SBY Bergelimang Tipu Mundurlah! (1)
by Iwan piliang | 25 December 2012
SBY saya maksudkan, Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, terpilih dua kali, menang pemilihan presiden mayoritas mutlak. Kekuasaannya tinggal dua tahun lagi. Mengacu ke judul, tak ada maksud menuding. Sejatinya tajuk ini saya angkat dari fakta, baik saya temui sendiri maupun dari memverifikasi kalimat, pernyataan, tabiat laku-lakon diperbuat.
Di saat awal mendirikan Partai Demokrat, SBY telah mengawalinya dengan laku memanfaatkan sarana negara. Tepatnya kantor Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk mengadakan rapat-rapat pembentukan partai. Setidaknya saya mendengar cerita langsung dari Max Sopacua, mangkal sebagai wartawan TVRI di sana, kini salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Ia acap menyelinap di usai jam kantor membicarakan pendirian Partai Demokrat di fasilitas negara itu. Hal ini juga pernah diceritakan Kurdi Mustofa, salah satu Deputi di Menkopolhukam kala itu, kini Ketua Persaudaran Haji Indonesia.
Di ranah manapun segala sesuatu dimulai dengan memanfaatkan segala sesuatu tidak pada porsinya mengalirkan ketidak-baikan. Tidak maslahat. Ini sabda alam saja adanya.
Dalam perkembangan perjalan politik SBY, sebutlah di saat kampanye presiden. Di depan Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi, dari obrolan ringan dengan mantan salah satu Ketua KPK, saya mendapatkan konfirmasi bahwa: KPK pernah menanyakan sumber-sumber dana kampanye SBY. Untuk beberapa sumber dana besar, SBY selalu menyebut, "Tulis saja dari Hamba Allah." Giliran dicecar lagi, "Tulis dari Hamba Allah Satu, Dua dan seterusnya."
Bila puncak kekusaan negara demikian, apatah pula di bawahnya?
Di perkembangan saya di medio hingga penghujung tahun ini terlibat menyusun buku panduan pengawasan Pemilu dengan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) untuk Organisasi Masyarakat dan Jurnalis, juga ikut mensosialisasikan ke-4 kota; maka saya pun menemui fakta, bahwa pada 2009 lalu, Bawaslu pernah melaporkan sumber dana kampanye SBY lumayan besar melebihi ketentuan Undang-Undang di Bank BTPN. Apa lacur? Bawaslu melaporkan ke polisi, pihak kepolisan kala itu jangankan memproses, menerima saja tidak. Apakah karena polisi langsung berada di bawah presiden? Bisa jadi 2009 jabatan kedua SBY.
Jauh sebelumnya, di masa awal menjagokan diri menjadi Presiden, SBY pernah meminta ke rakyat, berilah dia kesempatan menjadi presiden sekali saja. Ia pun menyebut nama Tuhan, demi Tuhan hanya untuk sekali saja. Kenyataannya Tuhan pun sudah ditipu SBY. Dan kepada rakyat banyak ia katakan tidak akan berdekat-dekat dengan konglomerat hitam, nyatanya kini bukan dekat lagi tetapi lengket.
Bila diteruskan kalimat ini, mengalirkan panjang tipu-tipu. Pada kasus korupsi Nazaruddin, di mana saya sempat melakukan Skype ketika dia melarikan diri, yang dianggap publik fenomenon itu. SBY ke publik mengaku tidak paham apa terjadi. Tumpahan kesahalan seakan SBY tujukan ke pengurus partai. Padahal secara faktual, kasus uang suap, dan uang dolar dalam amplop ditemukan di Kongres Partai Demokrat di Bandung yang memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum, nyata diketahui oleh SBY. Atas pengetahuannya itu, maka SBY menyusun kabinat Partai Demokrat dengan cara-cara akomodatif. Dan indikasi uang yang mengalir ke Kongres Partai Demopkrat itu, sudah terang benderang berasal antara lain dari proyek Hambalang, sebagai mana sudah berkali-kali dituturkan Nazaruddin.
Mencloknya dua orang mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Anas Urbaningrum dan belakangan Andi Nurpati ke Partai Demokrat, memperkuat dugaan permainan teknologi informasi KPU. Indikasi penggelembungan angka kemenangan SBY, seakan bukan basa-basi, ditambah fakta adanya peristiwa lampu mati di saat perhitungan suara di Hotel Borobudur, angka-angka kemenangan kemudian signifikan. Perihal ini sempat hendak diangkat mantan ketua KPK Antasari Azhar, tetapi ia bernasib diprodeo.
Century, juga sebuah kebijakan yang dihindari diakuai diketahui oleh SBY. Beragam fakta mengungkap termasuk dokumen yang dimiliki Misbakhun, mengatakan SBY sangat tahu akan kebijakan pengambilan langkah bailout ini. Dan karena langkah mengingkari kebenaran itu, sosok ibu-ibu seperti Kirana, yang hanya staf biasa menupang kehidupan keluarganya, karena suami sakit, membesarkan anak dari menjadi karyawan di Century., kini harus mendekam 10 tahun penjara. Begitulah kememimpinan SBY terhadap kaum ibu.
Saya pun secara tak sengaja pernah bertanya dua hari sebelum mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengundurkan diri. Pertanyaan saya padanya: berapa kali selama menjadi menteri diajak rapat empat mata oleh SBY? Di luar dugan saya sama sekali: Suharso menjawab tidak pernah sekalipun ada rapat kordinasi empat mata bersama presiden. Yang ada hanya rapat-rapat kabinet formal di istana negara.
Sebagai mana sebuah opini, kolom yang normal ditulis 500 kata, hingga alinea ini sudah 677 kata. Dan panjang lagi bisa dituliskan akan laku "tipu-tipu" SBY sebagai pribadi terlebih sebagai presiden. Ia acap mengatakan tidak mencampuri urusan hukum. mendukung pemberantasan korupsi, dengan paparan di atas apakah ia bisa menggigit?
Dalam perjalanan saya sebagai citizen journalist, kebetulan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menjalin kerjasama pelatihan menulis dengan Puspen TNI, di mana saya menjadi salah satu pengajar. Dari dialog informal dengan perwira menengah di TNI, dapat informasi di era kinilah intelijen TNI berada di titik terlemah. Sebagai penglima tertinggi TNI, saya menduga hal ini bukan tidak diketahui SBY, tetapi bisa saja disengaja. SBY memberi porsi lebih ke polisi.
Memberi lebih porsi ke polisi itu, dapat dilihat dari kerjasama Densus 88 dengan Amerika Serikat. Program dan anggaran yang overlap dengan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan SBY seakan membiarkan indikasi korupsi tinggi di sana. Lebih dari itu, dari 700 mereka dianggap teroris, setidaknya sepertiga saya ragukan keterorisannya. Mengapa saya berani mengatakan demikian, saya memiliki sumber yang kredibel di dalam BNPT sendiri. Kalau sudah begini, suatu saat akan menjadi api dalam sekam bagaimana indikasi laku SBY sebagai pemimpin melanggar HAM berat.
Entah pola apa yang iya terapkan dalam kepemimpinannya, SBY tidak berpikir bagi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Ia cenderung hanya berpikir untuk ke atas dan di atas. Ia konsen ke ekonomi makro dan kredit consumer, bermain aman dari berbagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dominan dari pajak kendaraan bermotor, ekenomi riil melempem. Pola komunikasi Opini Kontra Opini (OKO) terus ia kembangkan, untuk mebangun citra personalnya baik.
Barulah di era kepemimpinan SBY, saya mendengar negara ini mengimpor Singkong. Sehingga di media sosial saya katakan SBY sejatinya sudah dilaknat pohon singkong se Indonesia.
Tulisan ini akan bersambung ke bagian dua. Namun sebagai penutup saya sebagai pribadi, Narliswandi Piliang, ingin mengetuk lubuk hati SBY paling dalam, agar mundur saja sebagai presiden. Sehingga beragam niat baik dan program kebaikan untuk bangsa ini dapat berjalan, tidak tersandera, pemberantasan korupsi utamanya.
SBY Bergelimang Tipu Mundurlah (2)
Bagian pertama tulisan ini, telah mendapatkan tanggapan meriah di media sosial. Bambang Walujo Wahab, di twitter mengatakan secara terbuka, ia bisa menambahkan lebih banyak lagi urusan tipu itu. Beberapa kawan lantas memintanya menuliskan, tapi hingga bagian dua ini saya tulis belum terlihat jua.
Mohammad Hasin Adi, di Kompasiana, menyarankan melakukan konperensi pers terhadap premis saya tulis. Ia katakan, “Siapa tahu Bapak Iwan bisa jadi pahlawan. Dan mudah-mudahan tidak jadi pecundang. â€Bagi saya menulis bukan untuk menjadi pahlawan. Bukan pula untuk mencetak uang. Tetapi saya konsisten taat kaedah kepada ilmu yang diajarkan dosen saya di fakultas komunikasi. Komunikasi menyampaikan pesan, landasannya akal, budi, hati nurani. Kalau keberpihakannya, Bill Kovach dan Tom Rosentiel di buku The Element of Journalism secara nyata dan jernih menuliskan: hanya kebenaran untuk warga, lain tidak.
Ada juga tentu pembelaan kepada SBY. “SBY dan Boediono mempermudah perinjinan impor alat tanam padi saya yang di persulit oleh birokrat kementrian perdagangan. Maka di mata saya beliau berdua adalah pemimpin yg baik dan hanya dirusak wibawanya oleh birokrat busuk, DPR busuk dan LSM busuk, semoga kalian semua terbakar di neraka karena mempersulit dan membohongi rakyat kecil, merongrong kekuasaan dan wibawa pemerintah yang sah terpilih oleh rakyat,†tulis Cucun Wijaya, masih di Kompasiana.
Begitulah dinamika di media sosial. Setiap orang dapat merespon secara interaktif setiap info kita tuliskan. Poin utama saya selalu, perihal ini akan meningkatkan mutu peradaban jika semua pihak terlibat di proses tanggap menanggap, tulis menulis, identitasnya jelas, batang hidungnya nyata, sehingga komentar miring pun dapat dipertanggung-jawabkan.
Sebagaimana saya menulis, tentulah tidak asal njeplak. Semua saya paparkan berangkat dari sumber kredibel, verifikasi fakta di media, serta proses perjalanan menjadi jurnalis warga, bisa dibilang tidak singkat dengan volume tulisan dapat di-trace.
Dari semua dinamika itu, setelah dua hari tulisan bagian pertama saya upload, saya menyimak di RCTI bahwa Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, menyampaikan bahwa Boediono, sebagai Wapres, sudah bisa dilengserkan DPR, karena status kasus bail out Bank Century sudah ditingkatkan penyidikannya oleh KPK. Menjadi pertanyaan saya mengapa Samad mendorong DPR, bukankah wewenang KPK acap dikatakan super body? Begitu KPK menetapkan Boediono tersangka, maka seketika itu juga ia harus lengser. Dari kenyataan ini saya melihat tarik ulur, karena secara nyata memelorotkan kekuasaan SBY yang di tulisan 1 memang bergelimang tipu.
Melanjutkan bagian dua ini, ingin saya ingatkan Anda. Ihwal kampanye presiden SBY di televisi pada 2009 lalu. Anda tentu mafhum jingle Indomie. Di antara liriknya, “Dari Sabang sampai Merauke Indomie seleraku.†Lirik asli itu telah dipelesetkan ujungnya menjadi ,â€SBY pilihanku.â€
Sejak jingle pelesetan itu keluar saya tak pernah menyimak ada badan independen atau semacam Komisi Penyiaran menegur langkah itu. Semua seakan diam seribu basa. Bila tak keliru saya seakan bernyanyi sendiri di media sosial mengatakan bahwa Indomie telah melakukan pelanggran etika nyata. Mengapa? Karena sebuah iklan produk, mulai dari biaya produksinya, pembelian slot iklan media, semuanya mereka bebankan ke total cost produksi produk. Itu artinya konsumen ikut memikul biaya. Sebuah jingle lalu dikenal, dibiayai semua rakyat sebagai pembeli itu produk.
Eh dengan semena-mena produk itu mengalihkan jingle top of mind itu untuk kepentingan seseorang menjadi presiden. Saya sangat percaya di 2009 itu pastilah tidak semua pemakan Indomie pendukung SBY. Namun khalayak semuanya seakan sudah dikooptasi menyanyikan SBY pilihanku.
Di lain sisi perilaku kelompok usaha Salim di era silam melakukan monopoli impor gandum. Kini walaupun dipecah-pecah unit usahanya, tetap saja masih dalam satu atap usaha. Kapitalisasi dari “revolusi†pangan warga ke mie instan telah membuat Indomie menjadi bagian utama pemasukan Salim Grup. Setidaknya hingga Oktober di tahun ini saja untung Indofood sudah mencapai Rp 14 triliun. Dengan kapitalisasi tambun, kelompok usaha ini memang bisa saja menjadikan seseorang presiden RI, apalagi pola politik kini segala-gala harus fulus mulus.
Kembali ke SBY, dukungan seharusnya ia tolak, seperti pelesetan jingle Indomie tidak ber-etik itu, dia nikmati saja. Bahkan dari informasi tim komunikasi SBY kala 2009, SBY menikmati betul. SBY anggap sebagai kampanye signifikan memenangkannya.
Bisa Anda bayangkan sensitifitas seorang kepala negara pilihan demikian?
Maka tidaklah salah bila kemudian sebagai presiden SBY melakukan banyak hal kontradiktif. Sebutlah contoh ia secara terang-gamblang mengkritik keras Foke, Mantan Gubernur DKI di forum rapat resmi gubernur, terbuka ke media. Tetapi ia pula kemudian menjagokan Foke kembali menjadi gubernur DKI.
Beberapa kali dalam pidatonya SBY mengkritik ortang yang tertidur mendengar pidatonya. Bahkan kanak-kanak tertidur pun tak lepas dari tegurannya. SBY telah menghinakan jabatan presiden secara langusung, dengan mengkritik kanak-kanak tertidur mendengar pidatonya, tanpa peduli ia harus instropeksi diri, kepada siapa ia berpidato, di mana, untuk apa, premis apa pas?
Maka dalam fakta dan kenyataan demikian, SBY pun menjadi linglung. Ia memberikan saja grasi bagi tindak kejahatan besar di bidang narkoba. Ia memberi dua grasi atas kejahatan narkoba di tahun ini.
Bila sudah demikian; sudah tak tahu di mana ia berpidato sehingga anak kecilpun harus dikritik dan tak paham narkoba adalah kejahatan amat besar, dan bangsa serta negara ini kini sudah menjadi pasar nerkoba terbesar: SBY memang linglung. Saya tak tahu kata apa yang harus ditujukan kepadanya selain: mundur!
Tulisan ini akan belanjut ke bagian tiga, ihwal indikasi perannya di dalam monopoli pengadaan BBM di unit usaha Pertamina, Petral, bersama Hatta Rajasa. Sementara, ini saya naikkan dulu. Esok sebelum tutup tahun saya publish bagian tiga.
Iwan Piliang , Citizen Reporter
SBY saya maksudkan, Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, terpilih dua kali, menang pemilihan presiden mayoritas mutlak. Kekuasaannya tinggal dua tahun lagi. Mengacu ke judul, tak ada maksud menuding. Sejatinya tajuk ini saya angkat dari fakta, baik saya temui sendiri maupun dari memverifikasi kalimat, pernyataan, tabiat laku-lakon diperbuat.
Di saat awal mendirikan Partai Demokrat, SBY telah mengawalinya dengan laku memanfaatkan sarana negara. Tepatnya kantor Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk mengadakan rapat-rapat pembentukan partai. Setidaknya saya mendengar cerita langsung dari Max Sopacua, mangkal sebagai wartawan TVRI di sana, kini salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Ia acap menyelinap di usai jam kantor membicarakan pendirian Partai Demokrat di fasilitas negara itu. Hal ini juga pernah diceritakan Kurdi Mustofa, salah satu Deputi di Menkopolhukam kala itu, kini Ketua Persaudaran Haji Indonesia.
Di ranah manapun segala sesuatu dimulai dengan memanfaatkan segala sesuatu tidak pada porsinya mengalirkan ketidak-baikan. Tidak maslahat. Ini sabda alam saja adanya.
Dalam perkembangan perjalan politik SBY, sebutlah di saat kampanye presiden. Di depan Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi, dari obrolan ringan dengan mantan salah satu Ketua KPK, saya mendapatkan konfirmasi bahwa: KPK pernah menanyakan sumber-sumber dana kampanye SBY. Untuk beberapa sumber dana besar, SBY selalu menyebut, "Tulis saja dari Hamba Allah." Giliran dicecar lagi, "Tulis dari Hamba Allah Satu, Dua dan seterusnya."
Bila puncak kekusaan negara demikian, apatah pula di bawahnya?
Di perkembangan saya di medio hingga penghujung tahun ini terlibat menyusun buku panduan pengawasan Pemilu dengan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) untuk Organisasi Masyarakat dan Jurnalis, juga ikut mensosialisasikan ke-4 kota; maka saya pun menemui fakta, bahwa pada 2009 lalu, Bawaslu pernah melaporkan sumber dana kampanye SBY lumayan besar melebihi ketentuan Undang-Undang di Bank BTPN. Apa lacur? Bawaslu melaporkan ke polisi, pihak kepolisan kala itu jangankan memproses, menerima saja tidak. Apakah karena polisi langsung berada di bawah presiden? Bisa jadi 2009 jabatan kedua SBY.
Jauh sebelumnya, di masa awal menjagokan diri menjadi Presiden, SBY pernah meminta ke rakyat, berilah dia kesempatan menjadi presiden sekali saja. Ia pun menyebut nama Tuhan, demi Tuhan hanya untuk sekali saja. Kenyataannya Tuhan pun sudah ditipu SBY. Dan kepada rakyat banyak ia katakan tidak akan berdekat-dekat dengan konglomerat hitam, nyatanya kini bukan dekat lagi tetapi lengket.
Bila diteruskan kalimat ini, mengalirkan panjang tipu-tipu. Pada kasus korupsi Nazaruddin, di mana saya sempat melakukan Skype ketika dia melarikan diri, yang dianggap publik fenomenon itu. SBY ke publik mengaku tidak paham apa terjadi. Tumpahan kesahalan seakan SBY tujukan ke pengurus partai. Padahal secara faktual, kasus uang suap, dan uang dolar dalam amplop ditemukan di Kongres Partai Demokrat di Bandung yang memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum, nyata diketahui oleh SBY. Atas pengetahuannya itu, maka SBY menyusun kabinat Partai Demokrat dengan cara-cara akomodatif. Dan indikasi uang yang mengalir ke Kongres Partai Demopkrat itu, sudah terang benderang berasal antara lain dari proyek Hambalang, sebagai mana sudah berkali-kali dituturkan Nazaruddin.
Mencloknya dua orang mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Anas Urbaningrum dan belakangan Andi Nurpati ke Partai Demokrat, memperkuat dugaan permainan teknologi informasi KPU. Indikasi penggelembungan angka kemenangan SBY, seakan bukan basa-basi, ditambah fakta adanya peristiwa lampu mati di saat perhitungan suara di Hotel Borobudur, angka-angka kemenangan kemudian signifikan. Perihal ini sempat hendak diangkat mantan ketua KPK Antasari Azhar, tetapi ia bernasib diprodeo.
Century, juga sebuah kebijakan yang dihindari diakuai diketahui oleh SBY. Beragam fakta mengungkap termasuk dokumen yang dimiliki Misbakhun, mengatakan SBY sangat tahu akan kebijakan pengambilan langkah bailout ini. Dan karena langkah mengingkari kebenaran itu, sosok ibu-ibu seperti Kirana, yang hanya staf biasa menupang kehidupan keluarganya, karena suami sakit, membesarkan anak dari menjadi karyawan di Century., kini harus mendekam 10 tahun penjara. Begitulah kememimpinan SBY terhadap kaum ibu.
Saya pun secara tak sengaja pernah bertanya dua hari sebelum mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengundurkan diri. Pertanyaan saya padanya: berapa kali selama menjadi menteri diajak rapat empat mata oleh SBY? Di luar dugan saya sama sekali: Suharso menjawab tidak pernah sekalipun ada rapat kordinasi empat mata bersama presiden. Yang ada hanya rapat-rapat kabinet formal di istana negara.
Sebagai mana sebuah opini, kolom yang normal ditulis 500 kata, hingga alinea ini sudah 677 kata. Dan panjang lagi bisa dituliskan akan laku "tipu-tipu" SBY sebagai pribadi terlebih sebagai presiden. Ia acap mengatakan tidak mencampuri urusan hukum. mendukung pemberantasan korupsi, dengan paparan di atas apakah ia bisa menggigit?
Dalam perjalanan saya sebagai citizen journalist, kebetulan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menjalin kerjasama pelatihan menulis dengan Puspen TNI, di mana saya menjadi salah satu pengajar. Dari dialog informal dengan perwira menengah di TNI, dapat informasi di era kinilah intelijen TNI berada di titik terlemah. Sebagai penglima tertinggi TNI, saya menduga hal ini bukan tidak diketahui SBY, tetapi bisa saja disengaja. SBY memberi porsi lebih ke polisi.
Memberi lebih porsi ke polisi itu, dapat dilihat dari kerjasama Densus 88 dengan Amerika Serikat. Program dan anggaran yang overlap dengan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan SBY seakan membiarkan indikasi korupsi tinggi di sana. Lebih dari itu, dari 700 mereka dianggap teroris, setidaknya sepertiga saya ragukan keterorisannya. Mengapa saya berani mengatakan demikian, saya memiliki sumber yang kredibel di dalam BNPT sendiri. Kalau sudah begini, suatu saat akan menjadi api dalam sekam bagaimana indikasi laku SBY sebagai pemimpin melanggar HAM berat.
Entah pola apa yang iya terapkan dalam kepemimpinannya, SBY tidak berpikir bagi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Ia cenderung hanya berpikir untuk ke atas dan di atas. Ia konsen ke ekonomi makro dan kredit consumer, bermain aman dari berbagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dominan dari pajak kendaraan bermotor, ekenomi riil melempem. Pola komunikasi Opini Kontra Opini (OKO) terus ia kembangkan, untuk mebangun citra personalnya baik.
Barulah di era kepemimpinan SBY, saya mendengar negara ini mengimpor Singkong. Sehingga di media sosial saya katakan SBY sejatinya sudah dilaknat pohon singkong se Indonesia.
Tulisan ini akan bersambung ke bagian dua. Namun sebagai penutup saya sebagai pribadi, Narliswandi Piliang, ingin mengetuk lubuk hati SBY paling dalam, agar mundur saja sebagai presiden. Sehingga beragam niat baik dan program kebaikan untuk bangsa ini dapat berjalan, tidak tersandera, pemberantasan korupsi utamanya.
SBY Bergelimang Tipu Mundurlah (2)
Bagian pertama tulisan ini, telah mendapatkan tanggapan meriah di media sosial. Bambang Walujo Wahab, di twitter mengatakan secara terbuka, ia bisa menambahkan lebih banyak lagi urusan tipu itu. Beberapa kawan lantas memintanya menuliskan, tapi hingga bagian dua ini saya tulis belum terlihat jua.
Mohammad Hasin Adi, di Kompasiana, menyarankan melakukan konperensi pers terhadap premis saya tulis. Ia katakan, “Siapa tahu Bapak Iwan bisa jadi pahlawan. Dan mudah-mudahan tidak jadi pecundang. â€Bagi saya menulis bukan untuk menjadi pahlawan. Bukan pula untuk mencetak uang. Tetapi saya konsisten taat kaedah kepada ilmu yang diajarkan dosen saya di fakultas komunikasi. Komunikasi menyampaikan pesan, landasannya akal, budi, hati nurani. Kalau keberpihakannya, Bill Kovach dan Tom Rosentiel di buku The Element of Journalism secara nyata dan jernih menuliskan: hanya kebenaran untuk warga, lain tidak.
Ada juga tentu pembelaan kepada SBY. “SBY dan Boediono mempermudah perinjinan impor alat tanam padi saya yang di persulit oleh birokrat kementrian perdagangan. Maka di mata saya beliau berdua adalah pemimpin yg baik dan hanya dirusak wibawanya oleh birokrat busuk, DPR busuk dan LSM busuk, semoga kalian semua terbakar di neraka karena mempersulit dan membohongi rakyat kecil, merongrong kekuasaan dan wibawa pemerintah yang sah terpilih oleh rakyat,†tulis Cucun Wijaya, masih di Kompasiana.
Begitulah dinamika di media sosial. Setiap orang dapat merespon secara interaktif setiap info kita tuliskan. Poin utama saya selalu, perihal ini akan meningkatkan mutu peradaban jika semua pihak terlibat di proses tanggap menanggap, tulis menulis, identitasnya jelas, batang hidungnya nyata, sehingga komentar miring pun dapat dipertanggung-jawabkan.
Sebagaimana saya menulis, tentulah tidak asal njeplak. Semua saya paparkan berangkat dari sumber kredibel, verifikasi fakta di media, serta proses perjalanan menjadi jurnalis warga, bisa dibilang tidak singkat dengan volume tulisan dapat di-trace.
Dari semua dinamika itu, setelah dua hari tulisan bagian pertama saya upload, saya menyimak di RCTI bahwa Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, menyampaikan bahwa Boediono, sebagai Wapres, sudah bisa dilengserkan DPR, karena status kasus bail out Bank Century sudah ditingkatkan penyidikannya oleh KPK. Menjadi pertanyaan saya mengapa Samad mendorong DPR, bukankah wewenang KPK acap dikatakan super body? Begitu KPK menetapkan Boediono tersangka, maka seketika itu juga ia harus lengser. Dari kenyataan ini saya melihat tarik ulur, karena secara nyata memelorotkan kekuasaan SBY yang di tulisan 1 memang bergelimang tipu.
Melanjutkan bagian dua ini, ingin saya ingatkan Anda. Ihwal kampanye presiden SBY di televisi pada 2009 lalu. Anda tentu mafhum jingle Indomie. Di antara liriknya, “Dari Sabang sampai Merauke Indomie seleraku.†Lirik asli itu telah dipelesetkan ujungnya menjadi ,â€SBY pilihanku.â€
Sejak jingle pelesetan itu keluar saya tak pernah menyimak ada badan independen atau semacam Komisi Penyiaran menegur langkah itu. Semua seakan diam seribu basa. Bila tak keliru saya seakan bernyanyi sendiri di media sosial mengatakan bahwa Indomie telah melakukan pelanggran etika nyata. Mengapa? Karena sebuah iklan produk, mulai dari biaya produksinya, pembelian slot iklan media, semuanya mereka bebankan ke total cost produksi produk. Itu artinya konsumen ikut memikul biaya. Sebuah jingle lalu dikenal, dibiayai semua rakyat sebagai pembeli itu produk.
Eh dengan semena-mena produk itu mengalihkan jingle top of mind itu untuk kepentingan seseorang menjadi presiden. Saya sangat percaya di 2009 itu pastilah tidak semua pemakan Indomie pendukung SBY. Namun khalayak semuanya seakan sudah dikooptasi menyanyikan SBY pilihanku.
Di lain sisi perilaku kelompok usaha Salim di era silam melakukan monopoli impor gandum. Kini walaupun dipecah-pecah unit usahanya, tetap saja masih dalam satu atap usaha. Kapitalisasi dari “revolusi†pangan warga ke mie instan telah membuat Indomie menjadi bagian utama pemasukan Salim Grup. Setidaknya hingga Oktober di tahun ini saja untung Indofood sudah mencapai Rp 14 triliun. Dengan kapitalisasi tambun, kelompok usaha ini memang bisa saja menjadikan seseorang presiden RI, apalagi pola politik kini segala-gala harus fulus mulus.
Kembali ke SBY, dukungan seharusnya ia tolak, seperti pelesetan jingle Indomie tidak ber-etik itu, dia nikmati saja. Bahkan dari informasi tim komunikasi SBY kala 2009, SBY menikmati betul. SBY anggap sebagai kampanye signifikan memenangkannya.
Bisa Anda bayangkan sensitifitas seorang kepala negara pilihan demikian?
Maka tidaklah salah bila kemudian sebagai presiden SBY melakukan banyak hal kontradiktif. Sebutlah contoh ia secara terang-gamblang mengkritik keras Foke, Mantan Gubernur DKI di forum rapat resmi gubernur, terbuka ke media. Tetapi ia pula kemudian menjagokan Foke kembali menjadi gubernur DKI.
Beberapa kali dalam pidatonya SBY mengkritik ortang yang tertidur mendengar pidatonya. Bahkan kanak-kanak tertidur pun tak lepas dari tegurannya. SBY telah menghinakan jabatan presiden secara langusung, dengan mengkritik kanak-kanak tertidur mendengar pidatonya, tanpa peduli ia harus instropeksi diri, kepada siapa ia berpidato, di mana, untuk apa, premis apa pas?
Maka dalam fakta dan kenyataan demikian, SBY pun menjadi linglung. Ia memberikan saja grasi bagi tindak kejahatan besar di bidang narkoba. Ia memberi dua grasi atas kejahatan narkoba di tahun ini.
Bila sudah demikian; sudah tak tahu di mana ia berpidato sehingga anak kecilpun harus dikritik dan tak paham narkoba adalah kejahatan amat besar, dan bangsa serta negara ini kini sudah menjadi pasar nerkoba terbesar: SBY memang linglung. Saya tak tahu kata apa yang harus ditujukan kepadanya selain: mundur!
Tulisan ini akan belanjut ke bagian tiga, ihwal indikasi perannya di dalam monopoli pengadaan BBM di unit usaha Pertamina, Petral, bersama Hatta Rajasa. Sementara, ini saya naikkan dulu. Esok sebelum tutup tahun saya publish bagian tiga.
Iwan Piliang , Citizen Reporter
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar