Selasa, 19 Mei 2015

[Media_Nusantara] Menyembah Sejarah

 

Menyembah Sejarah
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pada 11 September 2010, Prof Brain Cox (44 tahun) dari Universitas Manchester, Inggris, mengajukan pertanyaan berikut kepada Stephan W Hawking (73), fisikawan difabel yang terkenal, "Apakah ada sesuatu dalam ilmu pengetahuan dari bidang Anda yang Anda pikirkan agar semua orang mesti mengetahuinya?"

Jawaban Hawking yang belakangan ini menyebut dirinya sebagai seorang ateis adalah, "Ilmu pengetahuan mampu menjelaskan alam semesta tanpa perlunya pencipta." Pada bagian lain dalam diskusi itu, Hawking mengulangi, "Hukum-hukum fisika dapat menjelaskan tentang alam semesta tanpa memerlukan Tuhan."

Dalam ungkapan lain, konsep Tuhan yang diajarkan semua agama sejak ribuan tahun yang lalu dinilai sudah usang, digantikan oleh tuhan ilmu pengetahuan. Tetapi, apakah modernitas memang bergerak ke arah ateisme mutlak itu?

Dunia Barat menjadi gaduh oleh pernyataan Hawking ini, khususnya pihak gereja yang di Eropa memang sedang menghadapi gelombang ateisme yang agresif. Salah satu komentar dari pihak gereja terhadap Hawking terbaca sebagai berikut. "Stephan Hawking may have a high IQ but there's Someone with an IQ that can't be measured. His name is the Lord Jesus Christ!" (Stephan Hawking bisa saja punya IQ yang tinggi, tetapi ada seseorang dengan sebuah IQ yang tidak dapat diukur. Namanya Tuhan Jesus Kristus!).

Di Eropa, pertengahan abad ke-19 Friedrich Nietzshe sudah mengatakan bahwa "Tuhan telah mati". Jadi, fenomena Hawking bukanlah baru bagi mereka. Yang mungkin baru hanyalah perumusannya saja yang dibungkus dengan selimut ilmu pengetahuan.

Jika di Eropa, semua orang bebas bicara apa saja, termasuk kebebasan untuk menampik adanya Tuhan, di negeri-negeri Arab Muslim punya kegaduhan lain yang menyesakkan napas: bentrok sunnisme versus syi'isme atas nama Tuhan. Kedua golongan ini pasti akan naik pitam jika dikatakan tidak ber-Tuhan, tetapi pertumpahan antara mereka atas nama Tuhan tetap saja berlangsung, sesuatu yang nista dan sesat. Tetapi, itulah fakta sejarah.

Dalam ruang ini saya sudah sering berbicara tentang perbelahan umat Islam yang sudah berusia belasan abad dan belum tampak tanda-tanda untuk berdamai. Lalu di benak saya melintas sebuah kecemasan yang sangat serius dalam bentuk pertanyaan: apakah umat Islam memang telah menyembah sejarah yang selalu memicu perpecahan, bukan menyembah Allah yang dapat mempersatukan hati?

Dalam bacaan saya, Islam dalam jubah sunnisme, syi'isme, dan kharijisme adalah ciptaan sejarah sebagai buah dari sengketa politik kekuasaan di kalangan elite Arab Muslim di masa awal dengan mengingkari Alquran dan pesan kenabian. Memang pihak-pihak yang bermusuhan selalu saja mengutip teks-teks suci, tetapi yang berlaku di lapangan adalah pengkhianatan terhadap teks-teks itu, sebagaimana telah saya tulis dalam "Resonansi" sebelum ini.

Semakin senja batang usia saya, kecemasan di atas semakin mencekam dirasakan bahwa "kita memang sedang menyembah sejarah", sedangkan Allah sebagai sesembahan yang sejati dengan segala titah-Nya telah lama diabaikan. Allah melalui firman-Nya memerintahkan agar umat beriman menjaga persaudaraan (lihat misalnya Alquran surah al-Hujurat ayat 10), tetapi dalam realitas yang berlaku adalah pengkhianatan terhadap ajaran suci itu.

Belajar sejarah memang sangat diperintahkan Alquran, tetapi bukan untuk disembah. Sepenuhnya bertujuan agar manusia mengambil pelajaran moral dari peristiwa sejarah itu. Agar segala yang baik diambil dan diteruskan, dan segala yang buruk dan merusak ditinggalkan.

Ungkapan Alquran, "Laqad kana fi qashashihim 'ibra liuli 'l-albab." (QS Yusuf ayat 111). (Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu ada pelajaran moral bagi mereka yang jauh jangkauan pikirannya) adalah satu di antara ayat mengenai pentingnya sejarah itu. Dalam perspektif ayat ini, sengketa berkepanjangan antara mazhab-mazhab dalam Islam yang telah menghancurkan bangunan persaudaraan umat sama artinya dengan sikap mengabaikan dan melecehkan pelajaran moral itu, sesuatu yang ditekankan Alquran.

Akhirnya, jika umat Islam memang mau punya masa depan yang cerah, disegani, dan bermartabat, sembahlah Allah dengan hati yang tulus, dan jangan menyembah sejarah yang telah membawa malapetaka berkepanjangan. []
 
REPUBLIKA, 19 May 2015
Ahmad Syafii Maarif  ;  Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

__._,_.___

Posted by: Lukman Wiyono <wiyonolukman@yahoo.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar