Pada bulan puasa hingga Lebaran nanti, kebutuhan gula bakal melonjak. Kebutuhan beras sudah diantisipasi. Stok beras aman sampai empat bulan mendatang. Pemerintah tengah mengupayakan mengamankan gula sebab bersama harga kebutuhan pokok lainnya, harga gula diprediksi juga bakal naik dan mendorong inflasi.
Kenaikan harga gula dan inflasi akan membuat rakyat menjerit. Petani tebu tidak mendapat untung. Pemerintah pun menjadi tumpuan kesalahan karena dianggap tak mampu mengendalikan harga gula. Hanya pemburu rente , yang sejak lama sudah menggurita sebagai mafia gula, bersuka ria. Kondisi semacam ini bakal terus terulang sejauh Indonesia belum berswasembada gula. Keberadaan mafia gula ikut andil memperlambat upaya swasembada gula.
Pada 2009-2010, Indonesia meyakini dapat berswasembada gula pada 2014. Syaratnya bila pabrik gula BUMN menambah produksi 2,27 juta ton dan pabrik gula swasta 1,22 juta ton guna memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumah tangga maupun industri total sebanyak 5,7 juta ton.
Cita-cita itu gagal. Pada 2015, kita masih kedodoran memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Meski memiliki tanah luas dan subur, Indonesia masih belum mampu membuka perkebunan tebu sesuai kebutuhan.
Sebagian pabrik gula yang ada belum memenuhi kapasitas produksi. Petani enggan menanam tebu karena dihargai murah, bahkan ada yang merugi, sementara para pedagang tinggal memanen untung.
Mafia gula menggantungkan hidupnya pada keuntungan. Bila perlu mereka mengadali para pengambil kebijakan agar aturan yang ada menguntungkannya. Keberadaan mafia ini bisa diendus dari kondisi di lapangan manakala bocornya gula untuk industri ke pasar gula atau impor gula yang berlebihan sementara stok gula rakyat menumpuk.
KPK telah menerima hampir 200 laporan dugaan korupsi terkait tata niaga gula dalam 10 tahun terakhir. Laporan dugaan korupsi tata niaga gula itu beragam mulai dari penyalahgunaan subsidi tebu, mark up harga gula, penyalahgunaan prosedur importasi gula, hingga perbuatan curang penentuan rendemen.
Belum ada yang masuk bui berkait pat-gulipat di tata niaga gula bukan berarti tak ada mafia. Justru laporan yang menumpuk di KPK mengindikasikan betapa licin gerakan mereka sehingga bukti pelanggarannya susah ditelisik.
Kini pemerintahan Jokowi menargetkan swasembada gula pada 2019. Butuh koordinasi ketat antara Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Perindustrian serta Bulog. Antarkementerian harus memiliki derap yang sama sekurangnya pada tiga hal pokok yakni peningkatan produksi tebu, revitalisasi pabrik gula serta menata tata niaga gula termasuk memberantas mafia gula.
Pertama, pemerintah menjamin ketersediaan bahan baku gula yakni tebu. Saat ini lahan tebu yang ada seluas 450.000 ha. Dibutuhkan minimal 300.000 ha lagi agar Indonesia bisa swasembada gula.
Pengembangan lahan seperti ini hanya mungkin bila ada insentif kepada petani agar mereka tertarik menanam tebu. Jangankan menarik petani komoditas lain menanam tebu, para petani tebu pun kini enggan menanam lagi. Alasannya, mereka tak mendapatkan untung, malah buntung.
Permintaan gula tinggi dan pasokan rendah tidak otomatis membuat harga tebu petani naik tinggi. Gula untuk industri yang bocor ke pasar membuat harga lelang gula petani rendah.
Petani tebu yang bekerja keras buntung, pedagang dan importir menangguk untung. Pemberian insentif terhadap petani tebu pernah dilakukan yakni dana talangan manakala pabrik tebu di bawah PT Perkebunan Nusantara belum membayar hasil panen tebu petani. Kini insentif seperti itu telah tiada.
Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan kemudahan lain untuk mendorong petani membuka lahan tanaman tebu. Kementerian Pertanian memiliki peran mendorong pengadaan lahan perkebunan tebu.
Di sisi lain, intensifikasi pertanian diharapkan dapat menambah produktivitas tiap hektare lahan tebu.
Kedua, menyediakan pabrik pengolah gula yang cukup dalam desain komprehensif industri gula. Kini terdapat 60 pabrik yang memenuhi kebutuhan gula konsumsi. Pemerintah dan DPR telah menyetujui anggaran senilai Rp 3,5 triliun untuk revitalisasi pabrik gula.
Sejauh mana revitalisasi terjadi dan apakah pada saat yang sama kebutuhan bahan baku berupa tebu dapat terpenuhi, harus masuk dalam desain dimaksud. Angka-angka kebutuhan gula dalam negeri dan kapasitas produksi pabrik harus dievaluasi benar.
Jangan sampai terjadi salah hitung. Asosiasi petani tebu pernah mengeluhkan, sekarang sudah ada 11 pabrik gula rafinasi (untuk industri makanan dan minuman) berkemampuan produksi 5 juta ton per tahun. Padahal konsumsi gula untuk industri makanan dan minuman hanya 2,2 juta ton.
Desain industri gula nasional selayaknya berorientasi untuk memproduksi gula konsumsi dan gula rafinasi.
Ketiga, berkaitan dengan desain industri gula tadi adalah pengaturan tata niaga gula. Kementerian perdagangan dan perindustrian harus tegas dalam mengatur impor gula rafinasi serta memperketat pengawasan pendistribusiannya. Melalui peraturan perundang-undangan, pemerintah perlu menata agar selisih harga gula di pasar tidak terlalu tinggi dibanding harga lelang gula petani.
Dengan demikian petani tidak merugi, masyarakat tidak mendapatkan harga terlalu tinggi, sedangkan pedagang pun tidak mengambil margin keuntungan terlalu besar. Kebijakan jangka pendek dua bulan mendatang, pemerintah menyerap gula petani yang diproduksi pabrik gula milik PTPN. Pemerintah juga harus memiliki cadangan gula guna mengendalikan harga gula di pasar. Kita tunggu hasilnya