Kesatuan Kita
by. Erizeli Jely Bandaro
Saya bergaul dengan banyak kalangan. Dari pengusaha, elite partai, wartawan, profesional, pejabat dan tentu direksi BUMN. Tidak ada satupun satu persepsi terhadap kebijakan pemeritah. Saya meliat itu buah dari demokrasi yang membuat orang berpikir pragmatis, tidak ideologis. Ada komaris BUMN yang ditunjuk pemerintah, soan ke partai oposisi.Kadang soan juga ke ormas besar. Dia ikut menjelekan pemerintah dengan tujuan dapat simpati politik untuk menang dalam intrik dengan direksi. Ada pejabat negara yang seenaknya mentertawakan kebijakan pemerintah. Padahal dia bagian dari abdi negara yang harus satu visi dengan presiden.
Ada teman pendukung setia Jokowi, menebarkan kebencian terhadap Taliban. Padahal dia tahu. Tanpa peran Jokowi tidak pernah taliban diperhitungkan secara politik. Bagi rezim Ghani, Taliban adalah Kelompok kriminal bersenjata. Tetapi berkat Indonesia, Taliban bisa masuk dalam dialogh perdamaian. Kebayangkan, KKB ikut berdamai dengan pemerintah resmi. Hebatnya, itu berkat peran Jokowi dengan memprakarsai pertemuan ulama international di Bogor. Sejak tahun 2015 Jokowi dua kali bertemu dengan Presiden Ghani dan Jk empat kali. Dukungan teman itu kepada Jokowi karena dasar pragmatis. Sama saja dukung Jokowi tapi anti PDIP.
Berlarut larut penyelesaian masalah BUMN, seperti Asabri, Jiwasraya, Garuda, Waskita, itu karena internal BUMN juga terbelah. Antar direksi ada faksi berdasarkan backing partai. Bisa partai oposisi bisa juga bagian dari koalisi. Kemudian dikementrian juga sama. Bertambah runyam, DPR juga tidak satu suara. Semua bicara soal kepentingan. Akibatnya, masalah sederhana jadi runyam. Setelah kerugian membesar tanpa bisa lagi bermain intrik. Direksi dan pejabat dikorbankan. Lihatlah kasus Asabri dan Jiwasraya. Kerugian ditutupi dengan PMN.
Banyak lagi proses politik melambat bahkan tersendat ketika diaplikasikan. Karena ketidak jelasan sikap antar semua komponen. Di internal pemerintah, di luar pemerintah, dan di akar rumput terjadi polarisasi yang sangat mengkawatirkan. Liat aja postingan di sosial media. Kalau tidak ada perubahan konstitusi yang memastikan pancasila sebagai idiologi tertutup untuk mendukung kekuasaan lembaga kepresidenan, dengan merestuktur MPR/DPR, maka hanya masalah waktu negeri ini akan pecah. Sudah sangat mengkawatirkan. Apalagi era digital dimana negara tidak berdaulat atas IT…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar