https://news.detik.com/kolom/d-4529237/pemilu-borongan-khas-indonesia-1?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.218255902.661776258.1556562193-1554499250.1556562193
Senin 29 April 2019, 14:38 WIB
Kolom
Pemilu Borongan Khas Indonesia (1)
Didik Supriyanto - detikNews
Foto: Sugeng Harianto Jakarta - Sedih dan prihatin membaca berita 145 petugas pemilu meninggal dunia dan 500 lainnya masuk rumah sakit karena kelelahan. Hanya di negeri ini terdapat banyak korban pemilu, bukan oleh konflik kekerasan, melainkan oleh sistem dan manajemen.
Saya jadi ingat bagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan: pertama, pemisahan pemilu presiden dari pemilu legislatif melanggar konstitusi; kedua, pemilu presiden dan pemilu legislatif diserentakkan penyelenggaraannya pada Pemilu 2019. Perintah itu tertuang dalam Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 24 Januari 2014.
Sebagaimana kita ketahui, penggugat perkara tersebut adalah Effendi Gazali, ahli komunikasi politik yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dalam berkas gugatan Effendi menyebut pekerjaannya: seniman/aktivis.
Dia menggugat UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, khususnya Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112. Menurut dia, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 22 E ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945.
Beberapa pekan sebelum mengajukan berkas gugatan ke MK, Effendi menghubungi saya. Dia minta saya menjadi ahli dalam persidangan untuk memperkuat gugatannya.
Awalnya saya keberatan, sebab saya menolak gagasan menyatukan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Saya memilih format pemilu (serentak) nasional dan pemilu (serentak) daerah. Sejak 2006, saya sebagai Ketua Perludem, bersama Prof Ramlan Surbakti (FISIP Unair), Prof Syamsudin Haris (LIPI), dan Pipit Kartawijaya (KIPP Jerman) secara terbuka mengkampanyekan model penggabungan pemilu seperti itu.
Pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Pemilih mendapatkan tiga jenis surat suara saat masuk bilik suara. Sedangkan pemilu daerah untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, anggota DPRD provinsi, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, serta anggota DPRD kabupaten/kota. Pemilih mendapatkan empat surat suara saat masuk bilik suara.
Namun Effendi terus meyakinkan arti penting kehadiran saya sebagai ahli dalam sidang di MK nanti. Katanya, dia menggunakan tulisan saya
Pemilu Serentak Yang Mana? di
rumahpemilu.org sebagai salah satu referensi pengajuan gugatan. "Wah, kalau Mas Didik tidak mau hadir, langsung gugur deh gugatan saya," kata Effendi bercanda membesar-besarkan diri saya. Ya, namanya juga sedang melakukan bujuk rayu.
Saya mengatakan, bahwa jika gugatan Anda dikabulkan sehingga pemilu presiden dan pemilu legislatif dilakukan secara serentak, maka banyak implikasi politik dan teknis.
Secara politik, pemilu seperti itu tidak dapat mendewasakan partai politik karena partai hanya dinilai rakyat dalam kurun lima tahun sekali. Terlalu lama, padahal kita bangsa pelupa. Secara teknis, penggabungan pemilu presiden dan legislatif, volumenya demikian besar, sehingga tidak hanya menyulitkan pemilih dalam memilih calon, tetapi juga memberi beban pekerjaan luar biasa kepada penyelenggara.
Tapi di situlah kecerdikan Effendi muncul. "Justru itu, Mas. Kalau Mas Didik memberi keterangan ahli kan bisa menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya pemilu dipisah menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Mas Didik dkk sudah lama kampanye itu, tapi pembuat undang-undang tidak mau mengerti. Maka jalan MK harus ditempuh."
Menurut Effendi, pemilu nasional dan pemilu daerah adalah pilihan paling ideal. Namun jika pilihan itu tidak segera bisa terwujud, setidaknya penyerentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif akan dapat mengatasi pemerintahan terbelah di tingkat nasional. "Ya, bertahaplah. Kita urus tingkat nasional dulu, baru nanti ke daerah," tegasnya.
Demikianlah, saya mulai melunak, meski tetap khawatir. Saya tak yakin MK akan mempertimbangkan keterangan saya. Berdasarkan pengalaman pribadi dan kolega, hakim MK lebih memperhatikan keterangan ahli-ahli Hukum Tata Negara daripada ahli-ahli politik dan pemilu. Mereka cenderung mengabaikan teori-teori politik, formula-formula teknis pemilu, juga temuan-temuan baru dari para peneliti pemilu.
Namun toh, secercah harapan yang diembuskan Effendi Gazali tidak boleh dilewatkan. Apalagi Effendi kemudian mengeluarkan jurus mautnya, "Kalau bukan Mas Didik, siapa lagi yang bisa menjelaskan pentingnya pemilu nasional dan pemilu lokal di hadapan MK? Kan Mas Didik yang sudah banyak menulis soal itu."
Demikianlah akhirnya saya menyatakan bersedia memenuhi permintaan Effendi Gazali untuk memberi keterangan ahli dalam sidang MK atas gugatan yang diajukannya. Selain saya tampil Irman Putra Sidin, Hamdi Muluk, dan keterangan tertulis Saldi Isra.
Sidang perkara ini sebetulnya berlangsung singkat. Karena hanya menampilkan tiga ahli tersebut, pihak pemerintah dan DPR selalu pembuat undang-undang. Meski demikian, prosesnya memakan waktu satu tahun. Effendi Gazali mengajukan berkas gugatan pada 10 Januari 2013, dan MK mengeluarkan putusan pada 23 Januari 2014.
Dan benar saja, kekhawatiran saya jadi kenyataan. MK menyatakan pemisahan pemilu presiden dari pemilu legislatif melanggar konstitusi, sehingga kedua jenis pemilu tersebut harus diserentakkan penyelenggaraannya pada Pemilu 2019. Adapun pada Pemilu 2014 tetap diselenggarakan terpisah, karena proses pemilu sudah berjalan.
Membaca putusan tersebut, terbayanglah bagaimana kerumitan penyelenggaraan Pemilu 2019 nanti. "Ini pemilu borongan namanya," kata Prof Ramlan Surbakti. Seperti halnya pekerjaan borongan, proses dan hasilnya pasti kurang bagus. Pekerja sering jadi korban karena harus bekerja siang malam, dibatasi waktu dan dikejar-kejar mandor.
Didik Supriyanto peminat ilmu kepemiluan (mmu/mmu)