Ini juga terkait minimnya anggaran.
Karena itu, penciptaan sistem insentif bisa memberikan subsidi besar untuk pengelolaan hutan. Kita bisa mencontoh bagaimana negara-negara di Amerika Latin menyubsidi kegiatan hutan tanaman mereka. Subsidi ini bisa berbentuk keringanan pajak, pinjaman berbunga rendah, pembayaran langsung, penyediaan makanan untuk melaksanakan program ini, bantuan bibit tanaman, dan bantuan teknis gratis.
Sebuah penelitian yang dirilis di Brasil menunjukkan, penebangan hutan hanya bisa diperlambat apabila tersedia insentif kuat untuk itu. Hal yang perlu dilakukan adalah menyusun aturan hukum dan perpajakan guna memastikan pemeliharaan hutan lebih menguntungkan dibandingkan menebangnya.