Mengapa perlu Ahok memimpin Pertamina.
Tadinya sistem pengelolaan Migas di Indonesia menerapkan skema bagi hasil atau Production Sharing Cost (PSC) cost recovery. Namun sekarang sudah diganti dengan skema Gross Split. Apa bedanya dengan Cost recovery ? Kalau dianalogikan, Skeman PSC cost recovery seperti pemilik lahan sawah dan orang lain sebagai penggarap. Dalam hal ini, Pemilik lahan sawah adalah pemerintah, sementara penggarap yang diminta menggarap lahan milik pemerintah adalah perusahaan migas atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Sewaktu penggarap menggarap sawah yang diperintahkan pemilik, didapati hasil kotornya adalah 10 karung.
Nah, jika menggunakan skema PSC cost recovery, semua biaya operasi beli bibit, perawatan, usir burung, hitung habis biayanya lima karung, dan sisanya tinggal lima karung. Dari lima karung yang tersisa itu, jika PSC cost recovery ada perjanjian antara pemilik dengan pekerjanya itu 85 persen dari 5 karung milik pemilik sawah, maka KKKS mendapati 15 persen dari 5 karung dari pemilik lahan. Namun faktanya, berpotensi mudah dikorup. Karena bisa saja ada permainan antara Pejabat SKK Migas dengan KKKS ( kontraktor kontrak kerja sama). Kongkalikong soal cost production bisa saja terjadi, agar semakin kecil bagian pemerintah.
Oleh karenannya, pemerintah akhirnya memutuskan mengubah skema PSC menjadi gross split. Di mana, pembagian migas, 57 persen untuk negara dan 43 persen untuk kontraktor, sementara pembagian untuk gas bumi 52 persen ke negara, 48 persen untuk kontraktor. Jadi kalau hasil 10 karung, mau si pekerja sawahnya (KKKS) pakai pupuk apa, bibit seperti apa, pokoknya dari 10 karung hasilnya, ya 5 karung negara, 5 lagi kontraktor dengan catatan semua cost ditanggung sendiri. Mau cost 8 karung pokoknya 5 karung negara, mau cost-nya lebih rendah tiga karung misalnya, tetap negara 5 karung.
Dengan skema gross split ini memungkinkan pemerintah menunjuk Pertamina sebagai wakil pemegang saham pada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang dapat konsesi blok MIGAS. Tidak seperti sebelumnya Pertamina lebih banyak sebagai penonton dan harus bersaing dengan KKKS mendapatkan konsesi blok Migas. Karenanya diperlukan Dirut Pertamina seperti Ahok, yang jujur dan amanah untuk memastikan tidak tunduk dengan konspirasi antara KKKS dan elite politik yang bisa saja mengurangi bagian pemerintah.
Disamping itu, Ada 22 blok migas yang kontraknya yang sebagian besar bakal berakhir tahun 2020. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 15/2015 keberpihakan pemerintah kepada Pertamina itu menjadi prioritas untu mengelola Kontrak yang sudah berakhir. Namun dalam peraturan itu tidak secara tegas menyatakan hak prioritas Pertamina untuk mendapatkan blok migas yang kontraknya akan berakhir. Artinya bisa saja dialihkan ke pihak KKKS lainnya. Karenanya Pertamina butuh orang seperti Ahok yang sudah terbukti kinerjanya. Agar hak itu tidak jatuh ke pihak swasta. Misal, Surya Energy ( milik SP) sudah mengajukan proposal untuk mengelola blok migas yang akan berakhir masa kontraknya.
Kalau Ahok jadi ditempatkan sebagai Dirut Pertamina, maka itu lebih karena Jokowi percaya kepada Ahok, dan sangat paham tentang Ahok. Jokowi tentu yakin bahwa Ahok bisa mengawal kepentingan negara di Pertamina dari segala tekanan politik yang ingin menguntungkan oligarki bisnis rente, dan sekaligus melakukan restrukturisasi bisnis agar Pertamina bukan hanya sebagai produsen dan distributor tetapi juga sebagai trader oil and gas berkelas dunia.
Erizeli Jely Bandaro
Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone
__._,_.___
Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar