Penyadapan KPK dalam Putusan MK
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menetapkan beberapa aturan main penyadapan KPK.
Setidaknya revisi UU KPK mengatur poin-poin penting, yaitu: pertama, pejabat yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan adalah penyelidik dan penyidik KPK.
Kedua, otoritas yang diberikan kewenangan memberikan izin penyadapan, yaitu: Dewan Pengawas. Dewan Pengawas ini adalah organ KPK yang berjumlah 5 orang terdiri atas ketua dan anggota. Ketua dan anggota Dewan Pengawas diangkat dan ditetapkan oleh Presiden di mana untuk merekrutnya Presiden membentuk panitia seleksi yang meliputi unsur pemerintah pusat dan unsure masyarakat.
Ketiga,tujuan penyadapan diharuskan dalam rangka tugas penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang menjadi ranah KPK. Penyadapan KPK tentunya untuk tujuan dan kepentingan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1 milyar.
Keempat, pemberian izin diatur tegas harus diberikan paling lama 1 X 24 jam sejak permintaan diajukan. Selain itu, jangka waktu pelaksanaan penyadapan dibatasi paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu yang sama.
Kelima, pejabat yang diberikan kewenangan menyadap diharuskan melapor penyadapan yang dilakukan kepada pimpinan KPK secara berkala dan setelah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lama 14 hari sejak penyadapan selesai dilaksanakan.
Keenam, hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberatasankorupsi.
Ketujuh, sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU KPK diubah.
Apakah aturan main penyadapan dalam revisi UU KPK sudah tepat? Menurut saya, pertanyaan tersebut dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, apakah aturan main penyadapan KPK harus diatur dalam UU ataukah cukup diatur dalam PP, Peraturan Menteri atau hanya SOP yang bersifat rahasia? Kedua, apakah materi muatan aturan main penyadapan KPK secara prinsip sudah tepat atau konstitusional?
Pertanyaan pertama diatas tidak dijawab agak detail argumentasinya karena isu ini menurut saya sudah pernah diperdebatkan, bahkan Mahkamah Konstitusi sudah pernah memutus antara lain dalam perkara yang diajukan oleh Anggara, almarhum Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi, yang meminta agar MK mencabut Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 tentang ITE yang menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Argumen para advokat dan aktivis HAM ini bahwa tata cara penyadapan tidak seharusnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) melainkan harus diatur melalui UU. Pembatasan HAM hanya dapat dilakukan menggunakan formula UU. Ketidak jelasan pengaturan akan berpotensi pada penyalahgunaan yang berdampak pada pelanggaran HAM para Pemohon maupun masyarakat pada umumnya.
Terhadap permohonan tersebut dengan suara bulat MK yang dipimpin Moh. Mahfud MD membenarkan argumen para Pemohon. MK membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE.
Saya copikan pertimbangan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 yaitu;
"Mahkamah berpendapat bahwasanya penyadapan memang merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), namun pembatasan atas rights of privacy ini hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
Bahwa Mahkamah memang menemukan sejumlah Undang-Undang yang telah memberikan kewenangan dan mengatur tentang penyadapan, namun pengaturan tersebut masih belum memberikan tata cara yang lebih jelas mengenai penyadapan. Misalnya tentang prosedur pemberian izin, batas kewenangan penyadapan, dan yang berhak untuk melakukan penyadapan. Hal ini masih belum diatur secara jelas dalam beberapa Undang-Undang;
Bahwa keberlakuan penyadapan sebagai salah satu kewenangan penyelidikan dan penyidikan telah membantu banyak proses hukum yang memudahkan para aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Namun demikian, kewenangan aparat penegak hukum tersebut tetap harus dibatasi juga agar penyalahgunaan kewenangan tidak terjadi;
Bahwa meskipun para Pemohon menyatakan penyimpangan penyadapan terkadang tidak pernah terjadi, namun untuk memastikan keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu sendiri, Mahkamah berpendapat bahwa tata cara penyadapan tetap harus diatur Undang-Undang."
Adapun terhadap pertanyaan kedua, saya hanya menyampaikan isi pertimbangan putusan-putusan MK sejak era MK generasi pertama yang dipimpin Jimly Asshiddiqie terhadap pengujian norma penyadapan KPK yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK sebagai berikut ini.
Dalam putusan yang dimohonkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pertama kalinya MK menegaskan bahwa kewenangan penyadapan KPK adalah konstitusional. Penyadapan oleh KPK sebagai pembatasan HAM yang diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.
Namun pengadilan hukum tata negara ini memberikan catatan penting:
"untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud" (Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tanggal 30 Maret 2004)
Pada saat Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK kembali diuji oleh Mulyana W. Kusumah dkk MK menolak untuk membatalkan pasal ini. Kembali MK memberi catatan untuk mengingatkan dan merumuskan bagaimana aturan main penyadapan KPK yang seharusnya diatur dalam UU guna menghindari penyalahgunaan wewenang sebagai beriku:
"Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup." (Putusan Nomor
012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006)
Selain itu MK menegaskan juga aturan main penyadapan di beberapa Negara saat pengujian UU ITE sebagai berikut:
"Mahkamah sependapat dengan keterangan ad informandum Ifdhal Kasim dan Mohammad Fajrul Falaakh. Adapun pokok-pokok keterangan Ifdhal Kasim menyatakan mekanisme penyadapan di berbagai negara di dunia dilakukan dengan syarat (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Adapun pokok-pokok keterangan Mohammad Fajrul Falaakh menyatakan Undang-Undang mengenai penyadapan seharusnya mengatur dengan jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, (iv) adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan." (Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011)
Akhirnya, secara prinsip revisi UU KPK mengenai penyadapan sudah on the right track. Tinggal kita mengkritisi bersama satu persatu pasal yang mengatur penyadapan dalam revisi UU KPK, apakah sudah tepat ataukah kurang sempurna?
Saya rasa MK adalah forum yang tepat untuk menguji satu persatu pasal revisi UU KPK.
Tulisan ini sekaligus sebagai jawaban saya atas diskusi sebelumnya yang belum tuntas.
Salam hormat,
Miftakhul Huda
Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone