Kamis, 23 Januari 2014

[Media_Nusantara] Keputusan Misterius MK, Pemilu 2014 INKONSTITUSIONAL

 

Keputusan Misterius MK, Pemilu 2014 INKONSTITUSIONAL

by  Yusril Ihza Mahendra

Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional

Kali ini MK lagi2 bikin putusan blunder. Disatu pihak nyatakan bbrp pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 45. Setelah itu menyatakan bhw pasal2 tsb tidak mempunyai kekuatan hukum yg mengikat. Tetapi menyatakan pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya

Padahal MK tahu putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan dlm sidang yg terbuka utk umum. Kl ptsn itu berlaku seketika, namun baru belaku di Pemilu 2019 dst, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dg pasal2 UU Pemilu yg inkonstitusional

MK tahu bahwa melaksnakan Pemilu dg pasal2 UU yg inkonstitusional, hasilnya juga inkonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pilig dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional. Tapi MK menutupi inkonstitusionalitas putusannya itu dengan merujuk putusan2 senada yg diambil MK sebelumnya. Dengan merujuk pd putusan yg nyata2 salah itu, MK dlm pertimbanan hkmnya, nyatakan Pileg dan Pilpres 2014 adalah sah. Meskipun dilaksanakan dg pasal2 UU Pilpres yg sdh dinyatakan bertentangan dg UUD 45 dan telah dinyatakan tdk punya kekuatan hkm mengikat

Saya justru mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu adalah "negarawan yg memahami konstitusi" spt dikatakan oleh UUD 45? Jawaban saya "entahlah". Kenyataannya seperti itulah MK. Bayangkan ada putusan yg telah diambil setahun lalu, baru dibacakan hari ini. Sementara 3 hakimnya sudah berganti. Pembacaan putusan spt itu aneh bin ajaib. Harusnya MK sekarang musyawarah lagi, siapa tahu 3 hakim baru pendapatnya beda

Dulu ada Mahfud, Akil dan Ahmad Sodiki yg mutus, sekarang sdh tdk jadi hakim MK lagi. Sdh ada Hidayat dan Patrialis penggantinya. MK nampak seperti dipaksa2 untuk baca putusan permohonan Efendi Ghazali dkk yg dampak putusannya tdk seluas permohonan saya. Dengan dibacakan putusan EG dkk, maka permohonan saya seolah kehilangan relevansi untuk disidangkan. Inilah hal2 misterius dalam putusan MK hari ini yang tetap menjadi tanda tanya yg tak kunjung terjawab sampai malam ini. Sekian..

Pasca Putusan MK, Akan Terjadi Kevakuman Hukum

Saya telah membaca dengan seksama putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji UU Pilpres yang dimohon oleh Effendi Ghazali dkk. Intinya seluruh pasal UU Pilpres yang dimohon uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum mengikat.

MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014. Meski pasal-pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengingat, namun pasal-pasal tersebut tetap sah digunakan untuk Pemilu 2014. MK juga mengatakan bahwa dengan putusan ini, maka perlu perubahan UU Pileg maupun Pilpres untuk dilaksanakan tahun 2019 dan seterusnya. Itu disebabkan Efendi Ghazali dkk., tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum.

Dalam permohonan saya, saya menunjukkan jalan keluar itu. Saya minta MK menafsirkan secara langsung maksud pasal 6A ayat (2) dan Ps 22E UUD 1945.

Kalau MK tafsirkan maksud pasal 6A ayat (2) parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakanya. Kalau MK tafsirkan pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekalidalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubahUU untuk melaksanakannya. Maka penyatuan Pileg dan Pilpres dapat dilaksakan tahun 2014 ini juga. Namun apa boleh buat MK sudah ambil keputusan rupanya sejak setahun lalu, namun baru hari ini putusannya dibacakan. Banyak orang mencurigai saya mengapa baru sekarang ajukan uji UU Pilpres dengan sejuta purbasangka. Seolah karena kini Hamdan yang jadi Ketua MK, maka Hamdan akan bantu saya.

Mengapa tidak mencurigai Akil sebagai eks Golkar yang menahan-nahan pembacaan putusan permohonan Efendi Ghazali hampir setahun lamanya?

Mengapa putusan itu baru dibaca sekarang ketika Pemilu 2014 sudah dekat?

Atas dasar itu dinyatakanlah putusan baru berlaku untuk Pemilu 2019.

Kalau permohonan saya dengan Efendi banyak kesamaannya, mengapa MK tak satukan saja pembacaan putusan, agar 2 permohonan sama-sama jadi pertimbangan?

Bagi saya banyak misteri dengan putusan MK ini. MK seolah ditekan oleh parpol-parpol besar agar pemilu serentak baru dilaksanakan tahun 2019. Kini saya sedang pertimbangkan, apakah saya akan meneruskan permohonan saya atau tidak. Saya akan ambil keputusan setelah menimbang-nimbangnya dengan seksama.

Demikian tanggapan resmi saya atas putusan MK hari ini. Terima kasih

Note :
Simak Bagan kalau MK menyetujui gugatan yusril, jadi kapan akan diadakan pilkada pilpres?

   





__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

1 komentar:

  1. Membandingkan Petitum Yusril dan Effendi Gazali

    PETITUM
    Perkara Nomor 14/PUU-XI/2013

    PEMOHON
    Effendi Gazali

    PRIHAL

    Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112] Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Bahwa yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan hal-al sebagai berikut.

    Mengabulkan permohonan Pemohon yang dimohonkan untuk seluruhnya;

    Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, lembaran negara dan seterusnya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mustinya;

    Demikian permohonan pengujian judicial review ini kami sampaikan, apabila Mahkamah Konstitusi pendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).


    PETITUM
    Perkara Nomor 108/PUU-XI/2013

    PEMOHON
    Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra

    PRIHAL

    Permohonan Pengujian norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam keseluruhan isi permohonan ini, maka izinkanlah Pemohon untuk memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk lebih dulu menyatakan bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini, dan memutuskan hal-hal sebagai berikut:

    Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (LN 2008 No 176, TLN 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

    Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka maksud frasa dalam norma Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) yakni pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;

    Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum DPR dan DPRD;

    Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

    Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

    BalasHapus