Buletin Jurnal Hukum http://jurnalh.blogspot.com/2013/04/kasus-susno-bupati-kepulauan-aru-polisi.html Kasus Susno & Bupati Kepulauan Aru: Polisi Pelindung Penjahat/Koruptor ???
Membaca harian Kompas dan beberapa media massa lainnya, kamis 25 April 2013, lagi2 masyarakat disuguhi tontonan akrobat hukum. Dimana inti beritanya adalah, eksekusi untuk terhadap Komisaris Jendral Polisi (Purn) Susno Duadji yang divonis 3 tahun 6 bulan penjara berlangsung dramastis karena Susno menolak putusan itu.
Susno dikawal oleh sekitar 20 anggota Birigade Hizbullah, organisasi satgas dari PBB (Partai Bulan Bintang), yang menyatakan bahwa mereka mendapat perintah dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PBB untuk memberikan pengamanan kepada Susno.
Susno dkk meminta perlindungan polisi sebelum dieksekusi kejaksaan. Susno akhirnya dikawal mobil patroli dan 60 polisi dari Polda Jawa Barat. Hal inilah yang menjadi puncak drama eksekusi yang dilakukan oleh tim gabungan kejaksaan.
Yusril Ihza Mahendra yang datang kerumah Susno mengatakan bahwa bahwa Susno sudah minta perlindungan pada polisi, itu hak setiap warga negara. Maka Dia (Yusril) menyerahkan pengamanan Susno pada Kepolisian. "DIa harus dilindungi dari kesewenang2an yang merampas kemerdekaan orang" ujar Yusril ketua DPP PBB, partai tempat Susno berkiprah (Susno anggota PBB).
Pengacara Susno menyatakan dalam proses eksekusi itu, pengawal Susno bisa mengambil keputusan menembak ditempat jika kliennya (Susno) terdesak karena tidak bersedia dieksekusi. Artinya polisi berhak menembak jaksa yang akan menangkap Susno. "Izin menembak itu sesuai prosedur. Jika yang dikawal merasa terdesak dan terancam, sang pengawal berhak menembak, ujarnya.
Menurut Akil Mochtar, ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Perlindungan hukum bagi terpidana yang akan dieksekusi itu sebenarnya tidak ada. Eksekusi untuk memasukkan terpidana kedalam penjara untuk menjalani hukuman seharusnya tetap dilaksanakan. Menurut Akil, eksekusi yang disiarkan langsung stasiun televisi itu mempertontonkan akrobat hukum, bagaimana penegak hukum (polisi) itu sendiri yang mempermainkan hukum. Besok, kalau anda mau ditangkap polisi mintalah perlindungan ke polisi (Polda Jawa Barat) ya, ujarnya. Mantan ketua MK, Mahfud MD menyebut proses eksekusi Susno menunjukkan kekacauan di bidang hukum dan aparat penegak hukum.
Susno dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam 2 kasus, yaitu PT Salmah Arowana Lestari Rp. 500 milyar & kasus dana pengamanan pilkada Jabar Rp. 8 milyar saat menjabat Kapolda Jabar. Pengadilan menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara. Susno tak mau terima, maka Susno mengajukan banding dan kemudian mengajukan kasasi yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam banding dan kasasi itu, Susno sempat mempermasalahkan salah kutip atau salah ketik, tapi oleh pengadilan tinggi dinyatakan bahwa hal itu tidak substansial dan tidak mengubah substansi.
Dalam hal lain Susno mempersoalkan bahwa dalam putusan MA tidak dicantumkan pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) terkait perintah supaya terdakwa ditahan atau tidak ditahan atau dibebaskan oleh MA mengacu pasal 197 ayat 2 KUHP.
Sehingga dengan alasan tidak ada perintah dari MA untuk menahan itu, Susno menganggap putusan batal demi hukum. Tapi Susno tampaknya sengaja melupakan atau sengaja tidak mau tahu, bahwa dengan keputusan MA yang menolak kasasinya, maka otomatis berdasar aturan hukum bahwa putusan MA itu menguatkan keputusan pengadilan dibawahnya yang menghukum dia penjara 3,5 tahun. Tentu saja logika Susno itu dirasakan aneh jika ada orang sudah mendapatkan vonis 3,5 tahun penjara, tapi menolak dihukum atau dimasukkan penjara, dengan alasan bahwa MA tidak menyebutkan lagi bahwa hukuman penjara adalah hukuman dimasukkan dalam penjara. Karena sebetulnya pasal 197 KUHAP itu mengatur untuk perkara hukuman jika putusan yang dijatuhkan MA berbeda dengan keputusan pengadilan ditingkat dibawahnya. Apalagi Susno seolah lupa bahwa pasal 197 ayat 2 KUHP itu telah dibatalkan (dicabut) oleh MK, sehingga sudah tidak berlaku lagi.
Apapun argumentasinya, yang jelas dalam hal ini telah terjadi akrobat hukum, dimana aparat hukum dalam hal ini polisi telah bertindak sebagai pengawal dari terpidana yang sudah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga muncul cemoohan, bahwa jika anda mau dihukum, bisa saja minta bantuan pengawalan preman atau gerombolan, dan bisa juga minta bantuan polisi agar tidak bisa dieksekusi atau agar tidak perlu menjalani hukuman.
Seperti biasa lembaga kepolisian berkilah, sebagaimana pernyataan Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Polisi Suhardi Alius, tentang adanya pengawalan dari polisi pada Susno, bahwa tidak ada yang memberi perintah seperti itu. Menurut Suhardi, keberadaan polisi dalam proses eksekusi dirumah Susno itu untuk menjaga keamanan dilokasi. "Proses eksekusi Susno adalah wewenang jaksa eksekutor, tidak ada sangkut pautnya dengan Polri', katanya.
Pernyataan Polri ini tentunya berbeda dengan kenyataan, bahwa karena kehadiran polisi dan malah mengawal Susno untuk meninggalkan rumahnya agar terhindar dari usaha jaksa untuk menangkapnya itu malah membuat jaksa tidak bisa menangkapnya. karena secara langsung, polisi menghalangi jaksa untuk menangkap Susno untuk memasukkannya dalam penjara.
Ini terlihat dari keterangan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Setia Untung Arimuladi, yang menyatakan bahwa hingga malam (Rabu, 24 April 2013), negoisasi untuk boleh tidaknya menangkap Susno, atau mengambil susno dari perlindungan polisi masih berlangsung. Kejaksaan akan tetap berupaya mengeksekusi Susno. Dari hal ini, tentunya bisa diambil kesimpulan bahwa kejaksaan akan sulit mengeksekusi Susno dan memasukkannya dalam penjara untuk menjalani hukuman sebagaimana hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Kaus seperti kasus Susno ini juga pernah terjadi beberapa bulan yang lalu, dimana polisi menghalangi jaksa yang akan menangkap & mengeksekusi Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko. Dimana saat itu di bandara Sukarno-Hatta Jakarta, Teddy Tengko akan ditangkap kejaksaan untuk dimasukkan ke penjara karena telah mendapat vonis dari MA dalam kasus korupsi, ternyata Kejaksaan dihalang2i oleh puluhan preman, bahkan dalam berita media massa dinyatakan ada indikasi bahwa diantara puluhan preman/ bodyguard itu ada oknum polisi yang berkaian preman tidak berseragam).
Seperti biasa Yusril Ihza Mahendra yang berperan sebagai pengacara Teddy, yang hadir diantara para preman itu, juga keberatan kliennya ditangkap. Dan menganggap penangkapan adalah perbuatan sewenang2. Lalu muncullah pasukan polisi dari Polres Bandara, bukannya mau membantu jaksa menangkap terpidana/ penjahat yang sudah mendapat vonis hakim, tapi dengan alasan mengamankan lokasi malah menghalangi jaksa untuk menangkap terpidana, dengan alasan untuk menghindari bentrokan antara puluhan preman dengan aparat hukum yang akan menangkap terpidana.
Akhirnya dilakukan negoisasi di kantor Polres Bandara, dan sudah bisa diduga, akhirnya para preman (dan diindikasi atas persetujuan dari Polres Bandara), berhasil membawa kabur terpidana untuk dilarikan memakai pesawat kabur ke kepulauan Aru. Dan polisi berkilah bahwa tugas mereka hanya mengamankan lokasi agar tidak ada bentrok antara aparat hukum dengan para preman. Tapi secara realita dalam hal ini polisi tampak berperan sebagai pelindung terpidana dengan menghalangi aparat hukum, dan membiarkan para preman/ bodyguard membawa kabur seorang penjahat.
Apalagi sampai saat ini sang bupati Teddy Tengko tidak berhasil ditangkap lagi, dan bahkan masih secara terang2an menjalankan pemerintahan disana sebagai Bupati. Dan rumah bupati selain dijaga para preman/ bodyguard, juga mendapat pengamanan dari Polres setempat. Hal ini terbukti sampai sekarang aparat hukum tidak mampu menangkapnya, karena ketatnya pengawalan yang dinikmati oleh sang Bupati. Dan Menteri Dalam Negeri tetap tidak memecat sang bupati yang telah mendapat vonis hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan karena kasus korupsi tersebut. Meskpun UU mengharuskan bahwa kepala daerah yang sudah mendapat vonis dengan kekuatan hukum yang tetap harus diberhentikan dari jabatannya
Akibatnya saat ini, masyarakat yang ingin hukum ditegakkan malah mendapat teror dari sang bupati yang mendapat bantuan dari preman dan kepolisian. JIka hal ini diterus2kan bisa mengakibatkan pertumpahan darah disana. Bisa terjadi gesekan antara bupati yang dibantu pasukan preman & polisi, melawan masyarakat.
Dari kedua contoh kasus ini, apakah memang pemerintah mengharapkan terjadi pertumpahan darah, atau perang saudara??? Dimanakah Presiden. dimanakah Menkopolhutkam, dimanakah Kapolri, dimanakah para menteri & pejabat terkait, dimana DPR dll.. apakah mereka semua gentar ??? Lalu tidak berbuat apa2, yang penting terima gaji, fasilitas & penghasilan karena jabatannya. Persoalan negara dibiarkan carut marut??? Yang penting bisa menghindar dari tanggung jawab dengan berbagai argumentasi alias tanggung-menjawab.
Maka menarik sekali apa yang dikatakan Ketua MK, Akil Mochtar, Lain kali jika anda akan ditangkap oleh aparat hukum, mintalah perlindungan pada polisi yaaa.... Maka saran kami pada para penjahat mulai koruptor kakap sampai penjahat kelas teri, jika anda akan dimasukkan penjara mintalah perlindungan pada polisi agar tidak jadi ditangkap & tidak bisa dimasukkan ke penjara.
Jika anda semua, para penjahat, mau ditangkap, bisa membayar preman, maka bayarlah preman sebagai bodyguard untuk menghalangi aparat hukum yang mau menangkap anda. Jika tidak sanggup bayar preman, persenjatailah diri anda untuk melawan aparat hukum dan mintalah bantuan perlindungan/ pengawalan dari polisi.
Forum Diskusi Mahasiswa Tentang Kajian Hukum, Masyarakat & Keadilan
|